MENGGAMBAR PETA BIOREGIONAL KOTA BOGOR
Qodarian Pramukanto*
Bogor, seperti juga kota-kota lainnya, saat ini sedang bergiat memacu pembangunan kotanya. Aktivitas pembangunan kota ini pada hakekatnya bisa kita ikuti melalui representasi ragam bentuk dan pola garis yang dapat tergambar di peta. Berbagai bentuk pembangunan, baik itu suatu panambahan, pengurangan atau perubahan yang terjadi pada elemen dan ruang-ruang kota apabila dipetakan akan menyajikan gambaran yang kompleksitas yang ada.
Peta kota, sebagaimana peta lainnya, mempunyai arti penting lebih dari sekedar sebagai informasi keruangan (spatial), seperti petunjuk sebaran ruang-ruang kota, orientasi lokasi suatu tempat, posisi relatif suatu tempat terhadap tempat lain, dan jarak dari satu tempat ketempat lain. Namun peta juga menyajikan gambaran atas tatanan lanskap dari suatu kota, tatanan aktivitas yang menyertainya, serta mengandung berbagai makna penting atas suatu tempat (place meaning) bagi masyarakat kota yang bersangkutan. Peta memberi gambaran bagaimana manusia membagi-bagi lahan untuk berbagai peruntukan, menunjukan dimana batas awal dan akhir dari suatu tanah milik, batas dari suatu komunitas masyarakat kota, dimana jalan terdekat untuk mencapai suatu tempat tujuan tertentu, sampai pada menentukan dimana anak-anak kita dapat bersekolah. Selain itu melalui peta terungkap nuansa yang mencerminkan berbagai qualitas dalam bentuk harapan, keinginan, kehendak, kenyamanan, keamanan sampai kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan dan kekecewaan masyarakat kota.
Ungkapan-ungkapan tersebut tersajikan berupa mosaik dan garis peta sebagai simbol berbagai bentuk struktur bangunan, rumah, gedung, jalan, jembatan penyebrangan, terowongan, tempat parkir, taman yang kita bangun. Namun tidak selalu garis yang tergambar di peta terinterpretasikan sebagai sesuatu yang diinginkan, harmonis, aman atau bermanfaat bagi kehidupan dan lingkungan sekitar kita, karena kerap hal sebaliknya yang terjadi. Tidak jarang ragam nuansa garis “merah” lebih mendominasi dari yang “hijau”.
Dalam setiap tarikan garis-garis peta tersebut ada banyak pihak terkait dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Kehendak sebagian dapat saja tidak sejalan dengan hal yang seharusnya. Suatu keinginan bisa menjadi ancamam bagi pihak lain. Dan tidak jarang suatu bentuk pembangunan dapat mengganggu privacy dan juga hak milik pribadi. Bahkan kerap juga kita terpaksa atau dipaksa untuk menarik garis dengan menggunakan pena “merah” yang sengaja didatangkan dari luar wilayah kita. Sehingga gambar peta yang tersaji terlihat tidak saja tampak nuasa yang tidak diinginkan, out of place, tetapi juga terjadi tumpang tindih satu garis dengan garis lain, serta terdapat saling silang garis batas yang sarat dengan muatan konflik kepentingan.
Munculnya beragam batas-batas domain yang membingungkan ini sering tidak dapat dilihat secara visual (invisible) di lapangan, terkadang tumpang tindih dan jarang saling berkaitan serta tidak mengacu pada batas-batas alam atau tatanan geografi kota yang jelas, serta jauh dari pencerminan jati diri dari suatu tempat. Sehingga tidak jarang ditemukan rangkaian mosaik jejaring peta kota yang komplek dan abstrak. Dimana tanpa kita sadari seolah-olah batas-batas jurisdiksi ini sengaja dibuat untuk memisahkan kita dari belahan bumi yang kita pijak. Hal ini jelas memperlihatkan adanya kesenjangan titik pandang, dimana semakin menjauhnya kerangka acuan (frame of reference) yang memandu kita untuk selalu berfikir bahwa kita sendiri (baca: masyarakat kota) adalah bagian dari sistem kehidupan dimana kita tinggal. Padahal paradigma atas adanya keterkaitan antara tempat dimana kita hidup serta nilai-nilai sosial-budaya yang ada tidak perlu disangsikan lagi. Nampaknya kita perlu mendapatkan cara menata garis-garis batas mosaik peta kota kita, baik secara sosio-budaya, biologis dan geografis ke dalam satuan-satuan wilayah yang dapat dikelola (manageable).
