Friday, July 01, 2005

Menjadikan Greenbelt Bandung Raya Sebagai Ruang Terbuka Hijau Regional

Qodarian Pramukanto*

Menyimak pengarahan almarhum Letjen TNI (Purn.) Mashudi ---saat menjabat gubernur Jawa Barat, seperti ditulis Tjitroseowarno di harian ini tanggal 25 Juni 2005, “Mashudi, Korbankan Kepalanya yang Botak”--- mengenai fungsi ekologi hutan dan kawasan hijau sebagai pegendali bencana longsor dan banjir sangat menarik. Peragaan demonstratif yang beliau lakukan, seperti dikisahkan, dengan menuangkan segelas air di atas kepala beliau yang gundul mencerminkan kepedulian beliau yang tinggi terhadap permasalahan lingkungan. Besaran akibat yang akan terjadi apabila pohon di gunung ditebang dan hutan digunduli menyebabkan air hujan yang jatuh tidak dapat “ditahan” namun langsung mengalir ke bawah menimbulkan banjir seperti meluncurnya air yang dituang di atas kepala beliau.

“Demikian semangat dan antusiasnya Pak Mashudi berbicara tentang penghijauan di Jawa Barat. Banyak angka yang diingatnya tentang kerusakan hutan sejak zaman pendudukan Jepang di Jabar”, seperti dikisahkan juga oleh Syafik Umar, (“Saya Masih Punya Utang di Oray Tapa”, Pikiran Rakyat 29 Juni 2005).

Kini, empat puluh tahun kemudian, apa yang beliau khawatirkan saat itu telah terbukti. Musibah tanah longsor dan banjir merupakan berita yang kerap kita dengar dan saksikan. Namun ironisnya, kerap pula kita dengar dan saksikan berita penebangan pohon, penggundulan hutan, perubahan kawasan lindung dan penyangga menjadi budidaya, kawasan budidaya menjadi kawasan terbangun (permukiman, industri, kota dan jalan raya), serta peruntukan lain yang menyalahi fungsi dan melampaui kapasitas ekologi. Sampai kapan ketidakpedulian ini terus terjadi ?

Disadari atau tidak secara perlahan tapi pasti kita sama-sama sedang melakukan apa yang oleh J.O. Simonds ---empat puluh tahun yang lalu--- disebut sebagai bunuh diri secara ekologis (ecological suicide).

Terkait dengan fenomena serius ini, sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Memandang Bandung dan daerah terkait sekitarnya dalam satu kesatuan ekologis dan juga kultural merupakan cara pandang yang baru. Konsep ini dikenal sebagai bioregion. Dalam bioregion, kita memandang suatu wilayah tidak dalam batasan yang ditentukan berdasarkan faktor politis dan batas artifisial---seperti: jurisdiksi, administratif, pelayanan dan kepemilikan--- namun ditentukan oleh tatanan alam dan budaya (formasi serta proses ekologis) yang ada.

Thayer (2003) mendefinisikan bioregion ---bio = hidup, region = wilayah, territorial--- sebagai tempat hidup (life place). Wilayah bioregion ini merupakan ukuran berskala manusia yang tepat untuk mengorganisir tatanan alam dan komunitas manusia secara simultan dan lestari.

Berdasarkan konsep tersebut, berbagai prinsip yang memandang lingkungan secara fragmental, parsial dan sektoral menjadi tidak relevan dalam menangani masalah lingkungan ini. Pada cara pandangan lama tersebut, tanpa disadari, sebenarnya kita sengaja membuat batas artifisial untuk memisahkan diri dari belahan bumi yang kita pijak. Hal ini menunjukan adanya kesenjangan titik pandang. Kesenjangan tersebut semakin menjauhkan kerangka acuan yang memandu kita untuk selalu berfikir bahwa kita sendiri adalah bagian dari sistem kehidupan dimana kita tinggal.

Keterkaitan hubungan antara kita dan tempat dimana kita hidup serta nilai-nilai sosial-budaya yang ada merupakan paradigma yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Oleh karena itu pengelolaan ---dalam konteks bioregion--- atas sumberdaya sosio-budaya, biologis dan geografis ke dalam satuan wilayah yang manageable perlu diterapkan.

Pengelolaan secara bioregion ini dapat dimulai dari lingkungan kita sendiri. Bila kita peduli terhadap lingkungan dimana kita tinggal, kemudian merunutnya, akan sampai pada kesimpulan bahwa pada hakekatnya kita berada di satu wilayah fisiografis yang dinamakan daerah aliran sungai (DAS).

Wilayah tersebut, dimana kita dan komunitas makhluk hidup lain menjadi bagian darinya merupakan bentang alam ---yang dibatasi oleh batas topografi punggung dan puncak bukit--- yang menangkap, menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan menuju suatu aliran yang melewati titik tertentu (outlet). Batas inilah yang menjadi salah satu dasar dalam mendefinisikan batas bioregion.

Dalam wilayah ini, resonansi atas perilaku manusia terhadap DAS sebagai tempat hidupnya bisa dianalogikan dengan sistem aliran darah dalam tubuh manusia. Gangguan yang terjadi pada tubuh manusia sebagai “wilayah bioregion”, misalnya pada jantung sebagai “daerah hulu” atau bagian lain dari sistem pembuluh darah ebagai “jaringan drainase“ berakibat terganggunya sistem kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sehingga vitalitas suatu bioregion beserta sistem kehidupan di dalamnya merupakan resultan atas kinerja infrastruktur sistem tata air ini.

Oleh karena itu bentuk-bentuk aktivitas eksploitatif dalam suatu wilayah bioregion DAS dapat berakibat munculnya fenomena penyimpangan proses-proses alam dan tatanan ruang. Aksi gangguan di daerah hulu ---penggundulan hutan, transformasi peruntukan lahan, intesifikasi lahan yang melebihi daya dukung--- menyebabkan penurunan kemampuan tajuk menahan air hujan (intersepsi), kemampuan tanah meresapkan air (infiltrasi) dan peningkatan air limpasan (runoff) yang berakibat munculnya reaksi di tempat lain.

Menghadapi fenomena ini diperlukan pandangan menyeluruh yang mengacu pada pola spasial dan proses terkait secara simultan. Pendekatan yang besifat parsial, sektoral maupun terbatas dalam lingkup wewenang administratif dan politis, hanya bersifat fragmental dan tidak mengatasi masalah yang secara tuntas.

Pendekatan parsial, yang hanya mengandalkan delineasi penggunaan dan penutupan lahan tanpa mempertimbangkan cakupan proses yang ada dibaliknya, tidaklah efektif. Sebab batas alam dari suatu proses dapat merentang jauh dari tempat munculnya fenomena yang ditemukan. Banjir CiTarum di Bandung tidak semata-mata disebabkan oleh proses yang terjadi di tempat tersebut, namun merupakan akumulasi serangkaian proses yang diawali jauh di wilayah hulunya di Gunung Wayang.

Pendekatan berorientasi sektoral, sering diwarnai “ego sektoral” sehingga tidak dapat berjalan secara efisien dan efektif. Antar departemen teknis dengan dinas teknis terkait di bawah pemerintah daerah sering tidak sinkron. Orientasi pembangunan sektoral kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya dan biasanya kurang memperhatikan sektor lainnya.

