“MENGENCANGKAN” SABUK HIJAU JAKARTA: BELAJAR DARI SEOUL
Sabuk hijau atau greenbelt merupakan salah satu konsep dalam perencanaan wilayah/kota yang memisahkan kota-kota dengan jalur hijau sebagai latar belakang kota tersebut. Kehadiran greenbelt seharusnya dipandang tidak saja dari fungsi fisik sebagai barier pemisah kota semata, tetapi juga fungsi ekologi dan juga fungsi sosial sekaligus, seperti mengakomodir sarana rekreasi alam, produksi pertanian, fungsi lindung dan fungsi hutan.
Di banyak kota besar dunia, kegagalan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau ini diakibatkan oleh peningkatan laju pembangunan yang menyertai pertumbuhan penduduk kota. Ledakan penduduk ditengarai tidak saja sebagai biang keladi munculnya permasalah di perkotaan pada tiga sektor, yaitu perumahan, pelayanan dan transportasi tetapi juga akan bermuara pada terlampauinya batas kota. Sejalan dengan perambahan wilayah luar kota ini secara bersamaan “mengaburkan” fungsi sabuk hijau suatu kota.
Kesulitan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau kota ini dialami oleh kota-kota besar dunia, termasuk ibu kota Jakarta. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Jabodetabek semakin mempersulit untuk “mengencangkan” stabilitas fungsi sabuk hijau. Sebagaimana pernyataan Direktur Penataan Ruang Nasional Depkrimpraswil, Ruchiyat Djaka Permana, bahwa penterapan green belt di perkotaan memang sulit dilakukan. Sehingga untuk membangun kawasan hijau pemerintah daerah harus mulai dengan menerapkan kebijakan yang tegas seperti meniadakan izin baru untuk membuka lahan di kawasan hijau dan menerapkan aturan koefisien dasar bangunan yang ketat (Kompas, 11 Agustus 2004).
Untuk membenahi masalah ini kita patut belajar dari pengalaman keberhasilan beberapa kota besar, khususnya di kawasan Asia, seperti Bangkok, Tokyo dan Seoul. Pengalaman dari kota-kota besar ini setidaknya mengajarkan kita mulai dari bagaimana mereka mendefinisikan, memelihara, dan mengelola sabuk hijau yang melingkari kota tersebut sebagai kawasan penyangga alam dalam penanggulangan bahaya alam, polusi dan berbagai masalah akibat peningkatan konsentrasi penduduk dan industri di kota.
Mengamati angka ledakan penduduk di beberapa kota besar dunia menunjukan fenomena yang menarik. London sebagai kota yang berhasil dalam memfungsikan sabuk hijau kotanya mengakumulasi angka pertumbuhan penduduk pada level di atas delapan juta jiwa dalam rentang waktu yang panjang, hampir dua abad (1800 – 1990). Sementara di Asia, seperti Tokyo, Shanghai, Bangkok, dan Seoul secara cepat dapat menanjakan pertumbuhan penduduknya ke tingkat populasi yang sama, hanya dalam kurun waktu kurang dari setengah abad (1950 – 1990). Jakarta, menurut Dharmapatni dan Firman (1995) dengan populasi 6.4 juta di tahun 1980 mampu menembus posisi di atas pada tahun 1990 dengan populasi 8.2 juta jiwa.
Dalam banyak kasus, dorongan kuat ledakan populasi ini pada akhirnya tidak dapat terkonsentrasikan pada kawasan pusat kota dan segera merambah sampai ke daerah pinggir kota. Tipe desakota (campuran urban dan rural) merupakan pola perubahan penggunaan lahan yang khas pada kebanyakan wilayah pinggiran mega-cities Asia, tidak terkecuali dengan Jakarta. Sehingga berbagai fungsi penting sabuk hijau segera beralih fungsi dan sulit dipertahankan sejalan dengan membesarnya kota induk.
