Monday, February 21, 2005

INKONGBUDO, PENGENDALI PENCEMARAN AIR SECARA BIOLOGIS

Oleh : Ir Qodarian Pramukanto, DipEnvM., MS*

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/16/ilpeng/1442188.htm
http://www.ampl.or.id/wawasan/wawasan-isi-pustaka.php?kode=32

Pencemaran perairan terbuka berupa danau, situ, rawa dan sungai oleh limbah industri maupun rumah tangga merupakan masalah yang serius. Berbagai bentuk pencemar, baik yang bersifat fisik (lumpur), bahan organik maupun berupa senyawa kimia termasuk yang beracun seperti logam berat perlu segera diatasi sebelum terjadi akumulasi yang membahayakan pada banyak perairan di tanah air kita. Salah satu langkah konkret dan mudah dilaksanakan untuk menangani pencemaran perairan adalah melalui sistem biologis dengan menebar eceng gondok di perairan, seperti disampaikan oleh Prof. Otto Sumarwoto pada seminar "Pengelolaan Waduk dan Danau ” di Puslitbang Sumber Daya Air beberapa waktu yang lalu. Dengan cara itu diharapkan tumbuhan tersebut bisa menetralkan zat-zat pencemar terutama dari limbah industri dan limbah rumah tangga (Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2004).

Gagasan penggunaan tumbuhan air sebagai filter biologis sebenarnya sudah lama dan tidak disangsikan lagi kehandalannya. Di beberapa negara, seperti Amerka Serikat, Jerman, Jepang dan Korea sudah banyak dikembangkan konsep biofilter menggunakan tumbuhan air berupa teknik pulau apung buatan (artificial floating island). Teknik ini di Jerman dijuluki dengan schwimmkampen, dan di Jepang disebut sebagai ukishima, sedangkan di Korea dikenal dengan inkongbudo. Inkongbudo (pulau apung buatan) dibentuk oleh sekumpulan tumbuhan air yang disatukan oleh suatu wahana yang mudah mengapung dan sekaligus menjadi tempat tumbuhnya (Gambar 1).






Pada awalnya, teknik ini diinspirasikan oleh fenomena alam yang sering dijumpai sebagai pulau apung alami yang terbentuk oleh kumpulan tumbuhan air. Sebagai contoh, di beberapa perairan, seperti rawa Pening di Salatiga atau rawa Danau di Banten, struktur serupa ini kerap ditemukan. Beberapa tumbuhan air dengan massa jenis yang ringan karena mengandung rongga udara pada bagian akar, tangkai dan helai daun, seperti enceng gondok (Eichornia crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta), tidak saja mudah mengapung dipermukaan air tetapi kerap membentuk massa tumbuhan menyerupai pulau. Walaupun struktur pulau apung ini biasanya tidak bersifat permanen. Karena sangat sulit mempertahankan kumpulan tumbuhan yang tetap dan stabil, sebab mudah rusak oleh hempasan gelombang di perairan atau hantaman pada tepian. Namun dalam kondisi tertentu, apablia aliran angin di atas perairan bertiup lemah dan riak gelombang yang tenang memungkinkan terbentuknya massa tumbuhan yang berkelompok. Lama-kelamaan struktur ini semakin stabil dan menyatu membentuk kumpulan-kumpulan pulau apung.

Namun demikian dalam beberapa kasus kehadiran pulau apung alami ini seringkali sulit dikendalikan dan tidak jarang menghasilkan dampak turunan bagi lingkungan. Dengan laju pertumbuhan yang cepat penutupan permukaan suatu perairan oleh massa tumbuhan tersebut menjadi sangat dominan. Lebih lanjut biomass dari tumbuhan yang mati akan mengendap sebagai bahan organik dan mempercepat pendangkalan dasar perairan karena sulit terurai akibat terbatasnya zat asam. Walaupun dalam kondisi yang anaerob ini masih memungkinkan terjadinya penguraian endapan organik, namun proses ini akan menghasilkan senyawa beracun. Selanjutnya apabila suatu saat senyawa-senyawa ini mengalami proses pengangkatan kepermukaan dapat membahayakan organisma perairan di atasnya, seperti perikanan karamba atau jaring apung. Sehingga dalam situasi yang demikian kehadiran tumbuhan air tersebut berubah statusnya menjadi gulma perairan yang berbahaya.

