Saturday, March 12, 2005

PEMUSANGAN MASIHKAH ADA GUNANYA ?

Oleh: Qodarian Pramukanto


Tulisan ini dibuat sekedar untuk dijadikan wacana dikaitkan dengan isu kenaikan BBM yang “memanas”. Sekaligus sekedar menyambung inspirasi Ratna Megawangi (Suara Pembaruan, 10 Maret 2005) untuk menghapuskan kemiskinan dengan warning-nya: “bagaimana agar pemakaian dana subsidi ini jangan sampai mencegah tumbuhnya sikap-sikap mendasar bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan-bekerja keras, mandiri, belajar bagaimana bekerja dengan jujur, berkepribadian kuat, bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anaknya, menjadi warganegara yang tertib serta patuh hukum”.

Wacana tersebut bila dikaitkan dengan fenomena alam tampak relevan dan terdapat pelajaran yang menarik. Berita Memerangkap Musang di Jakarta sebagai judul di media (Kompas, 6 Oktober 2004) dapat dianalogikan dengan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Peristiwa terjeratnya seekor musang di kawasan Duren Sawit tersebut sepintas tampak sebagai suatu “keberhasilan” manusia dalam mengendalikan musuh yang mengancam ternak peliharaan yang sekaligus menunjukan sifat “superioritas” manusia atas makhluk lainnya. Namun bila dilihat dari kacamata ekologi, tidak saja menyajikan suatu tragedi kehewanan, tetapi menunjukan ancaman pada segi-segi kehidupan alami yang masih tersisa di kawasan yang sudah diokupasi manusia.

Fenomena tersebut merupakan pemutusan rantai ekologi dalam proses makan-memakan atau yang dikenal dengan pemangsaan, yaitu hubungan antara pemangsa (predator) dan yang dimangsa (prey) di alam. Dalam piramida rantai ekologi, di bagian dasar ditempati oleh organisma produsen tingkat pertama dari golongan tumbuhan yang mampu menangkap energi matahari lewat fotosintesis menjadi timbunan makanan. Tumbuhan ini selanjutnya menjadi pakan bagi organisma pemakan tumbuhan yang disebut dengan herbivore. Kemudian di atas organisma tersebut dalam ukuran yang lebih sedikit secara mengerucut diduduki oleh organisma pemakan daging (carnivore). Di atas oranisme pemakan daging ini terdapat tingkatan lagi sehingga akhirnya ditempati sebagai posisi tertinggi oleh top carnivore. Disamping top carnivore ini ada organisma pembersih yang memakan sisa-sisa makanan atau disebut sebagai scavenger. Hewan yang disebut terakhir ini betugas sebagai cleaning service atas sisa-sisa makanan. Beberapa jenisnya antara lain burung pemakan bangkai, seperti burung kondor dan hyena.

Rantai ekologi di atas adalah gambaran piramida yang sempurna dalam kondisi di alam yang masih asli. Bentuk piramida dan kelengkapan rantai makanan ini dapat mengalami modifikasi akibat ganguan yang muncul. Misalnya raibnya salah satu peran di satu posisi dari rantai ekologi tersebut, karena diburu. Hilangnya salah satu atau beberapa komponen dalam rantai ekologi tersebut berakibat ketimpangan dalam rantai ekologi. Ketimpangan ini tercermin melalui meningkatnya populasi ornganisma pada level di bawahnya sejalan dengan menurunya populasi organisma di level atas. Visualisasi keadaan ini tergambarkan pada bentuk piramida yang melebar di level bawah.

Modifikasi lain dari piramida ekologi ini dapat juga berupa terbentuknya piramida yang hanya terdiri atas beberapa level, dalam ukuran yang mengecil dan tidak lagi meninggi. Dalam kasus ini, gangguan yang terjadi, secara proporsional akan membentuk suatu kesetimbangan yang baru, walaupun ada rantai makanan yang hilang namun masih menyisakan organisma anggota pada setiap levelnya.

Pemusangan, yang berasal dari kata musang, berarti pemangsaan mangsa (prey) oleh pemangsa (predator). Fenomena ini mengandung makna ekologi yang penting dalam konteks kelestarian rantai ekosistem, yaitu mekanisme seleksi alam yang tidak saja mengendalikan kelestarian hewan pemangsa tetapi juga hewan yang dimangsa. Kelestarian di sisi hewan pemangsa jelas terlihat pada tersedianya makanan dengan hadirnya hewan yang dimangsa, contohnya untuk musang misalnya ayam, burung atau jenis unggas lainnya. Lantas apa hubungannya pemusangan terhadap kelestarian unggas ini ? Mengapa adanya pamangsaan oleh musang sangat berarti dalam pelestariannya ?

Charles Darwin tahun 1880 dalam bukunya The Origin of Species, mengungkapkan teori yang menjelaskan bahwa kelestarian hanya berlaku bagi individu atau kelompok yang mampu bertahan untuk hidup di lingkungannya, survival for the fitness. Artinya hanya hewan-hewan yang sehat, kuat, lincah, dapat “menghindar” dan “bertahan” dari pemangsa atau dapat “lolos” dari santapan “musuh” yang dapat lestari. Sebaliknya hewan-hewan yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk menghindar dari terkaman pemangsa yang akan cepat musnah dan punah. Sehingga pada saatnya, yang akan bertahan hidup adalah individu-individu hewan yang tegar dan “well perform”. Selanjutnya kalau populasi yang “kuat-kuat” ini yang bertahan, maka secara proprorsional tebentuk kesetimbangan dalam rantai ekosistem pada level yang “tinggi”.

