Monday, February 21, 2005

Gyeong-chip: Bioindikator Kualitas Lingkungan

Sang kodok….e..e…e…sang kodok,
Kenape ente manggil-manggil ujan
Sang kodok….e..e…e…sang kodok
Kenape ente manggil-manggil ujan
Kenape aye manggil-manggil ujan
E… sang ujan kagak mau nimbul
Kenape aye manggil-manggil ujan
E… sang ujan kagak mau nimbul
Sang ujan… e..e…e…sang ujan
Kenape ente kagak mau nimbul
Sang ujan… e..e…e…sang ujan
Kenape ente kagak mau nimbul
Kenape aye kagak mau nimbul
E…. sang…..dst dst
(Benyamin Sueb)

Mungkin diantara kita masih ingat petikan lagu “Sang Kodok” di atas yang dilantunkan oleh penyanyi kondang almarhum Benyamin S dengan iringan orkes gambang keromong di Betawi tahun tujuhpuluhan. Bait-bait tersebut yang menceritakan harapan kodok akan turunnya hujan. Dibalik syari tersebut terkandung makna ekologis daur rantai makanan dalam piramida ekosistem yang menggambarkan hubungan mangsa dan pemangsa (prey and predator). Kodok atau disebut juga katak termasuk hewan yang memakan makhluk hidup (carnivor), seperti nyamuk dan jenis serangga lainnya. Namun ia mempunyai musuh alami, yaitu predator elang dan ular. Sebagai kerabat hewan yang dapat hidup di air dan di darat (ampibia), ia agak berbeda dengan kerabat ampibi lainnya, katak dewasa tidak mempunyai ekor.

Di semenanjung Korea, katak dimitoskan sebagai gyeong-chip (경칩), yaitu isyarat alam akan hadirnya musim semi yang biasanya disebutkan dalam kalender-kalender penanggalan. Isyarat ini diartikan sebagai bangkitknya katak-katak dari tidur panjang musim dingin. Suasana musim semi yang berangsur menghangat mengahiri masa hibernasi aneka jenis katak, baik katak “darat” maupun katak pohon. Berbagai tingkah polah, mulai dari “berjingkrakan” sambil melompat dari relung-relung peristirahatan musim dingin ke kolam-kolam sampai memanjat dan mulai berlompatannya katak pohon dari dahan ke dahan menjadi atraksi yang unik. Lebih jauh, suasana awal musim semi ini juga disemarakan lewat dirigent konser adu-pikat senandung katak jantan pada si betina. Serak-parau, riuh-rendah dan aneka tembang saling berlomba memompa kantung suara mengumandangkan syair-syair pada tayangan prime-time simponi alam saat ibchun (입춘: musim semi).







Kesemarakan musim semi ini juga ditandai oleh kebahagian katak-katak karena bertambahnya anggota komunitas dengan mulai menetasnya jalinan mutiara telur-telur katak di dasar-dasar kolam penetasan. Sehingga musim semi berarti pula hari-hari “kelahiran” berudu berekor (tadpole) yang bernafas dengan insang yang mengawali hidupnya dengan berenang-renang kegirangan menyambut kehangatan musim semi yang mencairkan genangan-genangan air pada cekungan-cekungan lahan.

Fase kehidupan sebagai berudu ini akan berakhir dengan berdiferensiasinya organ-organ tubuh. Berudu-berudu yang “lolos” melewati masa training fisik di kehidupan perairan tersebut berangsur berubah menjadi katak sesungguhnya. Katak-katak muda yang mulai naik ke darat ini tidak lagi bernafas dengan insang, tetapi mulai bernafas dengan menggunakan paru-paru dan kulit sebagaimana halnya pada katak-katak dewasa untuk kemudian memulai hidup sebagai penerus generasi.





Mengamati fenomena siklus hidup salah satu jenis ampibia ini terdapat pelajaran berharga yang perlu kita fahami. Di suatu artikel surat kabar disebutkan “kegagetan” seorang professor dari Universitas Deft, Belanda pada sensor digital yang tegak berdiri di muka Stasiun Gambir sebagai pengukur kualitas udara (CO, CO2, NO2 dan HC) yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor maupun asap buang dari gedung-gedung di sekitarnya (Kompas, 3 Februari 2005). Betapa tidak di negara yang masih berjuang dengan kemiskinan dan utang yang makin melambung, rupanya Jakarta sudah memasang alat canggih untuk menjaga agar Ibu Kota itu tetap segar dan ramah lingkungan.

