Melestarikan “Paru-Paru” Hijau Jakarta
Oleh: Qodarian Pramukanto*
Kota dapat diibaratkan sebagai suatu organisme dengan seperangkat organ yang mengendalikan kehidupannya. Sungai, saluran drainase primer, sekunder, dan tertier merupakan urat nadi yang mengalirkan limbah dan air hujan secara gravitasi dari daerah tinggi ke tempat rendah.
Ruang terbuka hijau, taman-taman kota, jalur hijau, greenbelt beserta komponen pohon atau jenis vegetasi lain merupakan paru-paru berperan menyejukan dan memproduksi udara bersih. Melalui mekanisme fotosintesis tumbuhan-tumbuhan menjadi “paru-paru” yang menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen.
Sebagai produsen oksigen utama di alam, tumbuhan merupakan “pabrik” yang penyerapan emisi CO2 dan memanfaatkan air serta “memanen” energi matahari dalam proses
fotositesis yang menghasilkan zat pati, seperti berikut:
H2O + CO2 --> (CH2O)n + O2
Oksigen (O2) atau zat asam merupakan salah satu unsur vital bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Kiranya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa tanpa oksigen yang cukup dalam beberapa menit saja dapat berakibat fatal bagi kehidupan. Oleh karena itu kebutuhannya harus senantiasa terpenuhi dalam jumlah yang cukup.
Gas ini dipasok oleh dua tipe tumbuhan, yaitu tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuhan tingkat rendah yang menyebar di daratan dan perairan laut. Dalam kondisi alami kedua jenis tumbuhan tersebut memasok oksigen dengan proporsi seimbang.
Tumbuhan tingkat tinggi --baik berupa pohon maupun jenis vegetasi lain-- tumbuh di daratan pada berbagai tipe ekosistem hutan dan bentang lahan. Mulai dari bentang hutan dataran tinggi sampai hutan dataran rendah dan rawa; hamparan perkebunan, pertanian dan pekarangan; ruang terbuka hijau kota, taman kota dan taman rumah; sampai berbagai bentuk kelompok atau individu tumbuhan merupakan produsen setengah dari pasokan gas ini di alam.
Sedangkan setengah pasokan lainnya diproduksi di tangki air raksasa kawasan perairan laut yang kaya tumbuhan akuatik tingkat rendah golongan fitoplankton. Sebagai produsen utama di perairan laut, beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa tanpa produksi oksigen oleh organisme tumbuhan mikro bersel tunggal ini, kehidupan yang kita kenal tidak akan ada. Hal ini terkait dengan besaran produksi gas oksigen yang proporsional dengan besaran gas karbon dioksida yang digunakan dalam proses tersebut.
Pada hakekatnya memelihara kedua infrastuktur alam sumber oksigen tersebut tidak sekedar mempertahankan jumlah pasokan ketersediannya bagi makhluk hidup termasuk manusia, namun sekaligus melestarikan bentuk-bentuk jasa lingkungan terkait lainnya.
Untuk kasus Jakarta, keberadaan kedua kawasan “hijau” tersebut mesti dilihat dalam perspektif regional yang saling kait dan tidak terpisahkan.
Secara fungsional kedua kawasan tersebut bagaikan sepasang organ “paru-paru”. Sebut saja, kawasan “hijau” di wilayah darat, yang membentang dari hulu sampai hilir sungai CiLiwung merupakan paru-paru sebelah kiri wilayah tersebut. Sedangkan kawasan “hijau” perairan teluk Jakarta menjadi belahan paru-paru kanannya.
Secara keruangan (spatial) hubungan antar kedua wilayah tersebut tidak terlepas dari mekanisme hubungan antara ekosistem darat dan laut.
Kota dengan berbagai aktivitasnya menghasilkan emisi melalui pembakaran bahan bakar oleh kendaraan bermotor, industri serta penggunaan peralatan tertentu di kawasan permukiman dan rumah tangga-- akan menghasilkan gas antara lain CO2 yang akan “ditangkap” oleh paru-paru “hijau” kota dan wilayah sekitarnya dan diproses melalui fotosintesis sehingga dihasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh kehidupan di perkotaan.
