Taman Atap: Stepping Stone Hijau Jejaring Ekologi Kota
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0506/02/metro/1789613.htm
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/kliping/Taman%20Atap%20Stepping%20Stone%20Hijau%20Jejaring%20Ekologi%20Kota.pdf
Pembangunan perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, namun juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini seringkali menempatkan pertimbangan-pertimbangan atas kota dan entitas alam serta hidupan liar (wildlife) pada posisi yang terpisah.
Bahkan akibat ketersediaan ruang-ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau dan taman kota senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik.
Jakarta dengan luas kota 66 000 ha menjadi contoh terhadap fenomena di atas. Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang mudah dibuktikan. Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37.2 %, berubah menjadi 25.85 % dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985 – 2005 (Perda No.5 tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13.94% dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 – 2010 (Perda No. 6 Tahun 1999). Namun realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir inipun tampaknya “cukup sulit” terpenuhi.
Oleh karena itu sementara kita harus bersabar menantikan political will pemerintah dalam mengimplementasikan rencana tata ruangnya secara konsisten, pemberdayaan potensi ruang hijau lain patut dipertimbangkan. Salah satu upaya pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui program penyusupan kantong-kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau atap ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainya.
Perambahan “hutan beton” dengan ruang hijau atap bangunan ini tidak saja “menghidupkan” ruang sterile yang tidak termanfaatkan, tetapi juga memecahkan desain atap gedung dan horizon kota yang monoton. Kehadiran taman-taman atap tersebut juga memberikan jasa lingkungan berupa pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakan telinga.
Pengembangan ruang hijau vertikal di atas belantara “hutan beton” tersebut mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan biodiversitas di perkotaan. Jalinan antar ruang hijau atap yang terbentuk merupakan jejaring (network) infrastruktur alam di kota. Kehadiran ruang-ruang hijau atap ini menjadi alternatif dalam mengatasi isolasi dan kesulitan dalam membangun jejaring yang kontinyu pada lahan yang terfragmentasi.
Taman atap tersebut menjadi batu pijakan (stepping stone) koridor udara penghubung vegetasi, satwa dan hidupan liar (wildlife). Kehadiran stepping stone hijau ini menjadi komponen pergerakan hidupan liar baik antar relung hijau taman atap kota maupun dengan “kawasan sumber” (resources pool) luar kota.
Sebagai negara yang menandatangani Convention on Biological Diversity, upaya pemulihan lahan-lahan perkotaan yang terdegradasi dengan mengembangkan alternatif peningkatan keragaman biologi di perkotaan (urban biodiversity) patut mendapat acungan jempol. Untuk kasus Jakarta, adanya kendala dalam pengembangan RTH kota berupa penggusuran taman-taman kota menjadi stasiun pengisian bahan bakar atau gardu listrik, penebangan pohon peteduh pada koridor hijau jalur sirkulasi, okupasi koridor biru (blueways) sungai CiLiwung dan jaringan sungai serupa lainnya, serta sabuk hijau mangrove Muara Angke oleh permukiman “liar” setidaknya dapat “dikonpensasi” melalui pengembangan jejaring stepping stone hijau ini. Sehingga pada saatnya nanti apabila keseluruhan komponen infrastruktur hijau bersinergi akan tercipta tatanan infrastruktur alami yang variatif dengan beragam koridor biologi berupa koridor hijau, blueways, greenbelt; dan jejaring hijau berbentuk RTH, taman kota, serta stepping stone hijau.
Adanya peran multi fungsi yang sulit dilakukan pada lahan perkotaan yang terfragmentasi seperti digambarkan di atas menjadi alasan dikembangkannya sistem jejaring stepping stone hijau pada kota-kota besar manca negara.
Sebelum berkembang di Amerika Serikat dan Canada, beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swis, Austria dan negara Skandinavia tercatat menjadi pelopor dalam pembangunan ruang hijau atap bangunan ini.
Penghijauan “hutan beton” perkotaan di Jerman pada tahun 80-an menunjukan peningkatan yang menakjubkan. Gerakan yang di tahun 1989 telah menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi, semakin melebar menjadi 10 juta meter persegi di tahun 1996 dengan proporsi diantara sepuluh atap gedung teradapat satu taman atap. Keberhasilan pembangunan taman atap ini tidak terlepas dari adanya dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35 – 40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.