Upaya untuk menata fenomena konflik keruangan (spatial) yang muncul di atas dapat dijelaskan berdasarkan konsep bioregion. Menurut Thayer (2003), bioregion berasal dari kata bio (=hidup) dan region (=territory), yaitu tempat hidup (life place), suatu lingkungan khas dimana batas-batasnya lebih ditentukan oleh tatanan alam (dari pada faktor politis) serta mampu mendukung keunikan aktivitas komunitas makhluk hidup di dalamnya. Satuan (unit) bioregion ini merupakan ukuran berskala manusia yang tepat untuk mengorganisir tatanan alam dan komunitas manusia secara simultan dan lestari. Bentuk dan cakupan wilayah aktivitas komunitas dalam bioregion tersebut antar lain dapat meliputi ruang tempat tinggal, ruang tempat mencari nafkah, ruang untuk berekreasi dan sebagainya. Sehingga batas wilayah ini tidak lagi definisikan berdasarkan hal-hal yang berkenaan dengan daerah kepemilikan, pelayanan dan administrasi, seperti batas tanah milik, batas RT/RW, batas kelurahan, batas kecamatan, batas kota, batas kode pos, batas pelayanan kepemerintahan, dan sebagainya.
Oleh karean itu setiap konflik keruangan yang mengindikasi terabaikannya batas-batas satuan (unit) bioregion dari komunitas masyarakat perlu mendapat perhatian serius. Karena setiap unit bioregion bersifat unik dan khas, pembangunan di suatu bagian kota tidak dapat disamaratakan untuk seluruh kawasan, akan tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik bioregion yang bersangkutan. Sebagai contoh kekhasan suatu tempat dalam wujud “jatidiri tempat” (sense of place). Untuk kota Bogor hal ini hadir dalam berbagai bentuk. Ada kawasan yang kuat dengan nuansa “kolonial” bangunan yang bergaya Indische Architecture seperti di sekitar Jalan Pangrango, Jalan Sudirman, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Semboja. Di bagian lain terdapat keunikan rancangan ruang luar pada taman lingkungan yang simetris di kawasan permukiman seperti taman Kencana atau taman ala Inggris di kompleks Istana-Kebun Raya. Disamping aset-aset sejarah kota ini, perlu diperhitungkan juga kehadiran tatanan etnis lainnya seperti kawasan pecinan dengan deretan ruko di penggalan jalan Suryakencana, kawasan kauman di sekitar alun-laun Empang, serta berbagai tatanan fungsi kota lainnya, seperti pusat perkantoran, lembaga penelitian dan pusat-pusat pelayanan.
Nampaknya orientasi pembangunan berdasarkan konsep bioregional di perkotaan relevan untuk diterapkan karena bertumpu pada permasalahan pokok dari unit bioregion yang bersangkutan. Oleh karenanya sajian garis-garis batas yang diharapkan muncul pada peta adalah berupa himpitan garis yang setangkup atau setidaknya sebangun. Hal ini berbeda dengan orientasi pembangunan lainnya yang bersifat sektoral, dimana sering muncul konflik keruangan berwujud tumpang tindih dan saling silang garis-garis batas peta. Penyebabnya adalah orientasi pembangunan sektoral yang kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya dan biasanya kurang memperhatiakan sektor lainnya.