Demikian pula halnya dalam penanganan permasalahan DAS yang melintasbatasi kewenangan wilayah administrasif menghendaki adanya kerjasama terpadu antar “penguasa” wilayah administatif terkait. Prinsip saling-ketergantungan (interdepency) dalam konteks regional ---antara Bandung sebagai kota inti dengan kota dan kabupaten (Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Garut, Sumedang, dan Kabupaten Cianjur) sekitar--- merupakan kunci keberhasilan pendekatan ini.

Cara pandangan baru atas bioregion suatu DAS ---seperti dijelaskan Parson (1985) melalui konsep watershed conciousness, yaitu suatu kesadaran akan kehadiran DAS sebagai miniatur biosfer dimana terdapat kaitan langsung atas peristiwa yang terjadi di daerah hulu dan yang terjadi di daerah hilir--- mengajarkan kita untuk memposisikan kehadiran kita di suatu tempat sebagai bagian komunitas biotik yang ada. Posisi sebagai “warga asli” komunitas biotik berarti menyadari peran kita dalam komunitas dan peduli terhadap hubungan ekologis dalam proses y! ang ada di dalamnya.

Oleh karena itu kalau kita mau jujur, bila diterlusuri rangkaian masalah lingkungan yang terjadi sebenarnya terletak pada faktor manusia. Pangkal bencana tersebut bukan pada akibat perubahan fungsi ekologis, berkurangnya fungsi resapan, meningkatnya air limpasan permukaan, instabilitas lereng atau tercemarnya perairan namun pada bencana ---meminjam istilah Wilson(1995)--- yang disebut ”pencemaran gaya hidup” (life style pollution). Raibnya kearifan lokal, sirnanya pemahaman dan kesadaran atas hubungan mendasar antara manusia dan alam, serta mengabaikan peran sebagai bagian komunitas di belahan bumi tempat berpijak, bermuara pada menuai bencana tidak saja di hilir tapi juga di hulu.

Sehingga dalam menghadapi masalah kawasan Bandung Raya ini ---berangkat dari kesadaran atas posisi dan peran keberadaan kita menuju--- kepedulian kolektif dan prinsip saling-ketergantungan dalam upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam dan penyangga kehidupan sangatlah penting.

Penerapan konsepsi bioregion dalam pengembangan penghijauan daerah-daerah hulu dalam perspektif regional berupa greenbelt sebagai upaya pengendali lingkungan patut dijadikan prioritas.

Greenbelt merupakan areal lahan di sekitar kota yang keberadaanya harus ditetapkan secara permanent dan didukung peraturan yang kuat sebagai kawasan hijau dan bebas dari berbagai bentuk struktur bangunan. Fungsi utama sabuk hijau ini disamping membatasi perluasan pertumbuhan spasial kota yang kontinyu dan tidak terarah, adalah menciptakan lingkungan sehat bagi warga kota, memelihara id! entitas lokal, serta pelestarian alam pada kawasan ruang terbuka hijau yang bersangkutan dan kawasan terkait dengan keberadaannya.

Bangkok merupakan salah satu contoh kota yang berhasil dalam mengembangkan greenbelt sebagai upaya perlindungan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana alam banjir. Dengan melestarikan tiga segment greenbelt kota ---dua di sebelah barat dan satu di timur--- pembangunan sabuk hijau kota dalam bentuk zona lindung ini mampu memelihara fungsi tata air khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao Phraya.

Di Korea, setidaknya terdapat empatbelas kota besar yang telah membangun greenbelt dalam berbagai konteks kepentingan. Seoul, Busan, Kwangju, Daejon, Taegu, Chinju dan Masan merupakan beberapa contohnya.

Seoul mampu membangun greenbelt seluas 153 000 ha, setelah melalui empat fase pembangunan dalam tahun 1971 sampai 1976. Seoul Capital Region (SCR) terbangun pada radius 15 km dari pusat kota. Dengan didukung 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi, Seoul merupakan kota dengan kontribusi terbesar dalam struktur greebelt, yaitu 29 % dari total kawasan greenbelt di Korea (539 700 ha).

Selain menjadi contoh yang mewakili keberhasilan dalam implementasi greenbelt, Seoul menjadi satu-satunya kota di Asia yang berhasil dalam membangun greenbelt kota saat ini. Seperti Bandung, kota Seoul dengan luas wilayah 62 700 ha ini berada dalam formasi “mangkuk“ yang dikepung oleh jajaran pegunungan di sekelilingnya. Kota ini juga dialiri oleh sejumlah sungai yang berhulu di luar kota Seoul dan bermuara pada sungai utama, sungai Han, yang membelah kota di bagian Selatan.

Dari uraian diatas nampaknya konsep Pengembangan Wilayah Bandung Raya yang dikeluarkan tahun 70-an patut “digali“ kembali. Konsep pembangunan greenbelt Bandung Raya dalam pespektif Ruang Terbuka Hijau (RTH) Regional menjadi penting. Konsep ini tidak sekedar melakukan penghijauan di daerah-daerah hulu serta menghidupkan kembali koridor-koridor blueways sebagai fungsi penyangga.

Namun lebih dari itu, formasi greenbelt dibangun dengan sandaran konsepsi bioregion berdasarkan prinsip kesesuaian (coincide) dan kesebangunan (congruence) antara batas alam dengan domain komunitas masyarakat secara simultan. Konsepsi ini berorientasi membangun hubungan hulu dan hilir, hubungan masyarakat kota dan desa dalam bentuk interaksi budaya dan ruang. Demikian juga pengembangan berbagai fungsi, seperti : fungsi ekologi (jejaring hidupan liar dari “resource pool“ ke sistem RTH di kota), koridor hijau, restorasi sungai dan jalur riparian, pengembangan rekreasi alam dan pedesaan, pengembangan kawasan penyangga perlindungan komunitas biotik dan identitas masyarakat lokal.

Semoga dengan perspektif bioregion ini, kita dapat bersama-sama “ber-evolusi“ (coevolution) simultan membangun hubungan saling-ketergantungan antar manusia dan alam untuk menciptakan lingkungan hidup lestari yang menjadi titipan anak cucu kita.

* Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Mahasiswa program doktor pada Seoul National University, Korea Selatan.

Thursday, June 16, 2005

TRAGEDI NOL BUKU, TRAGEDI KITA BERSAMA*

Taufiq Ismail

APA KATA MEREKA TENTANG BUKU ?