Namun dengan keterbatasan kawasan “hijau” di wilayah daratan, tidak semua gas CO2 ini dapat ditransfer menjadi O2. Melalui mekanisme pergerakan angin darat dan laut, kelebihan CO2 kota ini pada saatnya akan dialirkan ke perairan laut. Oleh fitoplankton “pupuk” ini diubah menjadi oksigen melalui proses yang sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi.
Selanjutnya melalui mekanisme sebaliknya, adanya pergerakan udara dari perairan laut ke darat akan mengangkut produksi oksigen tersebut ke daratan.
Dalam kenyatannya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida tidak selalu demikian. Berbagai bentuk gangguan dapat terjadi baik pada kawasan “hijau” daratan maupun perairan.
Jakarta dengan luas kota 66.000 ha menunjukan fenomenna terganggunya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Hal ini terlihat pada tidak konsistennya alokasi ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya.
Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37,2 persen, berubah menjadi 25,85 persen dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985–2005 (Perda Nomor 5 Tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 (Perda No 6 Tahun 1999). Namun, realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir ini pun tampaknya "cukup sulit" terpenuhi.
Padahal perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan fungsi pasokan kebutuhan oksigen kota (Lembaga Penelitian IPB, 2000) yang memperhitungakan berbagai bentuk penggunan oksigen —termasuk manusia, hewan ternak, kendaraan bermotor, pabrik dan lainnya-- adalah sebesar 13 191 ha atau (19.94 %). Namun realitanya berdasarkan data tahun 2000 total RTH hanya mencapai 7 246 ha, masih jauh dari cukup.
Berdasarkan perhitungan pasokan oksigen oleh “paru-paru” hijau dataran yang ternyata masih kurang ini logikanya akan berakibat vital terhadap kehidupan, termasuk manusia. Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam perspektif regional, fenomena ini setidaknya dapat dijelaskan melalui mekanisme transpor oksigen dari “paru-paru” hijau perairan yang selama ini
tidak kita perhitungkan, atau tidak menutup kemungkinan pula adanya posokan dari kawasan hijau sekitar kota Jakarta.
Oleh karena itu kelestarian kedua kawasan “hijau”—daratan dan lautan-- ini mutlak perlu dipelihara, terkecuali kalau kita memutuskan untuk mulai menggunakan tabung oksigen untuk bernafas.
Disatu sisi pembabatan hutan, penggusuran lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan terbangun, alih fungsi peruntukan RTH dan taman-taman kota, penebangan pohon pada koridor-koridor jalan merupakan kegiatan peniadaan mekanisme salah satu bentuk jasa lingkungan ini dari “paru-paru”hijau daratan.
Di lain sisi berbagai pencemar perairan, seperti limbah kota, aktivitas industri dan aktivitas pertanian yang terangkut melalui aliran limpasan (runoff) yang masuk ke sungai akan ㅡbermuara keperairan laut. Dalam keadaan tertentu senyawa-senyawa pencemar dari golongan urea organic ini mengakibatkan pengkayaan perairan (eutrofikasi) berakibat ledakan pertumbuhan fitoplankton dari jenis yang .
Sebagai bagian dari rantai makanan di perairan laut, dalam kandungan nutrient pencermar yang tinggi, akan terjadi ledakan tumbuhan bersel tunggal ini. Walaupun kebanyakan fitoplankton tidak berbahaya, namun sejumlah kecil spesies tumbuhan bersel satu ini mengandung zat beracun. Dalam kondisi tingkat pencemaran tertentu melalui pengkayaan senyawa urea organic, jenis-jenis plankton beracun, seperti dinoflagelata, dapat mengalami “ledakan” (booming) yang dikenal dengan “red-tide”. Toksisitas senyawa racun yang dihasilkan ini dapat membunuh golongan makhluk hidup yang lebih tinggi, seperti zooplankton, kerang, ikan, burung, mamalia laut, bahkan dengan mekanisme transfer rantai makanan pada saat dikonsumsi manusia dapat berakibat fatal.
Oleh karean itu upaya menyelamatkan dua infrastruktur alam berupa “paru-paru” hijau daratan dan lautan sangat penting bagi kehidupan.