Gejala ini dapat dijelaskan dengan mencermati kecenderungan distribusi kepadatan penduduk pada mega-cities yang semakin menjarang di pusat kota namun memadat dipinggiran kota. Penurunan kepadatan penduduk di pusat kota telah dilaporkan oleh Murakami et al (2004), untuk Jakarta dari 198 orang/ha pada tahun 1970 menjadi 153 orang/ha di tahun 1998. Pola serupa terjadi di Bangkok, dimana pada tahun 1970 berkepadatan 222 orang/ha dan turun menjadi 155 orang/ha (1998). Sebaliknya peningkatan kepadatan penduduk yang terjadi pada wilayah pinggir kota sejauh 15–25 km dari pusat kota untuk kedua kota tersebut memperlihatkan pola peningkatan yang serupa.
Sebagai contoh pertama dalam implementasi rencana sabuk hijau kota ini adalah Tokyo. Tokyo yang memulai pembangunan sabuk hijau sejak 1924, setelah melalui beberapa fase kesuksesan, namun diakhiri dengan kegagalan. Berdasarkan rencana induk 1939, sabuk hijau sebagai bagian dari rencana ruang terbuka hijau kota, berperan sebagai perlindungan dalam peperangan, termasuk pengendali kebakaran yang ditimbulkan dalam perang, perlindungan pengungsi dan menciptakan jalur-jalur perlindungan. Sabuk hijau ini secara sinambung dirangkai dengan sistem green finger lewat jalur hijau radial (koridor sungai dan parkway) kota. Konsep yang akan menciptakan sistem jejaringan hijau kota ini nyaris menjadikan Tokyo sebagai kota yang paling hijau di dunia (Yokohari et al, 2000).
Seoul merupakan contoh keberhasilan dalam implementasi sabuk hijau. Kota dengan luas wilayah (62 700 ha) atau nyaris sama dengan DKI Jakarta, telah memulai pembangunan greenbelt pada tahun 1960. Sejak dikeluarkan undang-undang perencanaan kota tahun 1971, pemerintah kota Seoul secara serius memulai instalasi kawasan green belt dan menetapkan sebagai Wilayah Pembangunan Terbatas. Tujuan pembangunan sabuk hijau Seoul adalah untuk pengendali pertumbuhan pembangunan kota, perlindungan lingkungan kota, fungsi keamanan nasional, dan perlindungan fasilitas pertahanan.
Setelah melalui empat fase pembangunan, secara bertahap mulai tahun 1971 sampai 1976, sabuk hijau Seoul Capital Region pada radius 15 km dari pusat kota berhasil dibangun. Sabuk hijau seluas 153 000 ha atau 29 persen dari total areal (540 000 ha) ini merupakan buah kerjasama Seoul dan 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi. Menyertai sukses dalam mendefinisikan sabuk hijau yang masif, Seoul layak menuai predikat sebagai satu-satunya kota di Asia yang berhasil dalam membangun sabuk hijau kota saat ini.
Belajar dari Seoul, setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi keberhasilan dalam membangun sabuk hijaunya, yaitu: perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif, kerangka hukum yang tegas, faktor keamanan nasional (National Security).
Perencanaan Pembangunan Wilayah Komprehensif. Untuk mendefinisikan batas kawasan sabuk hijau keputusan diambil pada tiga tingkat kekuasaan, yaitu pemerintahan pusat, pemerintah metropolitan Seoul, dan pemerintah daerah sekitarnya. Kesepakatan ini dituangkan dalam dokumen rencana kawasan sabuk hijau pada setiap wilayah administarsi dengan luas kawasan yang berbeda-beda. Terdapat dua kategori peruntukan lahan yang ditetapkan pada sabuk hijau, yaitu kategori penggunaan lahan yang sesuai (seperti untuk pertanian, hutan, dan rekreasi alam) dan penggunaan lahan yang tidak sesuai (seperti perumahan, industri, jalan dan berbagai fasilitas/utilitas kota). Perbedaan luas areal yang ditetapkan untuk kawasan sabuk hijau Seoul CapitalRegion ini dapat dilihat tidak hanya dalam besaran kontribusi suatu wilayah administrasi tertentu terhadap total sabuk hijau, tetapi juga proporsi yang disumbangkan terhadap wilayah administrasi yang bersangkutan. Misalnya untuk wilayah administratif kota Kyonang, tercatat menyumbangkan areal terbesar, yaitu seluas 13 500 ha, namun jumlah tersebut hanya 17 persen dari luas administrasi kota tersebut. Sedangkan Kota Baru Hanam, walaupun hanya menyumbangkan sebesar 8 600 ha, tetapi jumlah tersebut merupakan hampir 99 persen dari luas kota baru tersebut.
