Tuesday, February 22, 2005

RELUNG TERCIPTA DIANTARA DUA KONFLIK: FENOMENA BIOREGION DMZ, KOREA

Bioregion merupakan suatu konsep yang mengusung filosofi bahwa Fenomena bioregion nampak jelas, khusunya konsep reinhabitation yang di kumandangkan oleh Berg (1978). Kehadiran unggas liar di kawasan segment perbatasan (boder) dua Korea dan sekitarnya mengilustrasikan fenomena bioregion bagi satwa liar tersebut. Tersedianya areal sumber pakan (feeding ground) bagi satwa tersebut berupa lahan persawahan serta areal tempat beristirahat di malam hari pada areal semak-semak berawa di dalam benteng perbatasan pemisah merupakan domain bagi ruang hidup satwa tersebut.

Lebih lanjut segmen wilayah demiliterisasi (DMZ, demilitarized zone) ini diperkaya pula oleh beragam spesies berbagai jenis burung dan satwa lainnya. Fenomena alam ini terbentuk pada koridor pemisah antara dua Korea yang membagi semenanjung ini sejak hampir setengah abad yang lalu menjadi common ground bagi beragam kehidupan.

Di musim dingin, wilayah pemisah yang membentang sepanjang 150 mile dengan jalur selebar 2.5 mile ini menjadi relung bagi burung yang bermigrasi dari Siberia, Manchuria, Jepang dan Australia. Tidak kurang beberapa jenis langka seperti red-crown dan white-naped cranes, yang bergabung dengan kestrels, angsa black vutures serta beberapa jenis mamalia, seperti rusa roe, babi liar bahkan kadang-kadang beruang hitam turut serta meramaikan konsert keragaman species di kawasan ini. Sehingga kawasan ini layak disebut sebagai “international biodiversity belt”

Bagi masyarakat Korea Selatan, adanya fenomena ini lebih dipandang sebagai keajaiban alam dari pada sesuatu yang bernuansa perang. Sehingga Organisasi Pariwisata Nasional Korea Selatan telah mempersiapkan rencana pengembangan ekowiasata di kawasan yang berdekatan dengan daerah perbatasan ini. Lahirnya syurga bagi aneka spesies unggas ini sangat berarti, setidaknya sebagai pengganti atas telah rusak dan hilangnya habitat-habitat serupa di tempat lain. Sebagai daerah tujuan wisata, kawasan sekitar perbatasan ini, DMZ, setiap tahunnya dikunjungi tidak kurang tiga juta wisatawan yang berkunjung untuk melihat border yang menjadi benteng pemisah perang dingin dua Korea.

Salah satu daerah tujuan wisata di dekat perbatasan adalah kota Chorwon. Kehadiran hidupan liar ini memperkaya atraksi yang menjadi bidikan birdwatcher di kawasan ini. Pengunjung tidak saja mendapatkan pengalaman wisata melalui bidikan binokuler yang diarahkan ke daerah batas perang dingin atau juga melintasi pandangannya ke objek pandang berupa kehidupan sehari-hari masyarakat Korea Utara, namun juga mendapatkan sajian atraksi aneka satwa liar. Beberapa jenis bangau seperti jenis mahkota merah yang kerap menjadi corak karya seni oriental, seperti motif pada partisi, pakaian kimono atau hanbok, kipas, hiasan dinding, kerap hadir menjadi atraksi yang menarik, tidak saja melalui tingkah-lakunnya dalam mencari makanan di areal persawahan, tetapi juga menjadi simbol hadirnya kedamaian di wilayah perang dingin tersebut. Jenis bangau yang konon jumlahnya di dunia ini diduga hanya sekitar 2000 ekor ini, mendapatkan relung tempat bersarang dan beistirahat yang nyaman dan aman dari berbagai gangguan di lahan-lahan semak-semak berawa di dalam benteng perbatasan.