Di Asia beberapa negara, seperti, Singapura, Hongkong (Cina), Jepang dan Korea dengan gencar menggalakan gerakan penghijauan atap ini. Pemerintah Jepang yang sangat mendukung gerakan ini, sejak 1 April 2004 memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20 % dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Kewajiban ini diberlakukan pada setiap pembangunan gedung layanan publik (dengan luas minimum 250 m persegi) atau fasilitas komersial privat (dengan luas minimum 1000 meter persegi).
Dalam mempromosikan areal hijau kota di Hongkong, telah diterbitkan surat keputusan bersama tiga mentri (bidang Bangunan, bidang Lahan dan bidang Perencanaan) yang memasukan penghijauan atap bangunan dalam standard pembangunan gedung tinggi.
Di Singapur program penghijauan atap-atap gedung tinggi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program yang mendukung Singapur sebagai Kota (Negara) Taman.
Kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul (dengan luas kota 62 000 ha)
mendapat tambahan dalam bentuk taman atap atau ruang hijau atap ini. Ruang hijau potensial yang disumbangan dari “hutan benton” ini setidaknya dapat mencapai sekitar 20 000 ha (30%) dari total kawasan terbangun kota seluas kira-kira 25 000 ha atau 42 % dari luas kota (Kim, 2005).
Pemberdayaan “hutan beton” gedung bertingkat dan struktur bangunan lain menjadi stepping stone hijau kota sangat dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi penghijauan atap.
Desain ruang hijau atap ini dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Dengan mempertimbangkan konstruksi bangunan, seperti kekedapan struktur atap, penggunanan lapisan membran kedap air, root repelling membrane, penggunaan wadah tanam, sistem drainase berlapis, pemilihan dan penggunaan media tanam ringan dan pemilihan jenis tanaman merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkannya. Fungsi ruang hijau atap ini dapat didesain hanya sebagai ruang hijau tanpa akses untuk dikunjungi maupun sebagai taman. Sehingga betuk pengelolaannya akan menyesuaikan dengan desain ruang hijau yang dikembangkan.
Semoga konsep stepping stone hijau belantara “hutan beton” pelengkap jejaring infrastuktur alam dalam meningkatkan biodiversitas kota (urban biodiversity) ini menjadi oase pemikiran yang segar untuk dikembangkan di lingkungan perkotaan tanah air.
Tepian Greenbelt Seoul, Lembah Gunung Kwanak, Seoul 23 April 2005
______
*Ir Qodarian Pramukanto, DipEnvM, MS. Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Korea.
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/kliping/Taman%20Atap%20Stepping%20Stone%20Hijau%20Jejaring%20Ekologi%20Kota.pdf
Pembangunan perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, namun juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini seringkali menempatkan pertimbangan-pertimbangan atas kota dan entitas alam serta hidupan liar (wildlife) pada posisi yang terpisah.
Bahkan akibat ketersediaan ruang-ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau dan taman kota senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik.
Jakarta dengan luas kota 66 000 ha menjadi contoh terhadap fenomena di atas. Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang mudah dibuktikan. Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37.2 %, berubah menjadi 25.85 % dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985 – 2005 (Perda No.5 tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13.94% dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 – 2010 (Perda No. 6 Tahun 1999). Namun realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir inipun tampaknya “cukup sulit” terpenuhi.
Oleh karena itu sementara kita harus bersabar menantikan political will pemerintah dalam mengimplementasikan rencana tata ruangnya secara konsisten, pemberdayaan potensi ruang hijau lain patut dipertimbangkan. Salah satu upaya pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui program penyusupan kantong-kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau atap ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainya.
Perambahan “hutan beton” dengan ruang hijau atap bangunan ini tidak saja “menghidupkan” ruang sterile yang tidak termanfaatkan, tetapi juga memecahkan desain atap gedung dan horizon kota yang monoton. Kehadiran taman-taman atap tersebut juga memberikan jasa lingkungan berupa pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakan telinga.
Pengembangan ruang hijau vertikal di atas belantara “hutan beton” tersebut mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan biodiversitas di perkotaan. Jalinan antar ruang hijau atap yang terbentuk merupakan jejaring (network) infrastruktur alam di kota. Kehadiran ruang-ruang hijau atap ini menjadi alternatif dalam mengatasi isolasi dan kesulitan dalam membangun jejaring yang kontinyu pada lahan yang terfragmentasi.
Taman atap tersebut menjadi batu pijakan (stepping stone) koridor udara penghubung vegetasi, satwa dan hidupan liar (wildlife). Kehadiran stepping stone hijau ini menjadi komponen pergerakan hidupan liar baik antar relung hijau taman atap kota maupun dengan “kawasan sumber” (resources pool) luar kota.