Berbeda dengan pulau apung alami di atas, teknik inkongbudo sebagai pulau apung buatan ini menjadi populer karena peranan lingkungannya lebih terkendali. Bahkan kehadirannya tidak saja sekedar sebagai teknologi penjernih dan penyaring air, tetapi juga menciptakan relung (niche) bagi habitat hidupan liar. Disamping itu juga menambah nilai estetika lanskap perairan, pencegah erosi lereng pada tepi perairan, dan bahkan dapat berfungsi juga sebagai biological disinfection.

Peran inkongbudo sebagai penyerap, penjerap, penjernih atau penyaring air tidak terlepas dari faktor pemilihan jenis tumbuhan yang tepat, yang berkaitan dengan toleransi terhadap unsur yang akan disaring, tetapi juga karakteristik lainnya. Adanya sistem perakaran yang menggantung dan melayang-layang di dalam air, dengan lapisan-lapisan menyerupai labirin merupakan wujud saringan dengan penampang yang luas. Saringan oleh akar ini bukan hanya menyaring unsur terlarut, tetapi juga substrat berupa lumpur dan tanah yang tidak terlarut, dengan mekanisme menjerap dan menahan partikel-partikel melayang. Lebih jauh pada daerah perakaran (rhizosphere) tidak terhitung banyaknya jumlah bakteri penambat yang berperanan dalam proses penjernihan air melalui aktivitas organisma mikro ini.

Untuk alasan inilah yang menyebabkan di banyak perairan di beberapa negara dibangun teknologi inkongbudo. Salah satu contoh inkongbudo dibangun oleh pemerintah kota metropolitan Seoul di reservoir Paldang yang terletak di bagian hulu sungai Han di luar kota. Pembangunannya menelan dana sebesar 200 juta won atau sekitar 1.6 miliar rupiah. Kehadiran inkongbudo pada reservoir yang membendung sungai terbesar yang membelah kota Seoul ini melengkapi fasilitas penjernih air yang akan memasok kebutuhan air bersih kota Seoul.

Diantara para ahli yang meneliti peranan inkongbudo dalam perbaikan kualitas air adalah Mueler et al (1996). Penelitian di Jepang, pada perairan danau yang telah mengalami gangguan, berupa “penyuburan perairan“ (eutrofikasi), ledakan alga hijau-biru dan keruh (turbid), serta bau menyengat yang menurunkan fungsi komersial perairan untuk aktivitas rekreasi dan perikanan ini dapat di atasi dengan membangun instalasi pulau apung buatan. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya perbaikan kualitas air dalam hal peningkatan yang nyata pada tingkat kejernihan air, serta perbaikan komunitas fitoplankton, zooplanton, udang dan ikan. Hasil penelitian ini juga di dukung oleh laporan US Dept. of Interior Bureau of Reclamation (2002), yang antara lain meneliti kualitas air di danau Mead, yang menunjukan rendahnya konsentrasi senyawa-senyawa penyebab eutrofikasi di wilayah perairan di bawah struktur pulau apung.

Walaupun demikian satu hal yang perlu diingat bahwa akumulasi zat-zat pencemar di dalam tumbuhan tidak bersifat permanen. Tumbuhan hanya berperan sebagai “menangkap“ dan mengakumulasikan unsur baik terlarut maupun tidak pada bagian tumbuhan selama tumbuhan tersebut hidup. Namun setelah tumbuhan tersebut mati, unsur tersebut dapat terurai dan kembali bebas ke alam, oleh karena itu perlu adanya penggatian tumbuhan tersebut secara periodik tidak saja untuk mencegah pengendapan pada dasar perairan, tetapi yang lebih penting adalah menyingkirkan polutan-polutan tersebut. Selanjutnya tumbuhan yang telah “dipanen” tersebut dikumpulkan pada tempat penampungan khusus atau dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan, seperti kertas, kantong dan tas.

Untuk membangun inkongbudo dapat dilakukan dengan biaya yang murah melalui pemanfaatan bahan-bahan bekas pakai dan banyak tersedia di sekitar kita. Bahan yang diperlukan adalah bahan-bahan yang mudah mengapung, tidak mengandung bahan kimia yang mencemari perairan, tidak korosif, tidak mudah melapuk atau rusak oleh organisme mikro. Misalnya desain pulau apung dapat dibuat dengan memanfaatkan ban mobil bekas sebagai wahananya (Gambar 2).






