Climbing up to the Sky, Menggapai Universitas Papan Atas
Oleh Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MS
Kita masih ingat kata bijak yang diucapkan persiden Sukarno, “gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”. Namun seorang profesor di almamater saya, IPB, pernah berpesan dengan mengubah redaksinya menjadi agak konkrit dan lebih tinggi lagi, “.....gantungkan bintang-bintangmu pada cita-cita”. Rupanya rangkaian kata-kata bijak senada juga telah menggelorakan semangat juang para siswa SMU di negeri ginseng yang semakin memanas menjelang seleksi masuk perguruan tinggi di musim dingin ini. Climbing up to the Sky adalah ungkapan bagi siswa yang tengah membidik perguruan tinggi papan atas yang menjadi impian. Kalau boleh menyebutkan tiga diantara beberapa perguruan tinggi lain yang dianggap menempati posisi tersebut, adalah Seoul National University, Yonsei University and Korea University.
Metamorfosis pendidikan dasar-menengah yang akan melahirkan calon-calon mahasiswa strata satu ini harus berhadapan dengan kriteria seleksi berlapis dan berbagai tipe penjaringan calon mahasiswa yang spesifik. Sehingga fase pendakian menuju tataran universitas “langit” ini tidak cukup hanya berbekal prestasi kelulusan yang diperoleh di SMU, rapot dan STTB, tetapi perlu memperlihatkan prestasi unggulan lainnya. Bahkan sekedar mengantongi skor tinggi di arena seleksi nasional “u-em-pe-te-en” ala negeri semenanjung ini untuk lima mata ajaran yang diujikan tidaklah cukup. Sebab medan laga masuk perguruan tinggi terbentang luas, seluas prestasi dan sedalam pengalaman pada komponen penunjang unggulan dari siswa. Hanya mereka yang lolos “u-em-pe-te-en” dengan skor tinggi pada selang yang dipatok oleh universitas unggulan tersebut yang bisa meneruskan pertempuran ketahap lanjut, selebihnya dipersilahkan segera mengubur mimpinya dan memilih universitas lain sesuai dengan perolehan skor. Selanjutnya, peserta yang lolos ke tahap akhir yang semakin mengerucut tersebut masih harus berjuang memenuhi undangan universitas pilihannya untuk “diadu” dengan perserta lainnya. Di babak final ini ragam bentuk arena seleksipun digelar, mulai dari wawancara, evaluasi komponen penunjang non akademik, karya seni, karya ilmiah dan prestasi unggulan lain. Pendek kata setiap peserta mengeluarkan “ajian pamungkas” yang mempunyai nilai “competitive advantage”. Pada akhirnya prestasi unggulan inilah yang akan mengangkat peluang menggapai unversitas pilihan. Walaupun untuk persyaratan yang terakhir ini masing-masing universitas memiliki kriteria sendiri.
Komponen penunjang yang menjadi andalan terakhir tersebut dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk mulai dari penguasaan bahasa asing, keterampilan komputer, prestasi dalam lomba karya ilmiah, olah raga, seni sampai kepedulian pada aspek lingkungan dan sosial. Bergiat dalam pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial, bergiat di dinas pemadam kebakaran dan dinas kebersihan merupakan komponen penunjang berbobot yang mampu menaikan track record calon mahasiswa.
Sehingga untuk menjemput mimpi dan melenggang menuju universitas idaman tidak cukup hanya mengandalkan perasan otak di kelas. Daya juang, kerja keras dan disiplin yang tinggi menjadi syarat mutlak. Jadwal yang terangkai padat merupakan menu sehari-hari para siswa SMU. Meskipun secara resmi waktu belajar di kelas hanya delapan jam, namun di luar waktu tersebut para siswa disibukan dengan pelajaran tambahan terutama pada materi yang akan diujikan dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi dan berbagai kegiatan peningkatan keterampilan bersertifikat serta komponen penunjang lainnya. Waktu yang tersisa, mereka gunakan untuk self study. Kegiatan sehari-hari ini dimulai sejak meninggalkan rumah pukul delapan pagi akan berakhir saat kembali ke rumah lagi pada pukul sebelas atau dua belas malam. Sehingga sekitar 15 – 16 jam sehari curahan waktu dihabiskan di sekolah, sedangkan rumah sekedar sebagai tempat untuk istirahat.