Buku adalah pengusung peradaban
Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam,
sains lumpuh, pemikiran macet.
Buku adalah mesin perubahan,
jendela dunia,
"mercu suar?seperti kata seorang penyair,
"yang dipancangkan di samudera waktu?
[Barbara Tuchman, 1989]

Buku adalah jendela
Sukma kita melihat dunia luar lewat jendela ini
Rumah tanpa buku bagaikan ruangan tak berjendela
[Henry Ward Beecher, 1870]

Buku itu seperti taman
Yang bisa dimasukkan ke dalam kantong
[Pepatah Tiongkok]

Buku adalah benda luar biasa
Buku itu seperti taman indah penuh dengan bunga
aneka-warna,
Seperti permadani terbang
Yang sanggup melayangkan kita
Ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya
[Frank Gruber, 1944]

Buku menghirup udara dan menghembuskan minyak wangi
[Eugene Field, 1896]

Buku harus menjadi kampak
Untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita.
[Franz Kafka, 1883-1924, cerpenis dan novelis
Austria]

Tanpa buku Tuhan diam,
Keadilan terbenam
Sains alam macet,
Sastra bisu,
Dan seluruhnya dirundung kegelapan
[Thomas V. Bartholin, 1672]

Buku adalah teman paling pendiam dan selalu siap di
tempat.
Penasehat yang paling mudah ditemui dan paling
bijaksana,
Serta guru yang luar biasa sabar
[Charles W. Eliot, 1896]

Saya tidak membaca buku:
Saya berbicara dengan pengarangnya
[Elbert Hubbard, 1927]

Buku berfikir untuk saya
[Charles Lamb]

Buku itu cermin
Kalau keledai bercermin disitu,
Tak akan muncul wajah ulama
[G.C. Lichtenberg]

Buku sebenarnya bukanlah yang kita baca,
Tapi buku yang membaca kita
[W.H. Auden, 1973]

Wanita piaraan saya
Buku
[S.J. Adair Fitzgerald]

Kalau ada uang sedikit, saya beli buku,
Kalau masih ada sisanya,
Saya beli makanan dan pakaian
[Desiderius Erasmus]

Biarlah saya jadi orang miskin,
Tinggal di gubuk tapi punya buku banyak
Daripada jadi raja tapi tak suka membaca
[Thomas B. Macaulay, 1876]

Banyak orang seperti saya
Orang yang perlu buku, seperti mereka perlu udara
[Richard Marek, 1987]

Saya tak bisa hidup tanpa buku
[Thomas Jefferson, 1815]

Duduk sendirian dibawah sinar lampu,
Buku terkembang di depan,
Bercakap-cakap secara akrab dengan manusia dari
generasi yang tak tampak
Sungguh suatu kenikmatan yang tak bertara
[Yoshida Kenko, 1688]

Kebiasaan membaca itu satu-satunya kenikmatan yang
murni
Ketika kenikmatan lain pudar, kenikmatan membaca
tetap bertahan
[Anthony Trollope]

Orang mana bisa tahu tentang waktu yang dihabiskan
Dan susah payahnya belajar membaca (buku)
Saya sudah 80 tahun berusaha,
Belum juga mencapai tujuan
[Goethe]

Seseorang kehilangan kontak dengan kenyataan
Bila tidak dikelilingi buku-bukunya
[Francois Mitterand, Presiden Perancis, 1982]

Seperti daging untuk jasmani, begitulah bacaan untuk
jiwa
[Seneca]

Membaca buku bagus
Seperti bercakap-cakap dengan orang hebat
Dari abad-abad terdahulu
[Rene Descartes, 1617]

Orang dapat memperoleh pendidikan kelas atas
Dari rak buku sepanjang lima kaki
[Charles William Eliot, Rektor Universitas Harvard]

Universitas sejati hari ini
Adalah sebuah kumpulan buku
[Thomas Carlyle]

Saya akan menyudahi pendahuluan ini dengan mengutip
ucapan Jorge Luis

Borge, penyair, cerpenis dan esais Argentina (1899-1986),
Direktur Perpustakaan Nasional Argentina (1955 ?1973) tentang
perpustakaan yang mengatakan,

Saya selalu membayangkan Sorga itu
Seperti semacam perpustakaan.

* Bagian dari pidato kunci pada Rakerpus IPI
(Ikatan Pustakawan Indonesia), Pekan Baru, 2005

Tuesday, June 07, 2005

Melestarikan “Paru-Paru” Hijau Jakarta

Oleh: Qodarian Pramukanto*

Kota dapat diibaratkan sebagai suatu organisme dengan seperangkat organ yang mengendalikan kehidupannya. Sungai, saluran drainase primer, sekunder, dan tertier merupakan urat nadi yang mengalirkan limbah dan air hujan secara gravitasi dari daerah tinggi ke tempat rendah.

Ruang terbuka hijau, taman-taman kota, jalur hijau, greenbelt beserta komponen pohon atau jenis vegetasi lain merupakan paru-paru berperan menyejukan dan memproduksi udara bersih. Melalui mekanisme fotosintesis tumbuhan-tumbuhan menjadi “paru-paru” yang menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen.
Sebagai produsen oksigen utama di alam, tumbuhan merupakan “pabrik” yang penyerapan emisi CO2 dan memanfaatkan air serta “memanen” energi matahari dalam proses
fotositesis yang menghasilkan zat pati, seperti berikut:

H2O + CO2 --> (CH2O)n + O2

Oksigen (O2) atau zat asam merupakan salah satu unsur vital bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Kiranya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa tanpa oksigen yang cukup dalam beberapa menit saja dapat berakibat fatal bagi kehidupan. Oleh karena itu kebutuhannya harus senantiasa terpenuhi dalam jumlah yang cukup.
Gas ini dipasok oleh dua tipe tumbuhan, yaitu tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuhan tingkat rendah yang menyebar di daratan dan perairan laut. Dalam kondisi alami kedua jenis tumbuhan tersebut memasok oksigen dengan proporsi seimbang.

Tumbuhan tingkat tinggi --baik berupa pohon maupun jenis vegetasi lain-- tumbuh di daratan pada berbagai tipe ekosistem hutan dan bentang lahan. Mulai dari bentang hutan dataran tinggi sampai hutan dataran rendah dan rawa; hamparan perkebunan, pertanian dan pekarangan; ruang terbuka hijau kota, taman kota dan taman rumah; sampai berbagai bentuk kelompok atau individu tumbuhan merupakan produsen setengah dari pasokan gas ini di alam.

Sedangkan setengah pasokan lainnya diproduksi di tangki air raksasa kawasan perairan laut yang kaya tumbuhan akuatik tingkat rendah golongan fitoplankton. Sebagai produsen utama di perairan laut, beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa tanpa produksi oksigen oleh organisme tumbuhan mikro bersel tunggal ini, kehidupan yang kita kenal tidak akan ada. Hal ini terkait dengan besaran produksi gas oksigen yang proporsional dengan besaran gas karbon dioksida yang digunakan dalam proses tersebut.

Pada hakekatnya memelihara kedua infrastuktur alam sumber oksigen tersebut tidak sekedar mempertahankan jumlah pasokan ketersediannya bagi makhluk hidup termasuk manusia, namun sekaligus melestarikan bentuk-bentuk jasa lingkungan terkait lainnya.
Untuk kasus Jakarta, keberadaan kedua kawasan “hijau” tersebut mesti dilihat dalam perspektif regional yang saling kait dan tidak terpisahkan.

Secara fungsional kedua kawasan tersebut bagaikan sepasang organ “paru-paru”. Sebut saja, kawasan “hijau” di wilayah darat, yang membentang dari hulu sampai hilir sungai CiLiwung merupakan paru-paru sebelah kiri wilayah tersebut. Sedangkan kawasan “hijau” perairan teluk Jakarta menjadi belahan paru-paru kanannya.