Sebaliknya ketiadaan pemusangan, akan menciptakan populasi yang beraneka, dan seringkali di dominasi oleh individu yang tergolong resesif, inferior dan 5L (lesu, lemah, loyo, letih dan lelah). Bila terjadi dominasi kelompok individu ini dalam suatu populasi akan mengancam eksistensi populasi tersebut jangka panjang. Unsur-unsur dapat “menularkan” (dalam arti sebenarnya) pada individu sehat, kuat tegar dan superior dan menurukan dominasi-nya. Sehingga hanya yang inferior saja yang eksist, atau pada akhirnya ikut punah juga.

Dan sebaiknya juga dari sisi pemangsa (predator), hanya individu yang kuat dan lincah yang dapat menjerat dan memangsa makanannya. Harimau tua, opong dan tak berkuku hanya dapat menyatap daging buruan dalam mimpi indahnya, sebelum dia diburu oleh rivalnya.

Hubungan predator-mangsa yang dinamis ini berakhir pada suatu level kesetimbangan tertentu. Akhirnya kesetimbangan rantai hubungan ini akan tercemin pada terbentukanya piramida ekologi yang sempurna.

Dari penjelasan fenomena alam di atas, bila dikaitkan dengan isu pencabutan subsidi BBM, maupun subsidi lain yang serupa dapat ditarik benang merahnya. Terlepas dari ada/tiadanya kesiapan masyarakat dalam berbagai segi maupun resistensinya atas kebijakan yang tidak populis wacana ini kiranya relevan untuk kita fikirkan. Jika fenomena pemusangan tersebut dianalogikan dalam bentuk pencabutan subsidi, banyak kasus peristiwa di alam yang dapat dijadikan pelajaran. Salah satu kasus nyata adalah peristiwa --yang terjadi belasan tahun yang silam-- pembantaian jenis mamalia laut, yang dikenal sebagai ikan duyung (Dugong dugong).

Para nelayan diperairan laut Selatan Bali terpaksa memburu mamalia laut ini karena dianggap sebagai predator bagi target tangkapan ikan mereka. Pada puncak “kekesalannya” mereka sepakat memburu dan membantai sebanyak-banyaknya populasi duyung ini, dengan asumsi demi meningkatkan produksi tangkapan ikannya yang kian menurun. Memang, beberapa saat setelah peristiwa pembantaian “predator” tersebut, terbukti hasil tangkapan ikan menanjak secara drastis. Peningkatan hasil tangkapan tentu saja sangat menggembirakan para nelayan.

Namun kegembiraan tersebut hanya berlangsung beberapa tahun saja. Asumsi yang dicanangkan ternyata keliru, sebab setelah itu, hasil tangkapannya kian hari kian menurun, bahkan pada akhirnya sampai pada tingkat produksi yang lebih rendah dari sebelum “gerakan” pembantaian duyung tersebut. Mengapa ?

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori Darwin di atas. Penurunan populasi predator, setelah gerakan pembantaian tersebut ternyata mengubah tingkat kesetimbangan dalam rantai ekologi. Ketiadaan sang predator, ternyata memberi peluang bagi tumbuh suburnya aneka jenis individu dan populasi ikan, dengan berbagai kualitas dari superior sampai inferior (yang kuat sampai yang lemah, yang sehat sampai yang berpenyakitan). Celakanya, performance populasi individu dari kelompok inferior ini mendominasi. Kelompok tersebut memberi pengaruh buruk pada populasi, tidak terkecuali individu yang superior, sehingga indivdidu-individu superior banyak yang ikut “tertular” menjadi lemah dan inferior, misalnya karena tertular penyakit atau mempunyai keturunan yang inferior pula. Individu yang sakit atau carrier menjadi vektor (penyebar) bagi individu lainnya. Lama kelamaan wabah ini semakin membesar dan “memusnakan populasi satwa perairan ini secara signfikan.

Artinya, kelestarian suatu populasi akan ditentukan oleh adanya sifat “unggulan”. Dalam kondisi alami, posisi individu atau kelompok individu yang tidak unggul, tidak hanya dapat “digeser” oleh kelompok yang lebih unggul, namun juga bisa “dikalahkan” oleh dirinya atau kelompoknya sendiri.

Indikasi turunya hasil tangkapan nelayan di perairan Bali tersebut mengunkapkan fenomena tersebut. Semoga pencabutan kebijakan subsidi -- dalam batas, prasyarat dan lingkup tertentu-- dapat memotivasi kita untuk menghidupkan karakter-karakter unggulan bangsa ini. Atau akankah kita berpihak pada pilihan meniadakan fenomena pemusangan dalam masyarakat kita ?

Tepian danau Konkuk, Hwayang-dong, Seoul, 17 Oktober 2004 (Last edited, March 13rd 2005)

*) Qodarian Pramukanto, staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat PhD pada Seoul National University, Korea