Wahana ini dibuat sedemikian rupa sehingga akan mengapung di permukaan air dengan titik berat berada pada bagian pusat. Namun demikan tetap menyisakan adanya bagian modul sebelah atas yang tidak tergenang atau muncul dipermukaan air sekitar 10 cm. Beberapa modul dapat digabungkan sesuai kebutuhan dan bentuk yang diinginkan. Selanjutnya untuk mempertahankan posisi pulau apung ini di perairan perlu ditambat dengan jangkar (anchor) yang dapat menyesuaikan posisi apung dengan pasang-surutnya ketinggian air.

Selanjutnya pada wahana ini dimasukan media tumbuh berupa serat alami, seperti sabut kelapa atau potongan gabus. Walaupun Jenis-jenis tumbuhan air yang ditanam pada modul tersebut agak berbeda dengan tumbuhan pada pulau apung alami, namum tumbuhan tersebut banyak ditemukan di berbagai perairan di tanah air kita. Beberapa jenis tumbuhan tersebut antara lain cattail (Typha latifolia), geligi (Phragmites karka), padi liar (Oryza rufipogon), rumput liar (Paspalum sp), dan jajagoan (Echinochloa crus-galli) serta beberapa jenis tumbuhan air lainnya.

Semoga teknik inkongbudo ini menjadi teknologi tepat guna yang mudah dan dapat segera diterapkan untuk mengendalikan pencemaran perairan terbuka. Disamping turut mengembangkan potensi ikutan yang menyertai proses penjernihan air, seperti terciptanya relung bagi aneka hidupan liar, serta sajian keindahan tumbuhan di atasnya atau atraksi aneka satwa yang hadir dan diharapkan menjadi penghuni pulau apung tersebut. Akhirnya semoga pengalaman dari negeri gingseng ini dapat dijadikan alternatif dalam pengelolaan berbagai perairan yang tersebar di tanah air kita.

________________
* Staf pengajar pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. Mahasiswa Pasca Sarjana pada Seoul National University, Seoul, Korea.
DANG-PUNG (단풍), THE NATURE OF LANDSCAPE LANGUAGE*Image hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.comang-pung merupakan istilah Korea untuk menggambarkan fenomena perubahan warna pada aneka dedaunan di musim gugur (fall, autumn) atau 가울 (gaul), yaitu di akhir musim panas (September) sampai awal musim dingin (November). Fenomena musim gugur singkat, yang menjadi tipikal Korea yang berlangsung secara berjenjang menciptakan tanggap (response) lingkungan yang khas pada tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan berdaun lebar (broadleaf) atau deciduous memberi tanggap lingkungan yang bebeda-beda terhadap perubahan temperatur, kelembab nisbi udara maupun kondisi tempat tumbuhnya di musim gugur tersebut. Perubahan lingkungan yang berjenjang di musim gugur ini salah satunya membangkitkan resonansi fisiologis berupa peluruhan daun yang sebelumnya didahului oleh perubahan warna daun yang juga berjalan secara berjenjang.

Selama proses peluruhan daun inilah tersaji nuansa perubahan warna yang beraneka ragam. Perubahan warna daun tersebut merupakan ekspresi dari berbagai zat pengatur warna (pigment) yang terdapat dalam sel daun. Pola perubahan warna ini terjadi baik pada individu pada satu jenis, antar jenis maupun kumpulan jenis tumbuhan. Perubahan warna daun pada satu jenis tumbuhan tertentu beraneka, setidaknya ada dua tipe, yaitu yang mengalami dua perubahan warna dan ada pula yang mengalami tiga perubahan warna daun.