Dari gambaran kerasnya kompetisi memperebutkan universitas terbaik di semenanjung Korea ini, setidaknya terdapat pelajaran menarik. Bahwa selain upaya gigih, motivasi kuat menjadi syarat mutlak. Motivasi dalam menakar target sasaran, ukurannya tidak cukup sekedar lulus SMU dengan mengantongi nilai rapor dan ijazah SMU yang terbaik atau mendapat skor tinggi dalam ujian nasional saringan masuk perguruan tinggi. Namun motivasi untuk selalu berprestasi dalam segala bidang dan menempati posisi terbaik adalah penting. Dengan perkataan lain bukan sekedar rapor, ijazah, skor atau sertfikat yang dikejar tapi prestasi pemecah record! Prestasi terbaik tersebut secara kumulatif tidak hanya tercermin dalam rapor, ijazah, skor, tetapi juga dalam berbagai komponen penunjang. Bahkan untuk komponen yang terakhir disebut menjadi penentu akhir sebelum layak menyandang atribut mahasiswa. Sehingga dengan bekal prestasi berimbang antara kurikuler dan ekstrakurikuler, calon mahasiswa tersebut dapat meletakan “bintang-bintang” tersebut pada cita-cita yang membuka jalan memasuki gerbang pendidikan tinggi di universitas idaman. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari “bintang-bintang” di negeri ginseng ini.
Lembah Gunung Kwanak, Seoul 15 November 2004
_________
* Mahasiswa Pasca Sarjana pada Seoul National University, dan tinggal di Seoul, Korea Selatan.
Kita masih ingat kata bijak yang diucapkan persiden Sukarno, “gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”. Namun seorang profesor di almamater saya, IPB, pernah berpesan dengan mengubah redaksinya menjadi agak konkrit dan lebih tinggi lagi, “.....gantungkan bintang-bintangmu pada cita-cita”. Rupanya rangkaian kata-kata bijak senada juga telah menggelorakan semangat juang para siswa SMU di negeri ginseng yang semakin memanas menjelang seleksi masuk perguruan tinggi di musim dingin ini. Climbing up to the Sky adalah ungkapan bagi siswa yang tengah membidik perguruan tinggi papan atas yang menjadi impian. Kalau boleh menyebutkan tiga diantara beberapa perguruan tinggi lain yang dianggap menempati posisi tersebut, adalah Seoul National University, Yonsei University and Korea University.
Metamorfosis pendidikan dasar-menengah yang akan melahirkan calon-calon mahasiswa strata satu ini harus berhadapan dengan kriteria seleksi berlapis dan berbagai tipe penjaringan calon mahasiswa yang spesifik. Sehingga fase pendakian menuju tataran universitas “langit” ini tidak cukup hanya berbekal prestasi kelulusan yang diperoleh di SMU, rapot dan STTB, tetapi perlu memperlihatkan prestasi unggulan lainnya. Bahkan sekedar mengantongi skor tinggi di arena seleksi nasional “u-em-pe-te-en” ala negeri semenanjung ini untuk lima mata ajaran yang diujikan tidaklah cukup. Sebab medan laga masuk perguruan tinggi terbentang luas, seluas prestasi dan sedalam pengalaman pada komponen penunjang unggulan dari siswa. Hanya mereka yang lolos “u-em-pe-te-en” dengan skor tinggi pada selang yang dipatok oleh universitas unggulan tersebut yang bisa meneruskan pertempuran ketahap lanjut, selebihnya dipersilahkan segera mengubur mimpinya dan memilih universitas lain sesuai dengan perolehan skor. Selanjutnya, peserta yang lolos ke tahap akhir yang semakin mengerucut tersebut masih harus berjuang memenuhi undangan universitas pilihannya untuk “diadu” dengan perserta lainnya. Di babak final ini ragam bentuk arena seleksipun digelar, mulai dari wawancara, evaluasi komponen penunjang non akademik, karya seni, karya ilmiah dan prestasi unggulan lain. Pendek kata setiap peserta mengeluarkan “ajian pamungkas” yang mempunyai nilai “competitive advantage”. Pada akhirnya prestasi unggulan inilah yang akan mengangkat peluang menggapai unversitas pilihan. Walaupun untuk persyaratan yang terakhir ini masing-masing universitas memiliki kriteria sendiri.