Secara keruangan (spatial) hubungan antar kedua wilayah tersebut tidak terlepas dari mekanisme hubungan antara ekosistem darat dan laut.

Kota dengan berbagai aktivitasnya menghasilkan emisi melalui pembakaran bahan bakar oleh kendaraan bermotor, industri serta penggunaan peralatan tertentu di kawasan permukiman dan rumah tangga-- akan menghasilkan gas antara lain CO2 yang akan “ditangkap” oleh paru-paru “hijau” kota dan wilayah sekitarnya dan diproses melalui fotosintesis sehingga dihasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh kehidupan di perkotaan.

Namun dengan keterbatasan kawasan “hijau” di wilayah daratan, tidak semua gas CO2 ini dapat ditransfer menjadi O2. Melalui mekanisme pergerakan angin darat dan laut, kelebihan CO2 kota ini pada saatnya akan dialirkan ke perairan laut. Oleh fitoplankton “pupuk” ini diubah menjadi oksigen melalui proses yang sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi.

Selanjutnya melalui mekanisme sebaliknya, adanya pergerakan udara dari perairan laut ke darat akan mengangkut produksi oksigen tersebut ke daratan.

Dalam kenyatannya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida tidak selalu demikian. Berbagai bentuk gangguan dapat terjadi baik pada kawasan “hijau” daratan maupun perairan.

Jakarta dengan luas kota 66.000 ha menunjukan fenomenna terganggunya mekanisme transformasi dan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Hal ini terlihat pada tidak konsistennya alokasi ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya.
Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37,2 persen, berubah menjadi 25,85 persen dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985–2005 (Perda Nomor 5 Tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 (Perda No 6 Tahun 1999). Namun, realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir ini pun tampaknya "cukup sulit" terpenuhi.

Padahal perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan fungsi pasokan kebutuhan oksigen kota (Lembaga Penelitian IPB, 2000) yang memperhitungakan berbagai bentuk penggunan oksigen —termasuk manusia, hewan ternak, kendaraan bermotor, pabrik dan lainnya-- adalah sebesar 13 191 ha atau (19.94 %). Namun realitanya berdasarkan data tahun 2000 total RTH hanya mencapai 7 246 ha, masih jauh dari cukup.

Berdasarkan perhitungan pasokan oksigen oleh “paru-paru” hijau dataran yang ternyata masih kurang ini logikanya akan berakibat vital terhadap kehidupan, termasuk manusia. Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam perspektif regional, fenomena ini setidaknya dapat dijelaskan melalui mekanisme transpor oksigen dari “paru-paru” hijau perairan yang selama ini
tidak kita perhitungkan, atau tidak menutup kemungkinan pula adanya posokan dari kawasan hijau sekitar kota Jakarta.

Oleh karena itu kelestarian kedua kawasan “hijau”—daratan dan lautan-- ini mutlak perlu dipelihara, terkecuali kalau kita memutuskan untuk mulai menggunakan tabung oksigen untuk bernafas.

Disatu sisi pembabatan hutan, penggusuran lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan terbangun, alih fungsi peruntukan RTH dan taman-taman kota, penebangan pohon pada koridor-koridor jalan merupakan kegiatan peniadaan mekanisme salah satu bentuk jasa lingkungan ini dari “paru-paru”hijau daratan.
Di lain sisi berbagai pencemar perairan, seperti limbah kota, aktivitas industri dan aktivitas pertanian yang terangkut melalui aliran limpasan (runoff) yang masuk ke sungai akan ㅡbermuara keperairan laut. Dalam keadaan tertentu senyawa-senyawa pencemar dari golongan urea organic ini mengakibatkan pengkayaan perairan (eutrofikasi) berakibat ledakan pertumbuhan fitoplankton dari jenis yang .

Sebagai bagian dari rantai makanan di perairan laut, dalam kandungan nutrient pencermar yang tinggi, akan terjadi ledakan tumbuhan bersel tunggal ini. Walaupun kebanyakan fitoplankton tidak berbahaya, namun sejumlah kecil spesies tumbuhan bersel satu ini mengandung zat beracun. Dalam kondisi tingkat pencemaran tertentu melalui pengkayaan senyawa urea organic, jenis-jenis plankton beracun, seperti dinoflagelata, dapat mengalami “ledakan” (booming) yang dikenal dengan “red-tide”. Toksisitas senyawa racun yang dihasilkan ini dapat membunuh golongan makhluk hidup yang lebih tinggi, seperti zooplankton, kerang, ikan, burung, mamalia laut, bahkan dengan mekanisme transfer rantai makanan pada saat dikonsumsi manusia dapat berakibat fatal.

Oleh karean itu upaya menyelamatkan dua infrastruktur alam berupa “paru-paru” hijau daratan dan lautan sangat penting bagi kehidupan.

Lembah Gunung Kwanak, 7 Juni 2005

* Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB; Mahasiswa S3 Seoul National University, Korea

Monday, May 30, 2005

A Book

By: Geum-Jeong Il

An attentive gaze senses
That a book breathes

As its body is chiseled out of a tree,
A tree like in the forest
A book gives out the tree like soothing breath
A quivers with the breath of life

As long as it is alive
A book thinks
Lit up by its own body,
It lapse into deep thought,
Like a star shinning high in the night sky
Like a ship sailing alone at the night sea
In the wake of thought

A path opens
Like one cultivated by mind,
Lo! The path is warm and full of spirit

There are roads in books
On those roads
Many wise men have walked
And build the worlds of their dreams

Now in this moment,
The same truth is here
There is road in a book
So let us take the road together

[Naskah syair ini terukir di patung perunggu berbentuk buku berukuran sekitar 3 x 2 (meter) di entrance Kompleks Perpustakaan Kotamadya Gimcheon, Gyeongsangbuk-do, Korea]

Membuat Model Pohon 3D dengan AutoCAD

InfoKomputer Edisi April 1999: http://www.infokomputer.com/arsip/041999/tiptrik/grafis.shtml

Oleh: Ir. Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M.*)

Teknik visualisasi grafis secara analog (gambar-gambar manual dalam bentuk 2D maupun 3D) seringkali belum mampu menyampaikan "pesan" atau gagasan perancang/arsitek. Gunakan program bantu, seperti AutoCAD, untuk membantu menampilkan sajian grafis yang serupa keadaan sesungguhnya atau bentuk nyata sesuai dengan ide perancang.


Teknologi komputer merupakan alat bantu yang sangat diperlukan bagi para arsitek lanskap dalam merencanakan atau merancang lanskap dan taman. Arsitektur lanskap adalah ilmu yang mempelajari penataan ruang dan massa pada suatu bentang alam atau lanskap. Berbagai rancangan dapat disajikan pada berbagai tingkat detail, mulai dari membangun model digital berupa detail konstruksi 2D sampai membangun model grafis 3D yang kompleks dan bersifat realistik.

Salah satu unsur lanskap adalah tanaman. Kehadiran tanaman sebagai unsur dalam lanskap dapat direpresentasikan lebih bagus dengan model 3D. Untuk membangun model ini dapat digunakan software AutoCAD (release 11,12, 13 dan 14). Beberapa langkah untuk membangun model 3D pohon/ tanaman diuraikan di bawah ini.