Khusus untuk tipe yang disebut terakhir, yang sebelum meluruh mengalami tiga perubahan warna daun, dapat diambil contoh pada jenis maple (Acer sp) yang menjadi simbol bendera Canada. Tumbuhan dengan bentuk daun menjari ini pada tahap awal berwarna hijau, kemudian akan berubah menjadi kuning dan akhirnya pada saat-saat gugur daun tersebut berubah menjadi merah. Adanya keunikan dalam perubahan warna daun selama musim gugur ini menjadi sebutan bagi jenis tumbuhan tersebut sebagai 단풍 (dang-pung) yang maknanya berubah warna. Selanjutnya keunikan pola perubahan warna pada maple ini menjadi indikator datangnya musim gugur, sehingga istilah dangpung menjadi populer digunakan di Korea untuk menggambarkan semarak nuansa perubahan warna musim gugur.

Ragam pola yang khas dapat dikenali juga antar masyarakat tumbuhan yang tumbuh di alam. Apabila kita amati suatu bentang alam di musim gugur, akan terlihatlah pola khas dari mosaik yang menggambarkan tempat tumbuh dari masyarakat tumbuhan tersebut. Ada komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah yang dekat dengan sumber air, seperti pada koridor tepi sungai. Namun ada pula yang tumbuh pada lereng-lereng yang curam, dipunggung-punggung (ridge) bukit. Jenis-jenis tertentu akan tumbuh hanya pada daerah dengan ketinggian, setidaknya, 2000 meter di atas permukaan laut, sedangkan yang lainnya hanya tumbuh di daerah pesisir atau dataran rendah di tepi pantai.

Kehadiran tumbuhan pada tempat tumbuh yang berbeda-beda mencerminkan perbedaan kesesuaian habitat atau rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam suatu bentang alam (landscape) yang relatif luas, misalnya lanskap lembah, perbukitan, lanskap pegunungan, semenanjung atau pulau, kekhasan pola sebaran mosaik masyarakat tumbuhan tersebut akan mudah untuk dikenali secara langsung.

Sehingga, kalau dibenarkan, barangkali istilah dang-pung dapat diartikan juga secara lebih luas lagi atas perubahan warna pada mosaik kumpulan masyarakat tumbuhan yang berbeda-beda, sebab perubahan tersebut tidak hanya mencakup perubahan temporal pada warna daun melalui proses fisiologis dalam periode waktu tertentu, namun juga terlihat secara spasial dalam bentang alam yang luas. Jadi setidaknya terdapat dua hal yang yang dapat disandarkan pada dangpung, yaitu kaitan dengan pola temporal (waktu, musim) dan pola spatial (keruangan, tempat, lokasi).

Kekhasan femomena spatio-temporal tumbuhan dalam sajian alami ini mengandung beberapa komponen nilai yang tak teraga (intangible). Komponen intangible yang umumnya sulit untuk dikuantifikasi ini mengandung nilai sensuos of quality yang dapat diindera oleh penglihatan, rasaan, penciuman, pendengaran dan sentuhan. Keindahan tumbuhan, estetika lingkungan, atau pemandangan (scenery) merupakan beberapa contoh kualitas tak teraga yang dapat langsung diindera secara visual. Disamping itu terdapat komponen tak teraga yang manfaatnya tidak dapat kita nikmati secara langsung, melainkan diperlukan suatu pemahaman khusus atas infrastruktur alam yang terbentuk dalam tatanan yang saling kait dan rumit. Beberapa contoh, misalnya kehadiran massa tumbuhan, seperti hutan sebagai “reservoir” alam, “pabrik” oksigen, “saringan” polusi udara, “penjernih” air, dan “pompa” air di daerah tergenang.
Semoga kita menjadi manusia yang tidak saja mengenal keindahan ciptaan Sang Maha Pencipta ini tetapi juga dapat meng-apresiasi, melestarikan dan sekaligus memanfaatan untuk kemashalatan umat manusia.

* 1 st Prize Winner, Perpika Essay Contest, April 2005

Picturesque beauty of Kwanak Mt., Seoul, Oct. 28, 2004
Copyright(c)Qodarian Pramukanto

Gyeong-chip: Bioindikator Kualitas Lingkungan

Sang kodok….e..e…e…sang kodok,
Kenape ente manggil-manggil ujan
Sang kodok….e..e…e…sang kodok
Kenape ente manggil-manggil ujan
Kenape aye manggil-manggil ujan
E… sang ujan kagak mau nimbul
Kenape aye manggil-manggil ujan
E… sang ujan kagak mau nimbul
Sang ujan… e..e…e…sang ujan
Kenape ente kagak mau nimbul
Sang ujan… e..e…e…sang ujan
Kenape ente kagak mau nimbul
Kenape aye kagak mau nimbul
E…. sang…..dst dst
(Benyamin Sueb)

