Monday, February 21, 2005

INKONGBUDO, PENGENDALI PENCEMARAN AIR SECARA BIOLOGIS

Oleh : Ir Qodarian Pramukanto, DipEnvM., MS*

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/16/ilpeng/1442188.htm
http://www.ampl.or.id/wawasan/wawasan-isi-pustaka.php?kode=32

Pencemaran perairan terbuka berupa danau, situ, rawa dan sungai oleh limbah industri maupun rumah tangga merupakan masalah yang serius. Berbagai bentuk pencemar, baik yang bersifat fisik (lumpur), bahan organik maupun berupa senyawa kimia termasuk yang beracun seperti logam berat perlu segera diatasi sebelum terjadi akumulasi yang membahayakan pada banyak perairan di tanah air kita. Salah satu langkah konkret dan mudah dilaksanakan untuk menangani pencemaran perairan adalah melalui sistem biologis dengan menebar eceng gondok di perairan, seperti disampaikan oleh Prof. Otto Sumarwoto pada seminar "Pengelolaan Waduk dan Danau ” di Puslitbang Sumber Daya Air beberapa waktu yang lalu. Dengan cara itu diharapkan tumbuhan tersebut bisa menetralkan zat-zat pencemar terutama dari limbah industri dan limbah rumah tangga (Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2004).

Gagasan penggunaan tumbuhan air sebagai filter biologis sebenarnya sudah lama dan tidak disangsikan lagi kehandalannya. Di beberapa negara, seperti Amerka Serikat, Jerman, Jepang dan Korea sudah banyak dikembangkan konsep biofilter menggunakan tumbuhan air berupa teknik pulau apung buatan (artificial floating island). Teknik ini di Jerman dijuluki dengan schwimmkampen, dan di Jepang disebut sebagai ukishima, sedangkan di Korea dikenal dengan inkongbudo. Inkongbudo (pulau apung buatan) dibentuk oleh sekumpulan tumbuhan air yang disatukan oleh suatu wahana yang mudah mengapung dan sekaligus menjadi tempat tumbuhnya (Gambar 1).






Pada awalnya, teknik ini diinspirasikan oleh fenomena alam yang sering dijumpai sebagai pulau apung alami yang terbentuk oleh kumpulan tumbuhan air. Sebagai contoh, di beberapa perairan, seperti rawa Pening di Salatiga atau rawa Danau di Banten, struktur serupa ini kerap ditemukan. Beberapa tumbuhan air dengan massa jenis yang ringan karena mengandung rongga udara pada bagian akar, tangkai dan helai daun, seperti enceng gondok (Eichornia crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta), tidak saja mudah mengapung dipermukaan air tetapi kerap membentuk massa tumbuhan menyerupai pulau. Walaupun struktur pulau apung ini biasanya tidak bersifat permanen. Karena sangat sulit mempertahankan kumpulan tumbuhan yang tetap dan stabil, sebab mudah rusak oleh hempasan gelombang di perairan atau hantaman pada tepian. Namun dalam kondisi tertentu, apablia aliran angin di atas perairan bertiup lemah dan riak gelombang yang tenang memungkinkan terbentuknya massa tumbuhan yang berkelompok. Lama-kelamaan struktur ini semakin stabil dan menyatu membentuk kumpulan-kumpulan pulau apung.

Namun demikian dalam beberapa kasus kehadiran pulau apung alami ini seringkali sulit dikendalikan dan tidak jarang menghasilkan dampak turunan bagi lingkungan. Dengan laju pertumbuhan yang cepat penutupan permukaan suatu perairan oleh massa tumbuhan tersebut menjadi sangat dominan. Lebih lanjut biomass dari tumbuhan yang mati akan mengendap sebagai bahan organik dan mempercepat pendangkalan dasar perairan karena sulit terurai akibat terbatasnya zat asam. Walaupun dalam kondisi yang anaerob ini masih memungkinkan terjadinya penguraian endapan organik, namun proses ini akan menghasilkan senyawa beracun. Selanjutnya apabila suatu saat senyawa-senyawa ini mengalami proses pengangkatan kepermukaan dapat membahayakan organisma perairan di atasnya, seperti perikanan karamba atau jaring apung. Sehingga dalam situasi yang demikian kehadiran tumbuhan air tersebut berubah statusnya menjadi gulma perairan yang berbahaya.

Berbeda dengan pulau apung alami di atas, teknik inkongbudo sebagai pulau apung buatan ini menjadi populer karena peranan lingkungannya lebih terkendali. Bahkan kehadirannya tidak saja sekedar sebagai teknologi penjernih dan penyaring air, tetapi juga menciptakan relung (niche) bagi habitat hidupan liar. Disamping itu juga menambah nilai estetika lanskap perairan, pencegah erosi lereng pada tepi perairan, dan bahkan dapat berfungsi juga sebagai biological disinfection.

Peran inkongbudo sebagai penyerap, penjerap, penjernih atau penyaring air tidak terlepas dari faktor pemilihan jenis tumbuhan yang tepat, yang berkaitan dengan toleransi terhadap unsur yang akan disaring, tetapi juga karakteristik lainnya. Adanya sistem perakaran yang menggantung dan melayang-layang di dalam air, dengan lapisan-lapisan menyerupai labirin merupakan wujud saringan dengan penampang yang luas. Saringan oleh akar ini bukan hanya menyaring unsur terlarut, tetapi juga substrat berupa lumpur dan tanah yang tidak terlarut, dengan mekanisme menjerap dan menahan partikel-partikel melayang. Lebih jauh pada daerah perakaran (rhizosphere) tidak terhitung banyaknya jumlah bakteri penambat yang berperanan dalam proses penjernihan air melalui aktivitas organisma mikro ini.

