Tuesday, February 22, 2005

Gam, KKachi dan Kearifan Lokal

Di akhir musih gugur (ga-eul) ini di bumi negeri kimchi masih menyisakan sajian keunikan alam. Salah satunya adalah booming buah persimon atau kalau di tanahh air kita dikenal sebagai kesemek. Kalau diamati tampak buah ini agak berbeda dari segi ukuran, warna, bentuk maupun rasanya dengan yang biasa kita lihat di tanah air. Sepintas bentuk dan warnanya mirip buah tomat lokal. Di tanah air buah serupa sering kita lihat umumnya berwarna kuningkehijauan sampai kuning, rasanya manis sedikit asam, berdaging buah agak keras dan kulitnya bergetah yang gatal, sehingga sebelum dimakan biasanya perlu di-“bedaki” dahulu dengan ditaburi powder, oleh karena itu sering disebut juga sebagai “buah genit”.

Image hosted by Photobucket.com

Sebenarnya dari segi warna, buah persimon yang di Korea disebut gam (감), pada saat masak tidak terlalu berbeda dengan kesemek kita. Gam mempunyai warna buah masak kuningkehijauan yang mirip dengan kesemek kita, tapi kulit buahnya tidak bergetah serta berdaging buah yang lebih lunak dibandingkan kesemek. Namun kalau kita lihat gam yang dijajakan tampak mempunyai corak warna dan ukuran yang berbeda-beda. Ada gam yang berwarna kuningkehijauan, ada yang merah, juga ukurannya ada yang kecil dan ada yang besar. Gam yang berwarna merah adalah gam yang dipanen sebelum masak dan telah melalui proses pengolahan pasca panen tertentu. Selain warna kulitnya berubah menjadi merah sepintas yang mirip tomat, juga daging buahnya menjadi sangat lunak. Untuk gam yang sudah melalui perlakuan khusus ini disebut hong-si (홍시, hong = merah, si=buah).



Gam disamping sebagai buah yang disukai oleh manusia, juga merupakan pakan dari burung pemakan buah, salah satunya adalah burung yang bernama kkachi (까치) yang dipercaya oleh orang Korea sebagai fortune bird. Burung dapat dikenali dengan warna bulu pada bagian punggung dan kepala berwarna hitam, serta bagian dada dan sebagian ekornya yang panjang berwarna putih. Apabila di pagi hari terdengar kicau burung ini maka diyakini sebagai pertanda akan datang rezeki pada hari itu. Selain kachi ada jenis burung lain yang dipercaya sebagai penyebab ketidakberuntungan, yaitu burung yang berbulu hitam, mirip burung gagak yang namanya kamakwi (까마귀).



Di semenanjung Korea, kedua jenis burung ini dapat dijumpai dimana-mana, di pedesaan maupun di kota. Bahkan jenis kachi dengan kemudahannya beradaptasi, menyebabkan populasinya terus meningkat. Sehingga saat ini populasinya telah berlebih. Di beberapa tempat, seperti di perkebunan buah pear, jenis ini merupakan hama. Juga, sering kali jenis ini menimbulkan masalah di daerah perkotaan karena kerap membangun sarang pada jalur transmisi listrik, yang sangat membahayakan sistem instalasi.

Terlepas dari kepercayaan terhadap kehadiran kedua jenis unggas, serta
statusnya sebagai hama atau penggangu, namum keberadaannya sebagai bagian dari rantai ekosistem tetap mendapat tempat bagi masyarakat Korea. Kepedulian masyarakat dapat dilihat dalam hal menjamin ketersediaan pakan bagi makhuk bersayap ini. Salah satu bukti dapat ditemukan pada kebiasaan orang Korea dalam memanen buah gam. Kalau mereka mempunyai pohon gam yang sedang berbuah, maka mereka menerapkan etika, tidak akan memanen keseluruhan buah tersebut, tapi tetap membiarkan sebagian buah tersebut dipohon untuk disisakan sebagai pakan bagi burung pemakan buah, yang salah satunya jenis kachi tersebut. Sehingga pemandangan musim gugur yang terjadi di perkebunan gam, hanyalah guguran daun saja namun tetap menyisakan buah pada ranting-ranting pohonya.

Kearifan lokal serupa kerap kita jumpai dalam kehidupan di masyarakat tradisional di tanah air kita, seperti kita temukan di salah satu daerah di Jawa Barat. Etika lingkungan yang diterpakan oleh masyarakat tradisional tersebut dalam memetik buah dari suatu pohon atau memanen di hutan adalah hanya memetik buah-buah yang mampu dijangkau oleh galah dengan panjang tertentu saja. Buah yang berada lebih tinggi dari jangkauan panjang galah tersebut tidak boleh dipetik. Karena buah ini diperuntuknan sebagai jatah pakan bagi satwa lain, seperti burung, kalong, kera atau satwa pemakan buah lainnya.

Semoga saja bentuk kearifan lokal ini tetap terjaga di negeri kita, sehingga salah satu kasus raibnya Daerah Tujuan Wisata”-nya kalong (Pteropus vampirus) dari Kebun Raya Bogor yang mencari pakan di daerah penghasil buah Sukaraja, Gunung Geulis, Sentul, Babakan Madang, Ciawi dan sekitarnya tidak selalu berulang. Mereka bukan sekedar memanen habis buah, tetapi memanen habis pohon-pohon tersebut sampai batang-batangpun tak bersisa dan mengokupasi foraging area bagi satu-satunya mamalia bersayap ini serta menyebut daerah tersebut dengan Bogor Lake Side, Gunung Geulis Country Club, Sentul Highland, dan lain-lain sebutan yang indah-indah, namun jauh dari mengindahkan kearifan lokal.

Lembah Gunung Kwanak, 11 Novermber 2004
Copyright(c)qodarian pramukanto

0 Comments:

Post a Comment

<< Home