Membangun Model Pohon

Untuk membangun model digital pohon secara 3D yang mirip penampilan aslinya, diperlukan beberapa trik khusus dan perintah 3D sederhana. Ini agar model yang dihasilkan dapat diidentifikasi sebagai pohon dan barangkali dapat dikenali sebagai suatu jenis tertentu (lihat Gambar 1).

Hasil pemodelan pohon 3D dapat disimpan sebagai BLOCK yang dapat digunakan untuk keperluan visualisasi 3D di masa datang. Beberapa pemakai menyimpan data ini dalam block library yang disusun secara baik sehingga dapat diperoleh kembali dengan cepat apabila diperlukan.

Mempersiapkan Gambar

Untuk membangun model pohon 3D, ada beberapa langkah persiapan, yaitu:

* Membuat gambar baru (Create New Drawing) dan memberi nama file dengan nama yang logis, misalnya: 3D-Pohon.

* Membuat tiga Layer dan beri nama Konstruksi, Kanopi dan Batang, kemudian pilih warna yang logis sesuai dengan karakter layer tersebut.

* Simpan persiapan gambar ini dengan mengklik Save. Lakukan Save secara teratur setiap 10 - 15 menit selama menggambar.

* Tentukan sistem koordinat untuk melihat sudut pandang terhadap ketinggian (elevasi) gambar model yang akan dibuat dengan perintah DDVPOINT. Tetapkan besar sudut vertikal (vertical angle) pada kotak dialog sebelah kanan menjadi 0° .

* Perhatikan icon User Coordinat System (UCS) di sudut kiri bawah akan berubah dan memperlihatkan icon pensil yang patah (broken pencil). Hal ini menandakan bahwa dalam modus ini kita tidak dapat menggambar atau menyunting. Agar dapat menggambar, kembalilah pada modus UCS dan pilih View (icon UCS akan muncul tetapi tanpa "W", ini menunjukkan bahwa pada modus ini siap untuk dilakukan penggambaran dalam ketinggian atau elevasi)

Membangun Rangka Konstruksi Model Pohon

* Gambar bentuk persegi (rectangle). Lakukan penggambaran rangka persegi empat dari pohon dengan ukuran tinggi 8 meter dan lebar 6 meter di mana titik tengah dari sisi lebar persegi panjang ini berada pada koordinat (0,0).

* Gambar garis tengah dari rangka persegi ini yang berfungsi sebagai garis sumbu (axis) untuk memutar (revolusi) gambar yang akan dibangun.

Menggambar Profil Pohon

* Gambar profil pohon yang terdiri atas kanopi dan batang pohon dengan mode polyline (lihat Gambar 2). Profil pohon hanya digambar pada satu sisi di bagian kanan/kiri dari garis sumbu (axis)

Membangun Struktur Batang 3D

- Aktifkan layer batang, kemudian gunakan perintah Revoluted Surface (REVSURF). Sebagai path curve pilih profil pohon, sedangkan sebagai axis yang akan diputar pilih garis sumbu.

Menggambar Daun

- Aktifkan layer kanopi, dengan perintah 3DFACE lakukan penggambaran elemen daun. Gambar daun dengan beberapa bentuk permukaan segitiga, kemudian lakukan penggandaan secukupnya. Jangan terlalu banyak membuat elemen daun, sebab akan dilakukan penggandaan lanjutan dengan perintah ARRAY yang berakibat akan memperbesar volume data. Gambar yang dihasilkan disajikan pada Gambar 3.


Membangun Kanopi dengan Array

* Sebelum membangun kanopi, ubahlah mode UCS dengan memilih mode WORLD, sehingga akan terlihat icon pensil patah.

* Dengan perintah ARRAY pilih obyek daun (Untuk memudahkan penggunaan perintah ini sebaiknya layer batang dioffkan). Pilihlah array Polar dengan titik pusat pada (0,0), tentukan jumlah item antara 6 - 8 (jangan terlalu besar menentukan bilangan ini karena kadang-kadang akan terjadi crash dan data akan hilang). Tentukan besar sudut 360 derajat, dan putar.


Visualisasi Model

* Untuk melihat model yang sudah dibuat, turn offkan layer konstruksi dan cobalah berbagai sudut pandang model yang dikehendaki dari berbagai sudut. Untuk itu gunakan perintah DDVPOINT.

* Tampilkan shade dengan perintah SHADE, dan pilihlah 256 Color

* Simpan data tersebut (Save).

***

Hasil membangun model pohon 3D kadang-kadang tidak memuaskan, misalnya ada gap dalam susunan daun pada kanopi dan kanopi terlihat sangat artifisial (simetris). Untuk memperbaiki kekurangan ini, berlatihlah berulang-ulang. Untuk mendapatkan kesan alami, coba gunakan pola daun yang berbeda, tambah jumlah daun, dan buat beberapa layer kanopi dengan gradasi warna. Apabila hasil yang diperoleh sudah memuaskan, simpanlah dalam block, sehingga apabila diperlukan dapat dipanggil dengan perintah Insert. Gambar 4 memperlihatkan contoh hasil model pohon 3D.

Apabila model pohon 3D akan disimpan sebagai library yang dapat digunakan di kemudian hari, sebaiknya lakukan penyuntingan model. Layer yang tidak diperlukan, seperti konstruksi, dapat dihapus dengan ERASE atau PURGE. Kemudian melalui mode layer, lakukan penghapusan (DELETE) terhadap setiap layer yang tidak diperlukan.

*) Staf Pengajar Program Studi Arsitektur Lanskap, IPB.

Friday, May 13, 2005

Lanskap Industri: Combined Cycle Power Plant, Shinincheon, Incheon

Reportase oleh: Qodarian Pramukanto

KOSPO atau Korea Southern Power Co., Ltd merupakan salah satu perusahaan pemasok kebutuhan listrik di semenanjung Korea. Kompleks pembangkit listrik yang terletak di tepi pantai di distrik Seo-gu, subdistrik Gyungseo-dong, Incheon ini bernama Shinincheon Combined Cycle Power Plant. Kawasan dengan luas areal sekitar 360 ha ini sebagian merupakan lahan reklamasi pantai. Dengan membangun dike (tanggul) yang membendung laut terbentang areal dimana 12 stack (cerobong) dari 12 pabrik pembangkit linsrrik ini berdiri. Pembangkit listrik tenaga gas ini merupakan salah satu dari pembangkit listrik lain yang ada di Korea, yaitu: angin dan nuklir.

Bentang lahan tersebut dilengkapi dengan sistem sirkulasi air yang sirkuler. Mulai dari penyedotan air laut yang digunakan oleh pabrik untuk menghasilkan uap dan sebagai pendingin, sampai aliran buang (discharge) kembali ke laut.

Pembangkit ini mengasilkan listrik dengan system Combine Cycle Power, yaitu kombinasi antara turbin yang digerakan oleh gas (generator, GT) dan turbin yang digerakan oleh uap air (steam, ST).

Dalam memproduksi listrik sistem ini menggunakan sumber energi dari gas alam, yang 100 persen di import dari Indonesia. Gas alam cair yang disebut sebagai LNG ini digunakan untuk menghasilkan produksi listrik yang utama yaitu dengan menggerakan turbin dengan system combustion pada temperatur tinggi dengan pembakaran gas dengan tekanan udara.