Lembah Gunung Kwanak, 7 Juni 2005
* Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB; Mahasiswa S3 Seoul National University, Korea
Kota dapat diibaratkan sebagai suatu organisme dengan seperangkat organ yang mengendalikan kehidupannya. Sungai, saluran drainase primer, sekunder, dan tertier merupakan urat nadi yang mengalirkan limbah dan air hujan secara gravitasi dari daerah tinggi ke tempat rendah.
Ruang terbuka hijau, taman-taman kota, jalur hijau, greenbelt beserta komponen pohon atau jenis vegetasi lain merupakan paru-paru berperan menyejukan dan memproduksi udara bersih. Melalui mekanisme fotosintesis tumbuhan-tumbuhan menjadi “paru-paru” yang menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen.
Sebagai produsen oksigen utama di alam, tumbuhan merupakan “pabrik” yang penyerapan emisi CO2 dan memanfaatkan air serta “memanen” energi matahari dalam proses
fotositesis yang menghasilkan zat pati, seperti berikut:
H2O + CO2 --> (CH2O)n + O2
Oksigen (O2) atau zat asam merupakan salah satu unsur vital bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Kiranya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa tanpa oksigen yang cukup dalam beberapa menit saja dapat berakibat fatal bagi kehidupan. Oleh karena itu kebutuhannya harus senantiasa terpenuhi dalam jumlah yang cukup.
Gas ini dipasok oleh dua tipe tumbuhan, yaitu tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuhan tingkat rendah yang menyebar di daratan dan perairan laut. Dalam kondisi alami kedua jenis tumbuhan tersebut memasok oksigen dengan proporsi seimbang.
Tumbuhan tingkat tinggi --baik berupa pohon maupun jenis vegetasi lain-- tumbuh di daratan pada berbagai tipe ekosistem hutan dan bentang lahan. Mulai dari bentang hutan dataran tinggi sampai hutan dataran rendah dan rawa; hamparan perkebunan, pertanian dan pekarangan; ruang terbuka hijau kota, taman kota dan taman rumah; sampai berbagai bentuk kelompok atau individu tumbuhan merupakan produsen setengah dari pasokan gas ini di alam.
Sedangkan setengah pasokan lainnya diproduksi di tangki air raksasa kawasan perairan laut yang kaya tumbuhan akuatik tingkat rendah golongan fitoplankton. Sebagai produsen utama di perairan laut, beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa tanpa produksi oksigen oleh organisme tumbuhan mikro bersel tunggal ini, kehidupan yang kita kenal tidak akan ada. Hal ini terkait dengan besaran produksi gas oksigen yang proporsional dengan besaran gas karbon dioksida yang digunakan dalam proses tersebut.
Pada hakekatnya memelihara kedua infrastuktur alam sumber oksigen tersebut tidak sekedar mempertahankan jumlah pasokan ketersediannya bagi makhluk hidup termasuk manusia, namun sekaligus melestarikan bentuk-bentuk jasa lingkungan terkait lainnya.
Untuk kasus Jakarta, keberadaan kedua kawasan “hijau” tersebut mesti dilihat dalam perspektif regional yang saling kait dan tidak terpisahkan.
Secara fungsional kedua kawasan tersebut bagaikan sepasang organ “paru-paru”. Sebut saja, kawasan “hijau” di wilayah darat, yang membentang dari hulu sampai hilir sungai CiLiwung merupakan paru-paru sebelah kiri wilayah tersebut. Sedangkan kawasan “hijau” perairan teluk Jakarta menjadi belahan paru-paru kanannya.
Secara keruangan (spatial) hubungan antar kedua wilayah tersebut tidak terlepas dari mekanisme hubungan antara ekosistem darat dan laut.
Kota dengan berbagai aktivitasnya menghasilkan emisi melalui pembakaran bahan bakar oleh kendaraan bermotor, industri serta penggunaan peralatan tertentu di kawasan permukiman dan rumah tangga-- akan menghasilkan gas antara lain CO2 yang akan “ditangkap” oleh paru-paru “hijau” kota dan wilayah sekitarnya dan diproses melalui fotosintesis sehingga dihasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh kehidupan di perkotaan.