Lalu apa hubungannya sensor digital pemantau kualitas lingkungan (baca: udara) dengan katak ? Sejak seekor berudu menanggalkan ekornya menjadi katak yang bernafas dengan paru-paru dan kulit, memiliki kepékaan (sensitivitas) terhadap lingkungan, khususnya kualitas udara. Adanya kepekaan satwa ini dapat menjadi isyarat hayati (bioindikator) akan keadaan kualitas lingkungan hidup kita.

Kelembaban udara yang berubah meninggi akan mengusik organ pernafasan melalui permukaan kulit. Keadaan ini merupakan suasana yang nyaman dalam ukuran wilayah kenyaman (confort zone) bagi sang katak. Dalam keadaan yang demikian sensor pengindera katak akan me-resonansi instinct perilaku dalam bentuk ekspresi “sorak-sorai” alunan kegirangan, berlompatan atau memanjat pohon dan melompat dari satu dahan ke dahan lain sebagai tanda akan datangnya hujan yang berarti juga datangnya “musim kawin” (breeding seasong). Dan sebaliknya buruknya kualitas udara oleh bermacam emisi, polutan, temperatur yang meninggi menciptakan ketidaknyamanan bagi makhluk ini, dimana dalam batas-batas tertentu dapat mengganggu kelangsungan kehidupannya. Pada akhirnya, raibnya makhluk ini dari lingkungan kita menjadi isyarat hilangnya bioindikator alam. Padahal, seolah-olah, sang katak telah berkata pada kita : "apa yang baik baginya adalah baik juga bagi manusia". Sehingga dalam lingkungan yang "bersih", baik katak dan manusia dapat hidup sehat dan berdampingan menjalin kebersamaan hidup.

Di Negara-negara maju, berbagai upaya melestarikan satwa ambia ini telah dilakukan. Sebagai contoh di Jerman dapat kita temui rambu-rambu lalu lintas dengan gambar kodok dengan pesan Achtung Frosch!!! (Awas Kodok!!!) atau Achtung!!! Tod (Hati-hati Melindas Kodok). Bahkan di beberapa negara seperti Swiss, Belanda dan juga Korea, menyertai pembangunan ruas-ruas jalan kendaraan banyak dibangun koridor ekologis berupa jembatan atau terowongan (eco-bridge, game-brigde) yang menjadi jalur perlintasan satwa. Infrastruktur buatan ini dibangun untuk menghindari terpisanya (fragmentasi) ruang jelajah dalam habitat kehidupan satwa (home range), serta menghindari terbunuhnya satwa pelintas jalan raya (roadkill). Koridor ekologis ini menjadi jalur penghubung pergerakan satwa antara relung-relung kehidupannya. Seingga hubungan antar relung hidup sehari-hari --seperti hutan, kebun dan taman-- dengan kolam, cekungan lahan atau daerah genangan air lain yang menjadi wilayah pergerakan di “musim kawin” tetap terjaga. Dengan memberi akses antar relung ini, berarti ikut melestarikan kehidupan salah makhluk ciptaan Nya, sebab relung kolam, cekungan dan perairan tersebut merupakan “honey month site” bagi sang katak untuk bersukaria sambil menjalin untaian permata butiran telur-telur di dasar-dasar kolam.

Namun apakah kesemarakan nuansa awal musim semi yang meriah bisa kita nikmati saat ini ? Jangan-jangan syair-syair “bahasa alam” (the language of nature) tersebut hanya ada dalam dongengan yang dibacakan orang tua pada anak-anaknya. Seandainya fenomena alam ini difahami, diapresiasi, dipelihara serta dilestarikannya tentunya kekhawatiran Rachel Carson empat puluh tiga tahun yang lalu dalam bukunya “Musim Semi Nan Sunyi” (Silent Spring) tidak perlu terjadi.

Oleh karena itu coba kita buktikan dan kita ukur kepedulian terhadap lingkungan sekitar, cek kalender kapan saat gyeong-chip tiba ? Kemudian amati, apakah masih terdengar alunan simponi kerabat ampibia di awal musim semi yang biasanya terjadi pada saat bom-pi (봄비, hujan musim semi) ? Fenomena ini hanyalah salah satu dari fenomena alam di negeri ini dan (mungkin) juga di tanah air kita, masih banyak fenomena lain yang perlu kita fahami dan perlakukan dengan arif. Seberapa jauhkah kita sudah mengenalnya ?

Relung hangat awal musim semi, Lembah Gunung Kwanak, 8 Febr. 2005
copyright ©qodarian pramukanto

0 Comments:

Post a Comment

<< Home