Pada proses pembakaran tersebut dihasilan emisi panas dengan temperatur tinggi. Emisi panas ini dialirkan ke tungku pemanas air (boiler) untuk menghasilkan uap air. Uap yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan turbin uap sebagai pembangkit listrik yang kedua.

Dengan system kombinasi dua tipe turbin ini dapat meningkatkan efisiensi produksi lebih dari 10 persen. Sebagai gambaran efisiensi produksi pada sistem pembangkit tunggal (hanya mengandalkan penggerak turbin gas) dihasilkan 35 %, sedangkan bila dikombinasi dengan turbin uap bisa mencapai 52.39 % atau dengan proporsi 2(GT): 1(ST) proses (GT=generator, ST=steam).

Produksi
Dari pembangkit listrik ini dengan 12 combine cyle power plant ini dihasilkan system pembangkit ini sebesar 12 GW (Giga Watt) dan mensuplai 60 % kebutuhan kota Incheon atau setara dengan 13 % dari kebutuhan listrik nasional sebesar 60 GW.

Sistem pembangkit listrik ini merupakan salah satu dari keseluruhan sistem pembangkit listrik di Korea dimana antar masing-masing pusat pembangkit listrik mempunyai system jaringan distribusi bersama. Dengan system jaringan ini kekurangan suplai disuatu wilayah akan dipasok dari pusat pembangkit listrik dari wilayah lain dan sebaliknya.

Lokasi Tapak
Pemilihan lokasi tapak pembangkit listrik ini didasarkan atas ketersediaan sumberdaya pendukung proses produksi tenaga listrik, yaitu faktor air dan udara. Air diperlukan untuk membangkitkan uap yang akan menggerakan turbin, cooler dalam proses kondensasi (perubahan dari fase uap menjadi fasi cair) dan juga pendingin dari turbin. Selain air aliran udara diharapkan diperlukan dalam mendinginkan turbin. Berdasarkan kedua kebutuhan tersebut pemilihan lokasi pada daerah pantai menjadi alternatif yang sesuai.

Dampak Lingkungan
Berdasarkan faktor lingkungan yang menjadi penentu dalam pemilihan lokasi pembangkit listrik tersebut sebenarnya masih terdapat kekurangan yang perlu diatasi dan menjadi persyaratan lain untuk mengurangi dampak lingkungan.

Salah satu masalah penting adalah dampak yang disebabkan oleh adanya perbedaan temperatur air yang di ambil dan di buang (discharge) kembali keperairan masih cukup tinggi dengan perbedaan 6 derajad.

Sebagaimana diketahui adanya perbedaan temperatur perairan merupakan hal yang sangat kritikal dalam kriteria kualitas fisik air bagi ekosistem air. Pengaruh perubahan temperatur perairan mengakibatkan terganggunya habitat jenis-jenis ikan dan satwa air lain. Lebih lanjut terganggunya habitat ini memberikan efek sosial pada mata pencaharian para nelayan. Kasus ini menjadi sorotan tajam dari LSM-LSM dan meminta perusahaan untuk segera melakukan upaya meminimalisir dampak negatif yang muncul.

Solusi
Permasalahan perbedaan temperature antara perairan dengan air buangan (discharge) sebenarnya dapat diturunlan dengan membangun system pendingin berupa tangki pendingin. Namun teknik pendinginan inipun masih menimbulkan dampak lain, yaitu meningkatnya temperatur udara disamping dipelukan lahan yang luas untuk mendirikan struktur bangunan pendingin ini.

Tampaknya permasalahan yang berkaitan dengan hukum termo dinamika ke dua ini, yaitu transfer energi, energi tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain menjadi rantai permasalahan yang perlu ditangani.

Upaya untuk mengendalikan sisa energi emisi dari proses produksi tersebut perlu ditransfer dan diturunkan pada tingkat yang aman dan nyaman. Beberpa pemikiran sebagai usulan alternatif untuk menguragi terjadi peningkatan temperatur udara tersebut yang dapat dipertimbangkan, yaitu:
1. Membangun system penyangga (buffer) berupa sistem sabuk hijau (greenbelt) yang akan meredam panas yang dihasilkan dari emisi pada system tangki pendingin tersebut. Untuk itu diperlukan dikajian atas jenis-jenis vegetasi pohon yang toleran terhadap kondisi lingkungan tersebut. Sistem ini diharapkan dapat “mengisolasi” panas.
2. Efektifitas solusi ini akan lebih baik bila dikombinasi dengan kajian tata ruang yang memperhitungkan pola pola sirkulasi udara (angin), yang mengandung uap air dari laut yang dapat menjadi agent penyerap panas
3. Membangun perangkat peningkatan agent menyerap panas melalui peningkatan kelembaban udara dengan menyemprotkan air ke udara, misalnya dengan membangun fountain-fountain.

Sistem Pemantauan Lingkungan
Pemantauan kualitas lingkungan telah diterapkan berupa berupa perangkat sensor dengan teknologi canggih seperti sensor pemantau plum, maupun penggunaan sensor alam untuk memantau kualitas lingkungan, seperti kualitas perairan dengan menganalisis indicator biota, maupun penggunaan vegetasi aquatic mengapung berupa pulau apung (ingkongbudo).

Lembah Gunung Kwanak, 13 Mei 2005

Saturday, April 23, 2005

Taman Atap: Stepping Stone Hijau Jejaring Ekologi Kota

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0506/02/metro/1789613.htm

http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/kliping/Taman%20Atap%20Stepping%20Stone%20Hijau%20Jejaring%20Ekologi%20Kota.pdf

Pembangunan perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, namun juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini seringkali menempatkan pertimbangan-pertimbangan atas kota dan entitas alam serta hidupan liar (wildlife) pada posisi yang terpisah.

Bahkan akibat ketersediaan ruang-ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau dan taman kota senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik.

Jakarta dengan luas kota 66 000 ha menjadi contoh terhadap fenomena di atas. Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang mudah dibuktikan. Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37.2 %, berubah menjadi 25.85 % dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985 – 2005 (Perda No.5 tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13.94% dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 – 2010 (Perda No. 6 Tahun 1999). Namun realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir inipun tampaknya “cukup sulit” terpenuhi.

Oleh karena itu sementara kita harus bersabar menantikan political will pemerintah dalam mengimplementasikan rencana tata ruangnya secara konsisten, pemberdayaan potensi ruang hijau lain patut dipertimbangkan. Salah satu upaya pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui program penyusupan kantong-kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau atap ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainya.

Perambahan “hutan beton” dengan ruang hijau atap bangunan ini tidak saja “menghidupkan” ruang sterile yang tidak termanfaatkan, tetapi juga memecahkan desain atap gedung dan horizon kota yang monoton. Kehadiran taman-taman atap tersebut juga memberikan jasa lingkungan berupa pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakan telinga.

Pengembangan ruang hijau vertikal di atas belantara “hutan beton” tersebut mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan biodiversitas di perkotaan. Jalinan antar ruang hijau atap yang terbentuk merupakan jejaring (network) infrastruktur alam di kota. Kehadiran ruang-ruang hijau atap ini menjadi alternatif dalam mengatasi isolasi dan kesulitan dalam membangun jejaring yang kontinyu pada lahan yang terfragmentasi.