Lembah Gunung Kwanak, 25 April 2004
Copyright©qodarian pramukanto

TAMAN EKOLOGI KILDONG: ALAM TERKEMBANG MENJADI GURU

Oleh: Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MS*

Setelah berjalan kaki sekitar 1.5 km dari stasiun subway di distrik Kildong, bagian timur kota Seoul, tibalah kami di daerah lembah berawa yang rimbun dipadati tumbuhan air. Pada lahan sekitar 24 000 pyong atau kira-kira sepuluh kali luas lapangan sepak bola ini terdapat bagian rendah tempat bermuara parit-parit kecil dan beberapa mata air yang keluar dari daerah agak berbukit di sekitarnya. Tapak ini menjadi terkenal sejak dibangunnya taman ekologi yang berfungsi sebagai laboratorium alam oleh pemerintah kota metropolitan Seoul.

Kil-dong Seng-tae Kon-gwon adalah nama Korea untuk taman ekologi ini. Taman kota yang menjadi salah satu taman pendidikan lingkungan yang terbaik dari beberapa taman sejenis yang ada di Seoul adalah hasil restorasi dan perlindungan atas sumberdaya yang ada di kota. Taman ini berfungsi mengakomodasi berbagai kegiatan ilmiah dalam bentuk pengamatan tumbuhan, satwa dan lingkungan alam.

Wujud taman yang mengemban misi khusus tersebut, sangat berbeda dengan lazimnya taman kota atau ruang publik lainnya. Gambaran akan keramaian pengunjung, kesibukan penjaja makanan dan sovenir tidak tampak sama sekali, kecuali hanya segelintir orang serta satu dua mobil terparkir di muka pintu gerbang. Suasana ini dapat dirasakan saat tiba di pintu gerbang taman.

Meskipun pada hari libur, pengunjung yang datang hanya sekelompok kecil rombongan keluarga yang terdiri orang tua dengan dua atau tiga anak. Padahal untuk berkunjung ke taman ini terbuka bagi siapa saja dan tanpa dipungut biaya, namun hal itu hanya dapat dilakukan setelah mendaftar minimal sepekan sebelumnya. “Biasanya reservasi kunjungan pada akhir pekan dan hari libur selalu penuh”, kata petugas pengelola taman. “Dan pada waktu tersebut kunjungan dikhususkan bagi pengunjung umum yaitu keluarga dan peorangan. Bagi pelajar atau pakar kunjungan hanya pada hari kerja”, lanjut petugas tersebut.

Pengunjung yang terdaftar akan dikategorikan kedalam kelompok umum dan khusus. Kategori umum adalah pengunjung yang datang sekedar memanfaatkan taman tanpa memiliki latar belakang pengetahuan ekologi. Sedangkan kelompok khusus berkunjung dengan tujuan untuk mengamati dan belajar ekologi.

Pada jadwal yang ditentukan, pengunjung berdasarkan kategori kelompoknya akan dipandu oleh seorang relawan terlatih. Prosedur kunjungan yang diskrimintif ini diterapkan dengan alasan untuk memelihara suasana alami dan “keamanan” habitat secara lestari. Lebih dari itu dengan sistem pemanduan, disamping aktivitas pengunjung lebih terkendali juga sangat membantu dalam interpretasi dan apresiasi lingkungan.

Setelah peserta dibekali leaflet panduan, dimulailah penjelajahan taman tersebut. Pada leaflet panduan terdapat peta rute jalur jelajah, sebaran daerah bebas untuk melakukan pengamatan (free observation area) dan daerah terbatas untuk pengamatan (restricted observation area), fasilitas pengamatan, objek pengamatan, jenis habitat, atraksi dan fenomena alam, yang disertai serangkaian pertanyaan dan instruksi terkait. “Aktivitas kunjungan disamping dibedakan berdasarkan jenis pengunjung (khusus/umum), juga berdasarkan karakteristik daerah pengamatan (pengamatan bebas/pengamatan terbatas)” tutur petugas pengelola.

Untuk kelompok umum aktivitas pengamatan terpandu dibatasi hanya pada daerah yang telah ditentukan saja. Sedangkan kelompok pengunjung khusus dapat melakukan berbagai aktivitas termasuk pada daerah pengamatan terbatas. Tampaknya inilah yang membedakan taman ekologi dengan taman lain pada umumnya. Pada taman-taman umum kegiatan dapat dilakukan secara bebas dengan suasana rekreatif lebih menonjol dibandingkan nuansa pendidikan yang serius seperti pada taman ekologi ini.