Sebagai negara yang menandatangani Convention on Biological Diversity, upaya pemulihan lahan-lahan perkotaan yang terdegradasi dengan mengembangkan alternatif peningkatan keragaman biologi di perkotaan (urban biodiversity) patut mendapat acungan jempol. Untuk kasus Jakarta, adanya kendala dalam pengembangan RTH kota berupa penggusuran taman-taman kota menjadi stasiun pengisian bahan bakar atau gardu listrik, penebangan pohon peteduh pada koridor hijau jalur sirkulasi, okupasi koridor biru (blueways) sungai CiLiwung dan jaringan sungai serupa lainnya, serta sabuk hijau mangrove Muara Angke oleh permukiman “liar” setidaknya dapat “dikonpensasi” melalui pengembangan jejaring stepping stone hijau ini. Sehingga pada saatnya nanti apabila keseluruhan komponen infrastruktur hijau bersinergi akan tercipta tatanan infrastruktur alami yang variatif dengan beragam koridor biologi berupa koridor hijau, blueways, greenbelt; dan jejaring hijau berbentuk RTH, taman kota, serta stepping stone hijau.
Adanya peran multi fungsi yang sulit dilakukan pada lahan perkotaan yang terfragmentasi seperti digambarkan di atas menjadi alasan dikembangkannya sistem jejaring stepping stone hijau pada kota-kota besar manca negara.
Sebelum berkembang di Amerika Serikat dan Canada, beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swis, Austria dan negara Skandinavia tercatat menjadi pelopor dalam pembangunan ruang hijau atap bangunan ini.
Penghijauan “hutan beton” perkotaan di Jerman pada tahun 80-an menunjukan peningkatan yang menakjubkan. Gerakan yang di tahun 1989 telah menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi, semakin melebar menjadi 10 juta meter persegi di tahun 1996 dengan proporsi diantara sepuluh atap gedung teradapat satu taman atap. Keberhasilan pembangunan taman atap ini tidak terlepas dari adanya dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35 – 40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.
Di Asia beberapa negara, seperti, Singapura, Hongkong (Cina), Jepang dan Korea dengan gencar menggalakan gerakan penghijauan atap ini. Pemerintah Jepang yang sangat mendukung gerakan ini, sejak 1 April 2004 memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20 % dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Kewajiban ini diberlakukan pada setiap pembangunan gedung layanan publik (dengan luas minimum 250 m persegi) atau fasilitas komersial privat (dengan luas minimum 1000 meter persegi).
Dalam mempromosikan areal hijau kota di Hongkong, telah diterbitkan surat keputusan bersama tiga mentri (bidang Bangunan, bidang Lahan dan bidang Perencanaan) yang memasukan penghijauan atap bangunan dalam standard pembangunan gedung tinggi.
Di Singapur program penghijauan atap-atap gedung tinggi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program yang mendukung Singapur sebagai Kota (Negara) Taman.
Kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul (dengan luas kota 62 000 ha)
mendapat tambahan dalam bentuk taman atap atau ruang hijau atap ini. Ruang hijau potensial yang disumbangan dari “hutan benton” ini setidaknya dapat mencapai sekitar 20 000 ha (30%) dari total kawasan terbangun kota seluas kira-kira 25 000 ha atau 42 % dari luas kota (Kim, 2005).
Pemberdayaan “hutan beton” gedung bertingkat dan struktur bangunan lain menjadi stepping stone hijau kota sangat dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi penghijauan atap.
Desain ruang hijau atap ini dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Dengan mempertimbangkan konstruksi bangunan, seperti kekedapan struktur atap, penggunanan lapisan membran kedap air, root repelling membrane, penggunaan wadah tanam, sistem drainase berlapis, pemilihan dan penggunaan media tanam ringan dan pemilihan jenis tanaman merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkannya. Fungsi ruang hijau atap ini dapat didesain hanya sebagai ruang hijau tanpa akses untuk dikunjungi maupun sebagai taman. Sehingga betuk pengelolaannya akan menyesuaikan dengan desain ruang hijau yang dikembangkan.
Semoga konsep stepping stone hijau belantara “hutan beton” pelengkap jejaring infrastuktur alam dalam meningkatkan biodiversitas kota (urban biodiversity) ini menjadi oase pemikiran yang segar untuk dikembangkan di lingkungan perkotaan tanah air.
Tepian Greenbelt Seoul, Lembah Gunung Kwanak, Seoul 23 April 2005
______
*Ir Qodarian Pramukanto, DipEnvM, MS. Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Korea.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home