Taman atap tersebut menjadi batu pijakan (stepping stone) koridor udara penghubung vegetasi, satwa dan hidupan liar (wildlife). Kehadiran stepping stone hijau ini menjadi komponen pergerakan hidupan liar baik antar relung hijau taman atap kota maupun dengan “kawasan sumber” (resources pool) luar kota.

Sebagai negara yang menandatangani Convention on Biological Diversity, upaya pemulihan lahan-lahan perkotaan yang terdegradasi dengan mengembangkan alternatif peningkatan keragaman biologi di perkotaan (urban biodiversity) patut mendapat acungan jempol. Untuk kasus Jakarta, adanya kendala dalam pengembangan RTH kota berupa penggusuran taman-taman kota menjadi stasiun pengisian bahan bakar atau gardu listrik, penebangan pohon peteduh pada koridor hijau jalur sirkulasi, okupasi koridor biru (blueways) sungai CiLiwung dan jaringan sungai serupa lainnya, serta sabuk hijau mangrove Muara Angke oleh permukiman “liar” setidaknya dapat “dikonpensasi” melalui pengembangan jejaring stepping stone hijau ini. Sehingga pada saatnya nanti apabila keseluruhan komponen infrastruktur hijau bersinergi akan tercipta tatanan infrastruktur alami yang variatif dengan beragam koridor biologi berupa koridor hijau, blueways, greenbelt; dan jejaring hijau berbentuk RTH, taman kota, serta stepping stone hijau.

Adanya peran multi fungsi yang sulit dilakukan pada lahan perkotaan yang terfragmentasi seperti digambarkan di atas menjadi alasan dikembangkannya sistem jejaring stepping stone hijau pada kota-kota besar manca negara.

Sebelum berkembang di Amerika Serikat dan Canada, beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swis, Austria dan negara Skandinavia tercatat menjadi pelopor dalam pembangunan ruang hijau atap bangunan ini.

Penghijauan “hutan beton” perkotaan di Jerman pada tahun 80-an menunjukan peningkatan yang menakjubkan. Gerakan yang di tahun 1989 telah menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi, semakin melebar menjadi 10 juta meter persegi di tahun 1996 dengan proporsi diantara sepuluh atap gedung teradapat satu taman atap. Keberhasilan pembangunan taman atap ini tidak terlepas dari adanya dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35 – 40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.

Di Asia beberapa negara, seperti, Singapura, Hongkong (Cina), Jepang dan Korea dengan gencar menggalakan gerakan penghijauan atap ini. Pemerintah Jepang yang sangat mendukung gerakan ini, sejak 1 April 2004 memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20 % dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Kewajiban ini diberlakukan pada setiap pembangunan gedung layanan publik (dengan luas minimum 250 m persegi) atau fasilitas komersial privat (dengan luas minimum 1000 meter persegi).

Dalam mempromosikan areal hijau kota di Hongkong, telah diterbitkan surat keputusan bersama tiga mentri (bidang Bangunan, bidang Lahan dan bidang Perencanaan) yang memasukan penghijauan atap bangunan dalam standard pembangunan gedung tinggi.

Di Singapur program penghijauan atap-atap gedung tinggi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program yang mendukung Singapur sebagai Kota (Negara) Taman.

Kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul (dengan luas kota 62 000 ha)
mendapat tambahan dalam bentuk taman atap atau ruang hijau atap ini. Ruang hijau potensial yang disumbangan dari “hutan benton” ini setidaknya dapat mencapai sekitar 20 000 ha (30%) dari total kawasan terbangun kota seluas kira-kira 25 000 ha atau 42 % dari luas kota (Kim, 2005).

Pemberdayaan “hutan beton” gedung bertingkat dan struktur bangunan lain menjadi stepping stone hijau kota sangat dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi penghijauan atap.

Desain ruang hijau atap ini dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Dengan mempertimbangkan konstruksi bangunan, seperti kekedapan struktur atap, penggunanan lapisan membran kedap air, root repelling membrane, penggunaan wadah tanam, sistem drainase berlapis, pemilihan dan penggunaan media tanam ringan dan pemilihan jenis tanaman merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkannya. Fungsi ruang hijau atap ini dapat didesain hanya sebagai ruang hijau tanpa akses untuk dikunjungi maupun sebagai taman. Sehingga betuk pengelolaannya akan menyesuaikan dengan desain ruang hijau yang dikembangkan.

Semoga konsep stepping stone hijau belantara “hutan beton” pelengkap jejaring infrastuktur alam dalam meningkatkan biodiversitas kota (urban biodiversity) ini menjadi oase pemikiran yang segar untuk dikembangkan di lingkungan perkotaan tanah air.

Tepian Greenbelt Seoul, Lembah Gunung Kwanak, Seoul 23 April 2005
______
*Ir Qodarian Pramukanto, DipEnvM, MS. Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Korea.

Sunday, March 27, 2005

Memanen Metan Bukit Kembar Haneul-Noeul, Seoul: Mengubah Sampah menjadi Berkah

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/30/ilpeng/1716104.htm

Oleh: Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MS*

Maraknya perbincangan perihal sampah dan limbah perkotaan di tanah air, mulai dari produksi yang berlimpah, pengelolaan dan pemanfaatan yang (masih) payah, sampai puncak tragedi bukit sampah Leuwigajah yang menuai musibah, pada hakekatnya tidak terlepas dari pemahaman yang keliru tentang sampah.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan sampah tidak dapat dipisahkan. Manusialah yang menyebabkan adanya sampah sebagai bagian dari proses pemanfaatan sumberdaya untuk berbagai kepentingan, baik pada skala rumah tangga, kantor, pasar, sampai industri. Namun ironisnya kebanyakan kita tidak mengakui atau peduli terhadap apa yang kita kontribusikan ke lingkungan sekitar. Akibatnya sampah tersebut benar-benar menjadi ‘sampah’, sebagus-bagusnya tempat sampah akhirnya menjadi sampah, bahkan TPA-pun singkatannya memang lebih cocok sebagai Tempat Pembuangan Akhir dari pada diinterpretasikan sebagai Tempat Pengolahan Akhir sampah.

Untuk memahami pentingnya arti sampah ini patut kiranya kita simak pengalaman berharga dalam menyikapi sampah ala dari negeri semenanjung yang dikenal dengan ginsengnya, yaitu Korea Selatan. Setidak ada beberapa pelajaran dalam gerakan memerangi sampah ini, mulai dari membangun kesadaran masyarakat lewat lembaga pendidikan sampai upaya spektakular yang mengangkat martabat bangsa.

Berawal dari dari gerakan “perang”terhadap sampah yang menjadi bagian dari Gerakan Saemaul (Saemaul Undong). Bentuk gerakan ini tidak lagi menganggap sampah sebagai sampah, melainkan menjadikan sampah sebagai sumberdaya yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan. Dimana-mana dapat ditemukan poster dan iklan ajakan yang bertuliskan “Jangan Sia-siakan Sampah”.