Namun dengan keterbatasan kawasan “hijau” di wilayah daratan, tidak semua gas CO2 ini dapat ditransfer menjadi O2. Melalui mekanisme pergerakan angin darat dan laut, kelebihan CO2 kota ini pada saatnya akan dialirkan ke perairan laut. Oleh fitoplankton “pupuk” ini diubah menjadi oksigen melalui proses yang sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi.
Selanjutnya melalui mekanisme sebaliknya, adanya pergerakan udara dari perairan laut ke darat akan mengangkut produksi oksigen tersebut ke daratan.
Dalam kenyatannya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida tidak selalu demikian. Berbagai bentuk gangguan dapat terjadi baik pada kawasan “hijau” daratan maupun perairan.
Jakarta dengan luas kota 66.000 ha menunjukan fenomenna terganggunya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Hal ini terlihat pada tidak konsistennya alokasi ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya.
Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37,2 persen, berubah menjadi 25,85 persen dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985–2005 (Perda Nomor 5 Tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 (Perda No 6 Tahun 1999). Namun, realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir ini pun tampaknya "cukup sulit" terpenuhi.
Padahal perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan fungsi pasokan kebutuhan oksigen kota (Lembaga Penelitian IPB, 2000) yang memperhitungakan berbagai bentuk penggunan oksigen —termasuk manusia, hewan ternak, kendaraan bermotor, pabrik dan lainnya-- adalah sebesar 13 191 ha atau (19.94 %). Namun realitanya berdasarkan data tahun 2000 total RTH hanya mencapai 7 246 ha, masih jauh dari cukup.
Berdasarkan perhitungan pasokan oksigen oleh “paru-paru” hijau dataran yang ternyata masih kurang ini logikanya akan berakibat vital terhadap kehidupan, termasuk manusia. Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam perspektif regional, fenomena ini setidaknya dapat dijelaskan melalui mekanisme transpor oksigen dari “paru-paru” hijau perairan yang selama ini
tidak kita perhitungkan, atau tidak menutup kemungkinan pula adanya posokan dari kawasan hijau sekitar kota Jakarta.
Oleh karena itu kelestarian kedua kawasan “hijau”—daratan dan lautan-- ini mutlak perlu dipelihara, terkecuali kalau kita memutuskan untuk mulai menggunakan tabung oksigen untuk bernafas.
Disatu sisi pembabatan hutan, penggusuran lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan terbangun, alih fungsi peruntukan RTH dan taman-taman kota, penebangan pohon pada koridor-koridor jalan merupakan kegiatan peniadaan mekanisme salah satu bentuk jasa lingkungan ini dari “paru-paru”hijau daratan.
Di lain sisi berbagai pencemar perairan, seperti limbah kota, aktivitas industri dan aktivitas pertanian yang terangkut melalui aliran limpasan (runoff) yang masuk ke sungai akan ㅡbermuara keperairan laut. Dalam keadaan tertentu senyawa-senyawa pencemar dari golongan urea organic ini mengakibatkan pengkayaan perairan (eutrofikasi) berakibat ledakan pertumbuhan fitoplankton dari jenis yang .
Sebagai bagian dari rantai makanan di perairan laut, dalam kandungan nutrient pencermar yang tinggi, akan terjadi ledakan tumbuhan bersel tunggal ini. Walaupun kebanyakan fitoplankton tidak berbahaya, namun sejumlah kecil spesies tumbuhan bersel satu ini mengandung zat beracun. Dalam kondisi tingkat pencemaran tertentu melalui pengkayaan senyawa urea organic, jenis-jenis plankton beracun, seperti dinoflagelata, dapat mengalami “ledakan” (booming) yang dikenal dengan “red-tide”. Toksisitas senyawa racun yang dihasilkan ini dapat membunuh golongan makhluk hidup yang lebih tinggi, seperti zooplankton, kerang, ikan, burung, mamalia laut, bahkan dengan mekanisme transfer rantai makanan pada saat dikonsumsi manusia dapat berakibat fatal.
Oleh karean itu upaya menyelamatkan dua infrastruktur alam berupa “paru-paru” hijau daratan dan lautan sangat penting bagi kehidupan.
Lembah Gunung Kwanak, 7 Juni 2005
* Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB; Mahasiswa S3 Seoul National University, Korea
0 Comments:
Post a Comment
<< Home