Mungkin diantara kita masih ingat petikan lagu “Sang Kodok” di atas yang dilantunkan oleh penyanyi kondang almarhum Benyamin S dengan iringan orkes gambang keromong di Betawi tahun tujuhpuluhan. Bait-bait tersebut yang menceritakan harapan kodok akan turunnya hujan. Dibalik syari tersebut terkandung makna ekologis daur rantai makanan dalam piramida ekosistem yang menggambarkan hubungan mangsa dan pemangsa (prey and predator). Kodok atau disebut juga katak termasuk hewan yang memakan makhluk hidup (carnivor), seperti nyamuk dan jenis serangga lainnya. Namun ia mempunyai musuh alami, yaitu predator elang dan ular. Sebagai kerabat hewan yang dapat hidup di air dan di darat (ampibia), ia agak berbeda dengan kerabat ampibi lainnya, katak dewasa tidak mempunyai ekor.

Di semenanjung Korea, katak dimitoskan sebagai gyeong-chip (경칩), yaitu isyarat alam akan hadirnya musim semi yang biasanya disebutkan dalam kalender-kalender penanggalan. Isyarat ini diartikan sebagai bangkitknya katak-katak dari tidur panjang musim dingin. Suasana musim semi yang berangsur menghangat mengahiri masa hibernasi aneka jenis katak, baik katak “darat” maupun katak pohon. Berbagai tingkah polah, mulai dari “berjingkrakan” sambil melompat dari relung-relung peristirahatan musim dingin ke kolam-kolam sampai memanjat dan mulai berlompatannya katak pohon dari dahan ke dahan menjadi atraksi yang unik. Lebih jauh, suasana awal musim semi ini juga disemarakan lewat dirigent konser adu-pikat senandung katak jantan pada si betina. Serak-parau, riuh-rendah dan aneka tembang saling berlomba memompa kantung suara mengumandangkan syair-syair pada tayangan prime-time simponi alam saat ibchun (입춘: musim semi).







Kesemarakan musim semi ini juga ditandai oleh kebahagian katak-katak karena bertambahnya anggota komunitas dengan mulai menetasnya jalinan mutiara telur-telur katak di dasar-dasar kolam penetasan. Sehingga musim semi berarti pula hari-hari “kelahiran” berudu berekor (tadpole) yang bernafas dengan insang yang mengawali hidupnya dengan berenang-renang kegirangan menyambut kehangatan musim semi yang mencairkan genangan-genangan air pada cekungan-cekungan lahan.

Fase kehidupan sebagai berudu ini akan berakhir dengan berdiferensiasinya organ-organ tubuh. Berudu-berudu yang “lolos” melewati masa training fisik di kehidupan perairan tersebut berangsur berubah menjadi katak sesungguhnya. Katak-katak muda yang mulai naik ke darat ini tidak lagi bernafas dengan insang, tetapi mulai bernafas dengan menggunakan paru-paru dan kulit sebagaimana halnya pada katak-katak dewasa untuk kemudian memulai hidup sebagai penerus generasi.





Mengamati fenomena siklus hidup salah satu jenis ampibia ini terdapat pelajaran berharga yang perlu kita fahami. Di suatu artikel surat kabar disebutkan “kegagetan” seorang professor dari Universitas Deft, Belanda pada sensor digital yang tegak berdiri di muka Stasiun Gambir sebagai pengukur kualitas udara (CO, CO2, NO2 dan HC) yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor maupun asap buang dari gedung-gedung di sekitarnya (Kompas, 3 Februari 2005). Betapa tidak di negara yang masih berjuang dengan kemiskinan dan utang yang makin melambung, rupanya Jakarta sudah memasang alat canggih untuk menjaga agar Ibu Kota itu tetap segar dan ramah lingkungan.

Lalu apa hubungannya sensor digital pemantau kualitas lingkungan (baca: udara) dengan katak ? Sejak seekor berudu menanggalkan ekornya menjadi katak yang bernafas dengan paru-paru dan kulit, memiliki kepékaan (sensitivitas) terhadap lingkungan, khususnya kualitas udara. Adanya kepekaan satwa ini dapat menjadi isyarat hayati (bioindikator) akan keadaan kualitas lingkungan hidup kita.