Mulai dari sekolah dasar gerakan ini ditanamkan melalui pendidikan pelestarian lingkungan. Dengan semboyan “Let’s clean up our villages”, para siswa tidak saja belajar peduli dan melaksanakan praktek pelestarian lingkungan, tapi juga mengetahui bagaimana memanfaatkan kembali barang bekas dan proses daur ulang. Siswa dididik menjadi voluntir-voluntir cilik yang secara berkala mengumpulkan dan membawa item tertentu dari rumah ke sekolah, seperti wadah minuman plastik atau alumunium, dan kertas koran untuk kemudian ditampung oleh pabrik dan menyaksikan proses daur ulang menjadi barang bermanfaat lainnya. Tidak sampai disitu, para siswa kemudian juga menikmati kembali produk daur ulang tersebut, seperti dari daur ulang kertas para siswa akan mendapatkan buku catatan hasil daur ulang atau dari daur ulang logam, sekolah akan mendapat beberapa buah kursi almunium secara gratis.

Di era demokrasi dan otonomi tahun 90-an, politik kebijakan Korea mencuatkan dukungan transformasi lingkungan melalui berbagai gerakan ’hijau’ dalam peningkatan keragaman bentuk dan kualitas taman dan ruang terbuka hijau. Beragam program ‘hijau’ yang berorientasi keberpihakan pada pentingan masyarakat mendapatkan percepatannya, seperti mengubah berbagai fasilitas militer, bentang plaza aspal dan beton, fasilitas sumber air kota dan ‘lahan tidur’ (wasteland) menjadi taman-taman dan ruang terbuka hijau kota.

Untuk kota Seoul, salah satu topik kebijakan ‘hijau’ yang dikampanye melalui ‘Visi Hijau Abad 21 kota Seoul’ (Seoul Green Vision 21) adalah gerakan dalam ‘memerangi’ sampah dengan segala jurus. Kampanye yang mendengungkan perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan ini mencapai salah satu puncak pendakiannya pada event perhelatan akbar FIFA World Cup 2002.

Dengan katalisator keberhasilan Korea menyelenggarakan Olimpiade Seoul 1988, pemerintah kota metropolitan Seoul melakukan transformasi rekayasa lingkungan yang spektakuler lewat rancangan Kompleks Seoul World Cup Park. Taman monumental ini lahir melalui metamorfosis lingkungan yang panjang di kawasan Nanjido, hilir sungai Han di sebelah Barat dari pusat kota Seoul.

Sesuai dengan namannya, Nanjido (nanj= anggrek dan jamur, do=pulau), sebelum tahun 1978 kawasan ini merupakan pulau yang dikenal dengan aroma semerbak bunga anggrek dan budidaya jamur serta kaya akan sajian aneka tumbuhan bunga lainnya. Disamping itu kawasan perairan disekitarnya dikenal sebagai persinggahan aneka unggas migrasi, angsa, bebek dan kerabat burung air lainnya.

Kemudian, selama 15 tahun status tapak berubah sebagai areal landfill sampah kota Seoul yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Akumulasi lebih dari 92 juta meter kubik tumpukan berbagai macam sampah kota, mulai dari sampah rumah tangga, material bangunan sampai sampah industri ini dengan teknik penimbunan non-sanitary ini menghasilkan rembesan leachate (‘air sampah’) dan gas beracun. Peningkatan leachate yang dapat menimbulkan longsor dan subsidence, disamping polusi udara dan air yang merusak ekosistem sekitarnya disadari oleh pemerintah kota metropolitas Seoul. Sehingga aktivitas yang telah menimbun areal seluas 272 ha ini dihentikan tahun 1993.

Pemulihan kawasan Nanjido yang rusak ini akhirnya dicanangkan oleh pemerintah metropolitan melalui “Landfill Recovery Project” dan menjadikan kawasan tersebut sebagai taman kota yang ramah lingkungan. Sejak tahun 1991 sampai 1996 dilaksanakan program reklamasi timbunan sampah tersebut melalui pengendalian aliran air leachate dengan membangun barrier pelindung vertikal dan pengolahan limbah yang terkontaminasi, penutupan permukaan dengan lapisan tanah, ekstraksi dan pengelolaan gas beracun, serta stabilisasi lereng.

Upaya reklamasi sampah ini pada akhirnya melahirkan dua bukit kembar setinggi lebih dari 90 meter. Bukit kembar dengan puncak yang dibuat berupa dataran mirip ziggurat ini merupakan kelahiran kembali (reborn) kawasan Nanjido dalam wujud kompleks World Cup Park atau yang dikenal juga sebagai Taman Milenium (Millennium Park). Kedua bukit yang menjadi inti dari kompleks taman tersebut merupakan sub taman yang memegang peranan penting diantara tiga sub taman lain dalam kompleks tersebut.

Pada bukit kembar yang bernama Taman Haneul (19.2 ha) dan Taman Noeul (34 ha) ini selain berfungsi sebagai taman dan ruang terbuka hijau juga berperan sebagai ‘tanki raksasa’ bagi penambangan gas metan (CH4). Sejak 2001, dari dua landfill bukit kembar tersebut dipanen gas metan melalui 106 sumur-sumur ekstrasi dengan kedalaman 40 – 60 meter yang tersebar dalam jarak interval 120 meter. Gas dari sumur-sumur ekstrasi ini diangkut melalui instalasi pipa pengumpul yang ditanam didalam landfill menuju fasilitas pusat pengolahan LFG. Gas metan yang dihasilkan selanjutnya dialirkan sebagai pasokan sumber energi pemanas dan pendingin bagi tiga kompleks, yaitu: Seoul World Cup Stadium, 6000 unit rumah di kawasan Permukiman sub-distrik Sangam dan Digital Media City (DMC).

Kesungguhan pemerintah dalam meningkatkan kualitas lingkungan kota yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat dalam pembangunan kompleks World Cup Park ini merupakan simbol kemenangan atas gerakan yang berpihak pada masyarakat dan ramah lingkungan. Lebih jauh lagi transformasi yang melahirkan taman ekologi (Eco-Park) dari bukit sampah ini merupakan penghormatan yang sengaja dipersembahkan ke pentas dunia melalui event FIFA World Cup yang bergengsi. Lebih jauh kehadiran di kompleks tersebut semakin meningkatkan keragaman serta luasan areal taman dan ruang terbuka hijau kota Seoul menjadi 25 % dari total kota (62 700 ha) yang hampir seluas ibu kota Jakarta.

Semoga uraian di atas menambah pemahaman bahwa menyertai sampah yang
dihasilkan, tidak lagi dimaknai dengan citra sampah sebagai ‘sampah’. Sehingga pandangan ‘sampah’ yang sesungguhnya tersebut perlu ditinggalkan dan digantikan dengan cara baru dalam memandang sampah sebagai sumberdaya yang (masih) bermanfaat. Banyak segi yang dapat dilakukan, mulai dari disiplin dalam memilih dan memilah sampah dan limbah sampai pemanfaatan sebagai sumberdaya, seperti mengembangkan manfaat ulang barang bekas (reused), daur ulang (recycle) sampai meraih berkah melalui manfaat turunan (regenerate) berupa energi gas metan dan kompos.
_________
* Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Korea Selatan.