Komponen penunjang yang menjadi andalan terakhir tersebut dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk mulai dari penguasaan bahasa asing, keterampilan komputer, prestasi dalam lomba karya ilmiah, olah raga, seni sampai kepedulian pada aspek lingkungan dan sosial. Bergiat dalam pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial, bergiat di dinas pemadam kebakaran dan dinas kebersihan merupakan komponen penunjang berbobot yang mampu menaikan track record calon mahasiswa.
Sehingga untuk menjemput mimpi dan melenggang menuju universitas idaman tidak cukup hanya mengandalkan perasan otak di kelas. Daya juang, kerja keras dan disiplin yang tinggi menjadi syarat mutlak. Jadwal yang terangkai padat merupakan menu sehari-hari para siswa SMU. Meskipun secara resmi waktu belajar di kelas hanya delapan jam, namun di luar waktu tersebut para siswa disibukan dengan pelajaran tambahan terutama pada materi yang akan diujikan dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi dan berbagai kegiatan peningkatan keterampilan bersertifikat serta komponen penunjang lainnya. Waktu yang tersisa, mereka gunakan untuk self study. Kegiatan sehari-hari ini dimulai sejak meninggalkan rumah pukul delapan pagi akan berakhir saat kembali ke rumah lagi pada pukul sebelas atau dua belas malam. Sehingga sekitar 15 – 16 jam sehari curahan waktu dihabiskan di sekolah, sedangkan rumah sekedar sebagai tempat untuk istirahat.
Dari gambaran kerasnya kompetisi memperebutkan universitas terbaik di semenanjung Korea ini, setidaknya terdapat pelajaran menarik. Bahwa selain upaya gigih, motivasi kuat menjadi syarat mutlak. Motivasi dalam menakar target sasaran, ukurannya tidak cukup sekedar lulus SMU dengan mengantongi nilai rapor dan ijazah SMU yang terbaik atau mendapat skor tinggi dalam ujian nasional saringan masuk perguruan tinggi. Namun motivasi untuk selalu berprestasi dalam segala bidang dan menempati posisi terbaik adalah penting. Dengan perkataan lain bukan sekedar rapor, ijazah, skor atau sertfikat yang dikejar tapi prestasi pemecah record! Prestasi terbaik tersebut secara kumulatif tidak hanya tercermin dalam rapor, ijazah, skor, tetapi juga dalam berbagai komponen penunjang. Bahkan untuk komponen yang terakhir disebut menjadi penentu akhir sebelum layak menyandang atribut mahasiswa. Sehingga dengan bekal prestasi berimbang antara kurikuler dan ekstrakurikuler, calon mahasiswa tersebut dapat meletakan “bintang-bintang” tersebut pada cita-cita yang membuka jalan memasuki gerbang pendidikan tinggi di universitas idaman. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari “bintang-bintang” di negeri ginseng ini.
Lembah Gunung Kwanak, Seoul 15 November 2004
_________
* Mahasiswa Pasca Sarjana pada Seoul National University, dan tinggal di Seoul, Korea Selatan.
1 Comments:
subhanallah.. sayah jadi malu sendiri... sebagai mahasiswa, ternyata perjuangan sayah gak ada artinya kalau dibandingkan perjuangan mereka... semoga kelak,mahasiswa dan pelajar indonesia bisa meniru semangat juang mereka untuk maju...jangan cuma nonton filmnya ajah...
Post a Comment
<< Home