Sejalan dengan dinamikan pembangunan, kebutuhan untuk menggambarkan garis-garis mosaik peta kota kita tidak dapat dihentikann. Sehingga ungkapan yang dikemukakan Beach (1999) patut kita simak, Life like art. You have to draw the line somewhere. Maknanya apabila kita ingin mempunyai peta dengan mosaik dan komposisi warna serta dominasi nuansa garis yang diinginkan, keterlibatan kita tidak dapat dielakan, atau minimal ada pihak-pihak yang mau menggambarkan garis-garis yang sesuai keinginan, relevan dengan kebutuhan, serta untuk kemaslahatan bersama masyarakat Bogor. Sehingga tidak muncul garis dalam nuansa wujud yang tidak dikehendaki, seperti jembatan penyeberangan yang tidak digunakan, kawasan permukiman berubah menjadi hotel, outlet-outlet, perkantoran, bank, ruang terbuka hijau (RTH) menjadi tempat parkir atau areal perkerasan lain, pedestrian jadi areal gelaran PKL, okupasi pemandangan oleh billboard iklan, arus lalu lintas macet karena jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan, terjadi traffic conjunction, termasuk juga berbagai bentuk penjarahan ruang publik, serta munculnya daerah-daerah kupat (kumuh padat) dan kumis (kumuh miskin).
Menyadari akan pentingnya keterlibahtan berbagai steakholder dalam mendelineasi peta kota kita, maka sudah saatnya dibangun mekanisme kelembagaan yang mengorganisasir potensi-potensi penggerak pembangunan kota. Masyarakat harus diberdayakan dan berperanserta dalam pembangunan kota, dimana kebijakan atau rencana yang tertuang benar-benar mencerminkan kehendak atau aspirasi masyarakat itu sendiri. Sehingga kebijakan top-down tidak lagi mewarnai tarikan garis di peta kota. Masyarakat Bogor, para pakar, perguruan tinggi, LSM, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu terlibat dengan peran masing-masing pada setiap tarikan garis dalam menyusun gambar peta masa depan kota kita.
__________________
*) Staf pengajar pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB
Bogor, seperti juga kota-kota lainnya, saat ini sedang bergiat memacu pembangunan kotanya. Aktivitas pembangunan kota ini pada hakekatnya bisa kita ikuti melalui representasi ragam bentuk dan pola garis yang dapat tergambar di peta. Berbagai bentuk pembangunan, baik itu suatu panambahan, pengurangan atau perubahan yang terjadi pada elemen dan ruang-ruang kota apabila dipetakan akan menyajikan gambaran yang kompleksitas yang ada.
Peta kota, sebagaimana peta lainnya, mempunyai arti penting lebih dari sekedar sebagai informasi keruangan (spatial), seperti petunjuk sebaran ruang-ruang kota, orientasi lokasi suatu tempat, posisi relatif suatu tempat terhadap tempat lain, dan jarak dari satu tempat ketempat lain. Namun peta juga menyajikan gambaran atas tatanan lanskap dari suatu kota, tatanan aktivitas yang menyertainya, serta mengandung berbagai makna penting atas suatu tempat (place meaning) bagi masyarakat kota yang bersangkutan. Peta memberi gambaran bagaimana manusia membagi-bagi lahan untuk berbagai peruntukan, menunjukan dimana batas awal dan akhir dari suatu tanah milik, batas dari suatu komunitas masyarakat kota, dimana jalan terdekat untuk mencapai suatu tempat tujuan tertentu, sampai pada menentukan dimana anak-anak kita dapat bersekolah. Selain itu melalui peta terungkap nuansa yang mencerminkan berbagai qualitas dalam bentuk harapan, keinginan, kehendak, kenyamanan, keamanan sampai kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan dan kekecewaan masyarakat kota.