Pagi itu, saat matahari mulai beranjak bangkit, tampak sekelompok pengunjung pelajar tengah bersiap untuk mengawali rute jelajah berpola sirkulasi melingkar (looping) searah jarum jam. Kehadiran “peneliti-peneliti” kecil bertopi dan tas gendong yang dilengkapi teropong, buku catatan dan alat tulis ini disambut kesejukan udara pagi yang berhembus dari kerimbunan pepohonan sekitar serta suara gemericik air mengalir pada parit-parit kecil. Kenyaman serta jauh dari bising kota semakin memperkuat kesan nuansa alam tapak tersebut. Dengan semarak iringan konser alam dari sinfoni tonggérét yang bersautan, derik jangkrik, kepak kupu-kupu, denging serangga kecil, sesekali senandung katak dan kicau burung merupakan sajian yang jauh dari gambaran suasana perkotaan. Kunjungan pagi hari itu sungguh merupakan golden prime time, karena kebanyakan satwa bergiat di pagi hari, dan gerak geriknya menurun pada tengah hari. Menurut pemandu, ramainya puncak kehidupan di pagi hari ini semakin memudar setelah lewat tengah hari.

Setiap titik pengamatan dilengkapi rambu (sign board) dan papan informasi. Dengan bimbingan pemandu setiap peserta melakukan berbagai aktivitas apresiasi lingkungan secara terprogram. Di awali dengan penyampaian informasi di ruang terbuka, dengan peraga berupa poster dan panel-panel specimen tumbuhan dan hewan, sampai pada pengamatan (observation) satwa, pengenalan berbagai bentuk ekosistem, baik di darat, padang rumput, hutan maupun perairan tidak luput dari kajian.

Di lokasi ekosistem rawa, misalnya, peserta diajak mengamati metamorfosis dalam siklus hidup aneka serangga (kupu-kupu, capung, kepik) dari telur, larva, kepompong, sampai menjadi serangga dewasa. Bahkan pada periode tertentu terdapat atraksi menarik berupa booming beberapa jenis serangga, seperti kupu-kupu dan capung yang telah menyelesaikan fase akhir dari metamorfosisnya. Demikian juga pada saat yang lain, “tersaji kerlap-kerlip kunang-kunang menghiasi langit taman tersebut di malam hari”, ujar pemandu melengkapi informasinya.

Aktivitas mengintai burung dilakukan pada shelter pengamatan atau menggunakan teropong (binokuler) yang diarahkan pada sasaran tertentu. Target pengamatan adalah daerah rawa berlumpur yang menjadi tempat unggas mengais pakan (feeding ground), bersarang, atau sekedar beristirahat, renang dan bermain-main. Apabila beruntung beberapa jenis unggas air (water fowel) seperti bebek, raja udang (king fisher) dan aneka jenis bangau sering tampak di perairan yang ditumbuhi cattail (Typa sp) geligi (Phragmites karka), padi liar (Oryza rufipogon) dan rumput liar (Paspalum sp) ini. Perairan lahan basah seluas setengah lapangan bola ini merupakan tempat berbagi hunian antara unggas yang berstatus penghuni tetap dengan unggas pendatang musiman.



Berbagai bentuk sarang, baik yang alami dari serasah atau jerami maupun buatan sebagai inisiasi dan stimulasi awal, untuk mengundang kehadiran satwa, kerap dijumpai disepanjang rute jelajah. Mulai dari tumpukan serasah organik (mulsa) bagi sejenis kumbang kayu (beetle), potongan kayu glondongan (woodpile) yang dilubang-lubangi untuk penggerek batang, sampai rumah lebah dengan bentuk yang unik, sarang burung alami atau kotak sarang (nest box) dan rumah kelelawar yang digantung di dahan pohon merupakan kediaman yang nyaman bagi satwa-satwa tersebut. Berdasarkan ragam model sarang ini, terdapat salah satu pertanyaan unik pada leaflet panduan yang membandingkan model sarang buatan dari dua satwa bersayap, yaitu unggas dengan kalelawar, satu-satunya hewan menyusui yang bersayap. “Mengapa letak lubang pintu pada rumah kalelawar berada di bagian bawah, sedangkan burung umumnya berlubang pintu di samping ?”.