Kerangka Hukum yang Tegas. Keberhasilan dalam pembangunan sabuk hijau di Seoul dikarenakan adanya perangkat hukum yang kuat dan mempunyai validitas yang teruji, serta tanpa tawar-menawar. Penegakan hukum dilaksanakan dengan sangat tegas pada lahan-lahan dengan status yang telah ditetapkan. Penerapkan kebijakan dalam pendefinisian perubahan peruntukan atas suatu areal dilakukan melalui proses perizinan yang sangat ketat. Disamping itu dukungan masyarakat sangat tinggi, sebagaimana terungkap dalam hasil survey nasional dimana lebih 80 persen penduduk mendukung kehadiran sabuk hijau.
Faktor Keamanan Nasional. Dengan alasan keamanan nasional, sabuk hijau dianggap sebagai benteng tempat berlindungan yang aman apabila terjadi perang. Bahkan pada wilayah sabuk hijau sebelah utara kota Seoul ditetapkan sebagai daerah pembangunan yang sangat terbatas, mengingat dekatnya ke perbatasan dengan Korea Utara. Kehadiran sabuk hijau secara psikologis sangat mendukung dalam menciptakan suasana yang menjamin keamanan dalam situasi “perang” di semenanjung Korea. Faktor ini secara significant memberikan sumbangan atas keberhasilah program tersebut.
Analogi dengan fungsi keamanan, pertimbangan serupa ini telah diterapkan oleh kota Bangkok dalam konteks keamanan dan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana alam dengan melindungi dua segment sabuk hijau kota di sebelah barat dan satu di timur. Pembangunan sabuk hijau kota dalam bentuk zona perlindungan ini tidak disandarkan pada upaya pengendalian petumbuhan kota, melainkan pada kepentingan memelihara fungsi tata air khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao Phraya.
Untuk kasus Jabodetabek, analogi serupa sangat patut diterapkan mengingat berbagai bentuk ancaman terhadap kenyamanan, keamanan dan keselamatan manusia, tidak saja terkonsentrasi di kota induk Jakarta dan kota satelit seperti, Bekasi, Depok, Serpong, namun telah membesar merambah wilayah pinggiran kotanya. Dengan me-reorientasi pembangunan kawasan Jabodetabek yang menyandarkan kembali pada pengembangan konsep sabuk hijau ini dimungkinkan “melebur”-nya demarkasi wilayah administrasi ke dalam kerangka common green dimana tiap-tiap wilayah kota ikut berkontribusi secara proporsional. Besarnya kontribusi ini tentu dilakukan dengan mempertimbangan optimasi peran ekologis, fisik dan sosial- ekonomi dari tiap wilayah dalam lingkar sabuk hijau tersebut.
Sebut saja, untuk sebagian wilayah Jakarta Selatan dan selatan Jakarta (seperti Depok dan sebagian kabupaten Bogor) peran ekologis sebagai daerah resapan (rechargement area), yang mengendalikan fungsi tata air perlu dijadikan dasar dalam mendifinisikan batas dan luasan wilayah yang difungsikan sebagai sabuk hijau. Dimana pada musim kemarau menjamin pasokan air tanah yang sinambung dan pengendali banjir di musim hujan.
Di bagian wilayah Jakarta Timur dan timur Jakarta (seperti Bekasi) yang merupakan lahan kelas satu difungsikan kembali sebagai sabuk hijau lumbung padi dan produksi pertanian.
Sedangkan sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan barat Jakarta (Tangerang dan Serpong) sebagai sabuk hijau dengan fungsi lindung, yang menjaga kesetimbangan tata air, daerah parkir air, pencegah merambahnya intrusi air laut yang sudah mencapai sepertiga daratan ibu kota, pencegah terjadinya subsidence (amblas) lebih dalam, serta berbagai fungsi lindung lain, seperti hutan lindung (hutan mangrove), cagar alam, sempadan sungai dan sempadan pantai.