Ungkapan-ungkapan tersebut tersajikan berupa mosaik dan garis peta sebagai simbol berbagai bentuk struktur bangunan, rumah, gedung, jalan, jembatan penyebrangan, terowongan, tempat parkir, taman yang kita bangun. Namun tidak selalu garis yang tergambar di peta terinterpretasikan sebagai sesuatu yang diinginkan, harmonis, aman atau bermanfaat bagi kehidupan dan lingkungan sekitar kita, karena kerap hal sebaliknya yang terjadi. Tidak jarang ragam nuansa garis “merah” lebih mendominasi dari yang “hijau”.
Dalam setiap tarikan garis-garis peta tersebut ada banyak pihak terkait dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Kehendak sebagian dapat saja tidak sejalan dengan hal yang seharusnya. Suatu keinginan bisa menjadi ancamam bagi pihak lain. Dan tidak jarang suatu bentuk pembangunan dapat mengganggu privacy dan juga hak milik pribadi. Bahkan kerap juga kita terpaksa atau dipaksa untuk menarik garis dengan menggunakan pena “merah” yang sengaja didatangkan dari luar wilayah kita. Sehingga gambar peta yang tersaji terlihat tidak saja tampak nuasa yang tidak diinginkan, out of place, tetapi juga terjadi tumpang tindih satu garis dengan garis lain, serta terdapat saling silang garis batas yang sarat dengan muatan konflik kepentingan.
Munculnya beragam batas-batas domain yang membingungkan ini sering tidak dapat dilihat secara visual (invisible) di lapangan, terkadang tumpang tindih dan jarang saling berkaitan serta tidak mengacu pada batas-batas alam atau tatanan geografi kota yang jelas, serta jauh dari pencerminan jati diri dari suatu tempat. Sehingga tidak jarang ditemukan rangkaian mosaik jejaring peta kota yang komplek dan abstrak. Dimana tanpa kita sadari seolah-olah batas-batas jurisdiksi ini sengaja dibuat untuk memisahkan kita dari belahan bumi yang kita pijak. Hal ini jelas memperlihatkan adanya kesenjangan titik pandang, dimana semakin menjauhnya kerangka acuan (frame of reference) yang memandu kita untuk selalu berfikir bahwa kita sendiri (baca: masyarakat kota) adalah bagian dari sistem kehidupan dimana kita tinggal. Padahal paradigma atas adanya keterkaitan antara tempat dimana kita hidup serta nilai-nilai sosial-budaya yang ada tidak perlu disangsikan lagi. Nampaknya kita perlu mendapatkan cara menata garis-garis batas mosaik peta kota kita, baik secara sosio-budaya, biologis dan geografis ke dalam satuan-satuan wilayah yang dapat dikelola (manageable).
Upaya untuk menata fenomena konflik keruangan (spatial) yang muncul di atas dapat dijelaskan berdasarkan konsep bioregion. Menurut Thayer (2003), bioregion berasal dari kata bio (=hidup) dan region (=territory), yaitu tempat hidup (life place), suatu lingkungan khas dimana batas-batasnya lebih ditentukan oleh tatanan alam (dari pada faktor politis) serta mampu mendukung keunikan aktivitas komunitas makhluk hidup di dalamnya. Satuan (unit) bioregion ini merupakan ukuran berskala manusia yang tepat untuk mengorganisir tatanan alam dan komunitas manusia secara simultan dan lestari. Bentuk dan cakupan wilayah aktivitas komunitas dalam bioregion tersebut antar lain dapat meliputi ruang tempat tinggal, ruang tempat mencari nafkah, ruang untuk berekreasi dan sebagainya. Sehingga batas wilayah ini tidak lagi definisikan berdasarkan hal-hal yang berkenaan dengan daerah kepemilikan, pelayanan dan administrasi, seperti batas tanah milik, batas RT/RW, batas kelurahan, batas kecamatan, batas kota, batas kode pos, batas pelayanan kepemerintahan, dan sebagainya.