Keragaman biologi yang hadir pada taman ini semakin diperkaya oleh aneka jenis flora, baik vegetasi darat (terrestrial), epfifit maupun, vegetasi air. Mulai dari tumbuhan tingkat rendah, seperti lumut, alga, dan jamur, sampai tumbuhan tinggi (macrophyte), seperti aneka jenis rerumputan, herbaceous, semak, sampai pohon membentuk suatu campuran yang unik. Tercatat sekitar 31 000 individu pohon dan vegetasi rambat yang terdiri atas 64 species serta tumbuhan herbaceous dan semak liar sekitar 188 000 individu yang mewakili 138 species sebagai penghuni resmi taman ini.

Dinamika sajian alam yang hadir tidak terbatas pada pentas satwa, tetapi juga pada aneka ragam vegetasi. Mulai dari corak bentuk daun yang memanjang, bulat, oval, hati, dan menjari, sampai warna warni perubahan daun yang menyertai perubahan musim. Mengapa dedaunan berubah warna ?” merupakan salah satu pertanyaan dalam panduan yang menjadi kunci dalam memahami femomena alam dalam bentuk tanggap vegetasi terhadap perubahan lingkungan

Sebagian dari areal taman ini diperuntukan juga sebagai display aneka jenis pakan (feeding ground). Petakan-petakan lahan yang ditanami jagung, jawawut, sorgum, barley dan padi sawah merupakan lumbung pakan bagi satwa pemakan biji-bijian. Pohon-pohon oaks yang tumbuh menjadi keranjang buah bagi beberapa satwa pemakan acorn. Tidak ketinggalan aneka tumbuhan berbunga sebagai sumber nektar, sampai sumber selulose berupa bonggol-bonggol kayu.

Dengan bahasa sederhana serta disesuaikan dengan kapasitas peserta, pemandu memberikan arahan atas pertanyaan-pertanyaan kunci atau instruksi dalam leaflet panduan. Jawaban atas misteri akan terungkap setelah melalui suatu produr ilmiah sederhana. Dimulai dengan pertanyaan atau instruksi, pendugaan, serangkaian pengamatan atau melakukan tindakan tertentu yang disertai penalaran akan diperoleh kesimpulan sebagai jawabannya.

Diskusi interaktif antar peserta atau dengan pemandu selalu mewarnai nuansa ilmiah di setiap titik pengamatan. Beberapa bentuk pertanyaan dan instruksi lain yang tertulis pada panduan misalnya: “Coba cari dimana suatu jenis satwa bersembunyi?”, “Kalau buah kacang tanah berada di dalam tanah, pada saat berbunga dimana letak bunganya?”, "Apa fungsi perubahan warna kulit atau bulu yang terjadi pada hewan pada waktu-waktu tertentu?”, “Tunjukan ciri hewan pemakan ikan!”, “Mengapa cendawan disebut sebagai pembersih alam dalam rantai ekosistem?”, atau “Perhatikan perbedaan bentuk cendawan pada habitat yang berbeda !”.

Setelah menjelajah lebih dari dua jam dengan diselingi istirahat ditengah jelajahan tidak terasa tibalah di titik akhir jalur interpretasi alam. Tempat yang dilengkapi dengan pergola dengan keteduhan kanopi tumbuhan rambat ini menjadi akhir dari rangkaian interpretasi alam. Di tempat ini, sambil istirahat melepas lelah, pemandu mempersilahkan peserta untuk mengajukan pertanyaan atau hal-hal yang perlu penjelasan lebih lanjut, serta meminta kesan, saran, harapan dan komentar dari peserta.
Dari uraian di atas tampak adanya perhatian serius atas pentingnya kehadiran unsur alam di perkotaan. Pembangunan tidak hanya semata-mata membangun unit hunian serta fasilitas pendukung bagi masyarakat kota, tetapi juga mempertahankan dan menciptakan relung-relung habitat bagi hidupan liar dalam bentuk taman ekologi yang berdiri berdampingan.