Semoga uraian dari pengalaman beberapa negara di atas dapat ditarik pelajaran, setidaknya bagi pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota di wilayah Jabodetabek dalam rangka “mengencangkan” sabuk hijau lingkar kotanya.
Lembah Gunung Kwanak, 03 September 2004
copyright(c)qodarian pramukanto
Di banyak kota besar dunia, kegagalan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau ini diakibatkan oleh peningkatan laju pembangunan yang menyertai pertumbuhan penduduk kota. Ledakan penduduk ditengarai tidak saja sebagai biang keladi munculnya permasalah di perkotaan pada tiga sektor, yaitu perumahan, pelayanan dan transportasi tetapi juga akan bermuara pada terlampauinya batas kota. Sejalan dengan perambahan wilayah luar kota ini secara bersamaan “mengaburkan” fungsi sabuk hijau suatu kota.
Kesulitan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau kota ini dialami oleh kota-kota besar dunia, termasuk ibu kota Jakarta. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Jabodetabek semakin mempersulit untuk “mengencangkan” stabilitas fungsi sabuk hijau. Sebagaimana pernyataan Direktur Penataan Ruang Nasional Depkrimpraswil, Ruchiyat Djaka Permana, bahwa penterapan green belt di perkotaan memang sulit dilakukan. Sehingga untuk membangun kawasan hijau pemerintah daerah harus mulai dengan menerapkan kebijakan yang tegas seperti meniadakan izin baru untuk membuka lahan di kawasan hijau dan menerapkan aturan koefisien dasar bangunan yang ketat (Kompas, 11 Agustus 2004).
Untuk membenahi masalah ini kita patut belajar dari pengalaman keberhasilan beberapa kota besar, khususnya di kawasan Asia, seperti Bangkok, Tokyo dan Seoul. Pengalaman dari kota-kota besar ini setidaknya mengajarkan kita mulai dari bagaimana mereka mendefinisikan, memelihara, dan mengelola sabuk hijau yang melingkari kota tersebut sebagai kawasan penyangga alam dalam penanggulangan bahaya alam, polusi dan berbagai masalah akibat peningkatan konsentrasi penduduk dan industri di kota.
Mengamati angka ledakan penduduk di beberapa kota besar dunia menunjukan fenomena yang menarik. London sebagai kota yang berhasil dalam memfungsikan sabuk hijau kotanya mengakumulasi angka pertumbuhan penduduk pada level di atas delapan juta jiwa dalam rentang waktu yang panjang, hampir dua abad (1800 – 1990). Sementara di Asia, seperti Tokyo, Shanghai, Bangkok, dan Seoul secara cepat dapat menanjakan pertumbuhan penduduknya ke tingkat populasi yang sama, hanya dalam kurun waktu kurang dari setengah abad (1950 – 1990). Jakarta, menurut Dharmapatni dan Firman (1995) dengan populasi 6.4 juta di tahun 1980 mampu menembus posisi di atas pada tahun 1990 dengan populasi 8.2 juta jiwa.
Dalam banyak kasus, dorongan kuat ledakan populasi ini pada akhirnya tidak dapat terkonsentrasikan pada kawasan pusat kota dan segera merambah sampai ke daerah pinggir kota. Tipe desakota (campuran urban dan rural) merupakan pola perubahan penggunaan lahan yang khas pada kebanyakan wilayah pinggiran mega-cities Asia, tidak terkecuali dengan Jakarta. Sehingga berbagai fungsi penting sabuk hijau segera beralih fungsi dan sulit dipertahankan sejalan dengan membesarnya kota induk.
Gejala ini dapat dijelaskan dengan mencermati kecenderungan distribusi kepadatan penduduk pada mega-cities yang semakin menjarang di pusat kota namun memadat dipinggiran kota. Penurunan kepadatan penduduk di pusat kota telah dilaporkan oleh Murakami et al (2004), untuk Jakarta dari 198 orang/ha pada tahun 1970 menjadi 153 orang/ha di tahun 1998. Pola serupa terjadi di Bangkok, dimana pada tahun 1970 berkepadatan 222 orang/ha dan turun menjadi 155 orang/ha (1998). Sebaliknya peningkatan kepadatan penduduk yang terjadi pada wilayah pinggir kota sejauh 15–25 km dari pusat kota untuk kedua kota tersebut memperlihatkan pola peningkatan yang serupa.