Untuk alasan inilah yang menyebabkan di banyak perairan di beberapa negara dibangun teknologi inkongbudo. Salah satu contoh inkongbudo dibangun oleh pemerintah kota metropolitan Seoul di reservoir Paldang yang terletak di bagian hulu sungai Han di luar kota. Pembangunannya menelan dana sebesar 200 juta won atau sekitar 1.6 miliar rupiah. Kehadiran inkongbudo pada reservoir yang membendung sungai terbesar yang membelah kota Seoul ini melengkapi fasilitas penjernih air yang akan memasok kebutuhan air bersih kota Seoul.

Diantara para ahli yang meneliti peranan inkongbudo dalam perbaikan kualitas air adalah Mueler et al (1996). Penelitian di Jepang, pada perairan danau yang telah mengalami gangguan, berupa “penyuburan perairan“ (eutrofikasi), ledakan alga hijau-biru dan keruh (turbid), serta bau menyengat yang menurunkan fungsi komersial perairan untuk aktivitas rekreasi dan perikanan ini dapat di atasi dengan membangun instalasi pulau apung buatan. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya perbaikan kualitas air dalam hal peningkatan yang nyata pada tingkat kejernihan air, serta perbaikan komunitas fitoplankton, zooplanton, udang dan ikan. Hasil penelitian ini juga di dukung oleh laporan US Dept. of Interior Bureau of Reclamation (2002), yang antara lain meneliti kualitas air di danau Mead, yang menunjukan rendahnya konsentrasi senyawa-senyawa penyebab eutrofikasi di wilayah perairan di bawah struktur pulau apung.

Walaupun demikian satu hal yang perlu diingat bahwa akumulasi zat-zat pencemar di dalam tumbuhan tidak bersifat permanen. Tumbuhan hanya berperan sebagai “menangkap“ dan mengakumulasikan unsur baik terlarut maupun tidak pada bagian tumbuhan selama tumbuhan tersebut hidup. Namun setelah tumbuhan tersebut mati, unsur tersebut dapat terurai dan kembali bebas ke alam, oleh karena itu perlu adanya penggatian tumbuhan tersebut secara periodik tidak saja untuk mencegah pengendapan pada dasar perairan, tetapi yang lebih penting adalah menyingkirkan polutan-polutan tersebut. Selanjutnya tumbuhan yang telah “dipanen” tersebut dikumpulkan pada tempat penampungan khusus atau dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan, seperti kertas, kantong dan tas.

Untuk membangun inkongbudo dapat dilakukan dengan biaya yang murah melalui pemanfaatan bahan-bahan bekas pakai dan banyak tersedia di sekitar kita. Bahan yang diperlukan adalah bahan-bahan yang mudah mengapung, tidak mengandung bahan kimia yang mencemari perairan, tidak korosif, tidak mudah melapuk atau rusak oleh organisme mikro. Misalnya desain pulau apung dapat dibuat dengan memanfaatkan ban mobil bekas sebagai wahananya (Gambar 2).






Wahana ini dibuat sedemikian rupa sehingga akan mengapung di permukaan air dengan titik berat berada pada bagian pusat. Namun demikan tetap menyisakan adanya bagian modul sebelah atas yang tidak tergenang atau muncul dipermukaan air sekitar 10 cm. Beberapa modul dapat digabungkan sesuai kebutuhan dan bentuk yang diinginkan. Selanjutnya untuk mempertahankan posisi pulau apung ini di perairan perlu ditambat dengan jangkar (anchor) yang dapat menyesuaikan posisi apung dengan pasang-surutnya ketinggian air.

Selanjutnya pada wahana ini dimasukan media tumbuh berupa serat alami, seperti sabut kelapa atau potongan gabus. Walaupun Jenis-jenis tumbuhan air yang ditanam pada modul tersebut agak berbeda dengan tumbuhan pada pulau apung alami, namum tumbuhan tersebut banyak ditemukan di berbagai perairan di tanah air kita. Beberapa jenis tumbuhan tersebut antara lain cattail (Typha latifolia), geligi (Phragmites karka), padi liar (Oryza rufipogon), rumput liar (Paspalum sp), dan jajagoan (Echinochloa crus-galli) serta beberapa jenis tumbuhan air lainnya.

Semoga teknik inkongbudo ini menjadi teknologi tepat guna yang mudah dan dapat segera diterapkan untuk mengendalikan pencemaran perairan terbuka. Disamping turut mengembangkan potensi ikutan yang menyertai proses penjernihan air, seperti terciptanya relung bagi aneka hidupan liar, serta sajian keindahan tumbuhan di atasnya atau atraksi aneka satwa yang hadir dan diharapkan menjadi penghuni pulau apung tersebut. Akhirnya semoga pengalaman dari negeri gingseng ini dapat dijadikan alternatif dalam pengelolaan berbagai perairan yang tersebar di tanah air kita.

________________
* Staf pengajar pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. Mahasiswa Pasca Sarjana pada Seoul National University, Seoul, Korea.

1 Comments:

Blogger hydemyself said...

Pak Ian, saya tertarik dengan artikel tentang Inkongbudo. Sepertinya cara ini cocok diterapkan di industri tempat saya bekerja. Tapi, apakah efektivitas Inkongbudo ini sensitif terhadap kecepatan aliran air (seperti constructed wetland yang hanya efektif mengolah BOD bila kecepatan aliran rendah)?

1:05 AM  

Post a Comment

<< Home