Kelembaban udara yang berubah meninggi akan mengusik organ pernafasan melalui permukaan kulit. Keadaan ini merupakan suasana yang nyaman dalam ukuran wilayah kenyaman (confort zone) bagi sang katak. Dalam keadaan yang demikian sensor pengindera katak akan me-resonansi instinct perilaku dalam bentuk ekspresi “sorak-sorai” alunan kegirangan, berlompatan atau memanjat pohon dan melompat dari satu dahan ke dahan lain sebagai tanda akan datangnya hujan yang berarti juga datangnya “musim kawin” (breeding seasong). Dan sebaliknya buruknya kualitas udara oleh bermacam emisi, polutan, temperatur yang meninggi menciptakan ketidaknyamanan bagi makhluk ini, dimana dalam batas-batas tertentu dapat mengganggu kelangsungan kehidupannya. Pada akhirnya, raibnya makhluk ini dari lingkungan kita menjadi isyarat hilangnya bioindikator alam. Padahal, seolah-olah, sang katak telah berkata pada kita : "apa yang baik baginya adalah baik juga bagi manusia". Sehingga dalam lingkungan yang "bersih", baik katak dan manusia dapat hidup sehat dan berdampingan menjalin kebersamaan hidup.

Di Negara-negara maju, berbagai upaya melestarikan satwa ambia ini telah dilakukan. Sebagai contoh di Jerman dapat kita temui rambu-rambu lalu lintas dengan gambar kodok dengan pesan Achtung Frosch!!! (Awas Kodok!!!) atau Achtung!!! Tod (Hati-hati Melindas Kodok). Bahkan di beberapa negara seperti Swiss, Belanda dan juga Korea, menyertai pembangunan ruas-ruas jalan kendaraan banyak dibangun koridor ekologis berupa jembatan atau terowongan (eco-bridge, game-brigde) yang menjadi jalur perlintasan satwa. Infrastruktur buatan ini dibangun untuk menghindari terpisanya (fragmentasi) ruang jelajah dalam habitat kehidupan satwa (home range), serta menghindari terbunuhnya satwa pelintas jalan raya (roadkill). Koridor ekologis ini menjadi jalur penghubung pergerakan satwa antara relung-relung kehidupannya. Seingga hubungan antar relung hidup sehari-hari --seperti hutan, kebun dan taman-- dengan kolam, cekungan lahan atau daerah genangan air lain yang menjadi wilayah pergerakan di “musim kawin” tetap terjaga. Dengan memberi akses antar relung ini, berarti ikut melestarikan kehidupan salah makhluk ciptaan Nya, sebab relung kolam, cekungan dan perairan tersebut merupakan “honey month site” bagi sang katak untuk bersukaria sambil menjalin untaian permata butiran telur-telur di dasar-dasar kolam.

Namun apakah kesemarakan nuansa awal musim semi yang meriah bisa kita nikmati saat ini ? Jangan-jangan syair-syair “bahasa alam” (the language of nature) tersebut hanya ada dalam dongengan yang dibacakan orang tua pada anak-anaknya. Seandainya fenomena alam ini difahami, diapresiasi, dipelihara serta dilestarikannya tentunya kekhawatiran Rachel Carson empat puluh tiga tahun yang lalu dalam bukunya “Musim Semi Nan Sunyi” (Silent Spring) tidak perlu terjadi.

Oleh karena itu coba kita buktikan dan kita ukur kepedulian terhadap lingkungan sekitar, cek kalender kapan saat gyeong-chip tiba ? Kemudian amati, apakah masih terdengar alunan simponi kerabat ampibia di awal musim semi yang biasanya terjadi pada saat bom-pi (봄비, hujan musim semi) ? Fenomena ini hanyalah salah satu dari fenomena alam di negeri ini dan (mungkin) juga di tanah air kita, masih banyak fenomena lain yang perlu kita fahami dan perlakukan dengan arif. Seberapa jauhkah kita sudah mengenalnya ?

Relung hangat awal musim semi, Lembah Gunung Kwanak, 8 Febr. 2005
copyright ©qodarian pramukanto