Sebagai contoh pertama dalam implementasi rencana sabuk hijau kota ini adalah Tokyo. Tokyo yang memulai pembangunan sabuk hijau sejak 1924, setelah melalui beberapa fase kesuksesan, namun diakhiri dengan kegagalan. Berdasarkan rencana induk 1939, sabuk hijau sebagai bagian dari rencana ruang terbuka hijau kota, berperan sebagai perlindungan dalam peperangan, termasuk pengendali kebakaran yang ditimbulkan dalam perang, perlindungan pengungsi dan menciptakan jalur-jalur perlindungan. Sabuk hijau ini secara sinambung dirangkai dengan sistem green finger lewat jalur hijau radial (koridor sungai dan parkway) kota. Konsep yang akan menciptakan sistem jejaringan hijau kota ini nyaris menjadikan Tokyo sebagai kota yang paling hijau di dunia (Yokohari et al, 2000).
Seoul merupakan contoh keberhasilan dalam implementasi sabuk hijau. Kota dengan luas wilayah (62 700 ha) atau nyaris sama dengan DKI Jakarta, telah memulai pembangunan greenbelt pada tahun 1960. Sejak dikeluarkan undang-undang perencanaan kota tahun 1971, pemerintah kota Seoul secara serius memulai instalasi kawasan green belt dan menetapkan sebagai Wilayah Pembangunan Terbatas. Tujuan pembangunan sabuk hijau Seoul adalah untuk pengendali pertumbuhan pembangunan kota, perlindungan lingkungan kota, fungsi keamanan nasional, dan perlindungan fasilitas pertahanan.
Setelah melalui empat fase pembangunan, secara bertahap mulai tahun 1971 sampai 1976, sabuk hijau Seoul Capital Region pada radius 15 km dari pusat kota berhasil dibangun. Sabuk hijau seluas 153 000 ha atau 29 persen dari total areal (540 000 ha) ini merupakan buah kerjasama Seoul dan 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi. Menyertai sukses dalam mendefinisikan sabuk hijau yang masif, Seoul layak menuai predikat sebagai satu-satunya kota di Asia yang berhasil dalam membangun sabuk hijau kota saat ini.
Belajar dari Seoul, setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi keberhasilan dalam membangun sabuk hijaunya, yaitu: perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif, kerangka hukum yang tegas, faktor keamanan nasional (National Security).
Perencanaan Pembangunan Wilayah Komprehensif. Untuk mendefinisikan batas kawasan sabuk hijau keputusan diambil pada tiga tingkat kekuasaan, yaitu pemerintahan pusat, pemerintah metropolitan Seoul, dan pemerintah daerah sekitarnya. Kesepakatan ini dituangkan dalam dokumen rencana kawasan sabuk hijau pada setiap wilayah administarsi dengan luas kawasan yang berbeda-beda. Terdapat dua kategori peruntukan lahan yang ditetapkan pada sabuk hijau, yaitu kategori penggunaan lahan yang sesuai (seperti untuk pertanian, hutan, dan rekreasi alam) dan penggunaan lahan yang tidak sesuai (seperti perumahan, industri, jalan dan berbagai fasilitas/utilitas kota). Perbedaan luas areal yang ditetapkan untuk kawasan sabuk hijau Seoul CapitalRegion ini dapat dilihat tidak hanya dalam besaran kontribusi suatu wilayah administrasi tertentu terhadap total sabuk hijau, tetapi juga proporsi yang disumbangkan terhadap wilayah administrasi yang bersangkutan. Misalnya untuk wilayah administratif kota Kyonang, tercatat menyumbangkan areal terbesar, yaitu seluas 13 500 ha, namun jumlah tersebut hanya 17 persen dari luas administrasi kota tersebut. Sedangkan Kota Baru Hanam, walaupun hanya menyumbangkan sebesar 8 600 ha, tetapi jumlah tersebut merupakan hampir 99 persen dari luas kota baru tersebut.