Oleh karean itu setiap konflik keruangan yang mengindikasi terabaikannya batas-batas satuan (unit) bioregion dari komunitas masyarakat perlu mendapat perhatian serius. Karena setiap unit bioregion bersifat unik dan khas, pembangunan di suatu bagian kota tidak dapat disamaratakan untuk seluruh kawasan, akan tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik bioregion yang bersangkutan. Sebagai contoh kekhasan suatu tempat dalam wujud “jatidiri tempat” (sense of place). Untuk kota Bogor hal ini hadir dalam berbagai bentuk. Ada kawasan yang kuat dengan nuansa “kolonial” bangunan yang bergaya Indische Architecture seperti di sekitar Jalan Pangrango, Jalan Sudirman, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Semboja. Di bagian lain terdapat keunikan rancangan ruang luar pada taman lingkungan yang simetris di kawasan permukiman seperti taman Kencana atau taman ala Inggris di kompleks Istana-Kebun Raya. Disamping aset-aset sejarah kota ini, perlu diperhitungkan juga kehadiran tatanan etnis lainnya seperti kawasan pecinan dengan deretan ruko di penggalan jalan Suryakencana, kawasan kauman di sekitar alun-laun Empang, serta berbagai tatanan fungsi kota lainnya, seperti pusat perkantoran, lembaga penelitian dan pusat-pusat pelayanan.
Nampaknya orientasi pembangunan berdasarkan konsep bioregional di perkotaan relevan untuk diterapkan karena bertumpu pada permasalahan pokok dari unit bioregion yang bersangkutan. Oleh karenanya sajian garis-garis batas yang diharapkan muncul pada peta adalah berupa himpitan garis yang setangkup atau setidaknya sebangun. Hal ini berbeda dengan orientasi pembangunan lainnya yang bersifat sektoral, dimana sering muncul konflik keruangan berwujud tumpang tindih dan saling silang garis-garis batas peta. Penyebabnya adalah orientasi pembangunan sektoral yang kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya dan biasanya kurang memperhatiakan sektor lainnya.
Sejalan dengan dinamikan pembangunan, kebutuhan untuk menggambarkan garis-garis mosaik peta kota kita tidak dapat dihentikann. Sehingga ungkapan yang dikemukakan Beach (1999) patut kita simak, Life like art. You have to draw the line somewhere. Maknanya apabila kita ingin mempunyai peta dengan mosaik dan komposisi warna serta dominasi nuansa garis yang diinginkan, keterlibatan kita tidak dapat dielakan, atau minimal ada pihak-pihak yang mau menggambarkan garis-garis yang sesuai keinginan, relevan dengan kebutuhan, serta untuk kemaslahatan bersama masyarakat Bogor. Sehingga tidak muncul garis dalam nuansa wujud yang tidak dikehendaki, seperti jembatan penyeberangan yang tidak digunakan, kawasan permukiman berubah menjadi hotel, outlet-outlet, perkantoran, bank, ruang terbuka hijau (RTH) menjadi tempat parkir atau areal perkerasan lain, pedestrian jadi areal gelaran PKL, okupasi pemandangan oleh billboard iklan, arus lalu lintas macet karena jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan, terjadi traffic conjunction, termasuk juga berbagai bentuk penjarahan ruang publik, serta munculnya daerah-daerah kupat (kumuh padat) dan kumis (kumuh miskin).
Menyadari akan pentingnya keterlibahtan berbagai steakholder dalam mendelineasi peta kota kita, maka sudah saatnya dibangun mekanisme kelembagaan yang mengorganisasir potensi-potensi penggerak pembangunan kota. Masyarakat harus diberdayakan dan berperanserta dalam pembangunan kota, dimana kebijakan atau rencana yang tertuang benar-benar mencerminkan kehendak atau aspirasi masyarakat itu sendiri. Sehingga kebijakan top-down tidak lagi mewarnai tarikan garis di peta kota. Masyarakat Bogor, para pakar, perguruan tinggi, LSM, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu terlibat dengan peran masing-masing pada setiap tarikan garis dalam menyusun gambar peta masa depan kota kita.
__________________
*) Staf pengajar pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB
0 Comments:
Post a Comment
<< Home