Kerangka Hukum yang Tegas. Keberhasilan dalam pembangunan sabuk hijau di Seoul dikarenakan adanya perangkat hukum yang kuat dan mempunyai validitas yang teruji, serta tanpa tawar-menawar. Penegakan hukum dilaksanakan dengan sangat tegas pada lahan-lahan dengan status yang telah ditetapkan. Penerapkan kebijakan dalam pendefinisian perubahan peruntukan atas suatu areal dilakukan melalui proses perizinan yang sangat ketat. Disamping itu dukungan masyarakat sangat tinggi, sebagaimana terungkap dalam hasil survey nasional dimana lebih 80 persen penduduk mendukung kehadiran sabuk hijau.
Faktor Keamanan Nasional. Dengan alasan keamanan nasional, sabuk hijau dianggap sebagai benteng tempat berlindungan yang aman apabila terjadi perang. Bahkan pada wilayah sabuk hijau sebelah utara kota Seoul ditetapkan sebagai daerah pembangunan yang sangat terbatas, mengingat dekatnya ke perbatasan dengan Korea Utara. Kehadiran sabuk hijau secara psikologis sangat mendukung dalam menciptakan suasana yang menjamin keamanan dalam situasi “perang” di semenanjung Korea. Faktor ini secara significant memberikan sumbangan atas keberhasilah program tersebut.
Analogi dengan fungsi keamanan, pertimbangan serupa ini telah diterapkan oleh kota Bangkok dalam konteks keamanan dan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana alam dengan melindungi dua segment sabuk hijau kota di sebelah barat dan satu di timur. Pembangunan sabuk hijau kota dalam bentuk zona perlindungan ini tidak disandarkan pada upaya pengendalian petumbuhan kota, melainkan pada kepentingan memelihara fungsi tata air khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao Phraya.
Untuk kasus Jabodetabek, analogi serupa sangat patut diterapkan mengingat berbagai bentuk ancaman terhadap kenyamanan, keamanan dan keselamatan manusia, tidak saja terkonsentrasi di kota induk Jakarta dan kota satelit seperti, Bekasi, Depok, Serpong, namun telah membesar merambah wilayah pinggiran kotanya. Dengan me-reorientasi pembangunan kawasan Jabodetabek yang menyandarkan kembali pada pengembangan konsep sabuk hijau ini dimungkinkan “melebur”-nya demarkasi wilayah administrasi ke dalam kerangka common green dimana tiap-tiap wilayah kota ikut berkontribusi secara proporsional. Besarnya kontribusi ini tentu dilakukan dengan mempertimbangan optimasi peran ekologis, fisik dan sosial- ekonomi dari tiap wilayah dalam lingkar sabuk hijau tersebut.
Sebut saja, untuk sebagian wilayah Jakarta Selatan dan selatan Jakarta (seperti Depok dan sebagian kabupaten Bogor) peran ekologis sebagai daerah resapan (rechargement area), yang mengendalikan fungsi tata air perlu dijadikan dasar dalam mendifinisikan batas dan luasan wilayah yang difungsikan sebagai sabuk hijau. Dimana pada musim kemarau menjamin pasokan air tanah yang sinambung dan pengendali banjir di musim hujan.
Di bagian wilayah Jakarta Timur dan timur Jakarta (seperti Bekasi) yang merupakan lahan kelas satu difungsikan kembali sebagai sabuk hijau lumbung padi dan produksi pertanian.
Sedangkan sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan barat Jakarta (Tangerang dan Serpong) sebagai sabuk hijau dengan fungsi lindung, yang menjaga kesetimbangan tata air, daerah parkir air, pencegah merambahnya intrusi air laut yang sudah mencapai sepertiga daratan ibu kota, pencegah terjadinya subsidence (amblas) lebih dalam, serta berbagai fungsi lindung lain, seperti hutan lindung (hutan mangrove), cagar alam, sempadan sungai dan sempadan pantai.
Semoga uraian dari pengalaman beberapa negara di atas dapat ditarik pelajaran, setidaknya bagi pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota di wilayah Jabodetabek dalam rangka “mengencangkan” sabuk hijau lingkar kotanya.
Lembah Gunung Kwanak, 03 September 2004
copyright(c)qodarian pramukanto
0 Comments:
Post a Comment
<< Home