Kehadirannya tidak saja menjadi media pendidikan lingkungan dengan menggali pengalaman langsung dari alam, tetapi juga menghadirkan ruang publik dengan prinsip-prinsip ekologi, yaitu ikut memperbaiki kualitas lingkungan kota, menciptakan relung hidupan liar dan meningkatkan keragaman biologi kota yang lestari. Konsep taman ekologi ini sangat sesuai dan patut untuk diterapkan pada kawasan perkotaan di tanah air. Sekedar menyebutkan, beberapa kawasan di ibu kota Jakarta seperti lahan rawa Kemanyoran, hutan kota Pesanggrahan, danau Sunter dan masih banyak lagi lahan basah yang potensial untuk dikembangkan taman sejenis ini. Sehingga bagi masyarakat pada umumnya dan secara khusunya pelajar serta ilmuwan, kehadiran taman ekologi ini dapat dimaknai sebagai jendela untuk meneropong lingkungan alam di kota, seperti pepatah Minang yang menyebutkan “alam terkembang menjadi guru”. Semoga gambaran yang melekat sebagai ”...nature is your best teacher” pada taman tersebut benar-benar terwujud tidak saja bagi masyarakat kota Seoul tetapi juga kota-kota serupa di tanah air kita.
_________
* Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; mahasiswa pasca sarjana pada Seoul National University, Korea Selatan.

Climbing up to the Sky, Menggapai Universitas Papan Atas

Oleh Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MS

Kita masih ingat kata bijak yang diucapkan persiden Sukarno, “gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”. Namun seorang profesor di almamater saya, IPB, pernah berpesan dengan mengubah redaksinya menjadi agak konkrit dan lebih tinggi lagi, “.....gantungkan bintang-bintangmu pada cita-cita”. Rupanya rangkaian kata-kata bijak senada juga telah menggelorakan semangat juang para siswa SMU di negeri ginseng yang semakin memanas menjelang seleksi masuk perguruan tinggi di musim dingin ini. Climbing up to the Sky adalah ungkapan bagi siswa yang tengah membidik perguruan tinggi papan atas yang menjadi impian. Kalau boleh menyebutkan tiga diantara beberapa perguruan tinggi lain yang dianggap menempati posisi tersebut, adalah Seoul National University, Yonsei University and Korea University.

Metamorfosis pendidikan dasar-menengah yang akan melahirkan calon-calon mahasiswa strata satu ini harus berhadapan dengan kriteria seleksi berlapis dan berbagai tipe penjaringan calon mahasiswa yang spesifik. Sehingga fase pendakian menuju tataran universitas “langit” ini tidak cukup hanya berbekal prestasi kelulusan yang diperoleh di SMU, rapot dan STTB, tetapi perlu memperlihatkan prestasi unggulan lainnya. Bahkan sekedar mengantongi skor tinggi di arena seleksi nasional “u-em-pe-te-en” ala negeri semenanjung ini untuk lima mata ajaran yang diujikan tidaklah cukup. Sebab medan laga masuk perguruan tinggi terbentang luas, seluas prestasi dan sedalam pengalaman pada komponen penunjang unggulan dari siswa. Hanya mereka yang lolos “u-em-pe-te-en” dengan skor tinggi pada selang yang dipatok oleh universitas unggulan tersebut yang bisa meneruskan pertempuran ketahap lanjut, selebihnya dipersilahkan segera mengubur mimpinya dan memilih universitas lain sesuai dengan perolehan skor. Selanjutnya, peserta yang lolos ke tahap akhir yang semakin mengerucut tersebut masih harus berjuang memenuhi undangan universitas pilihannya untuk “diadu” dengan perserta lainnya. Di babak final ini ragam bentuk arena seleksipun digelar, mulai dari wawancara, evaluasi komponen penunjang non akademik, karya seni, karya ilmiah dan prestasi unggulan lain. Pendek kata setiap peserta mengeluarkan “ajian pamungkas” yang mempunyai nilai “competitive advantage”. Pada akhirnya prestasi unggulan inilah yang akan mengangkat peluang menggapai unversitas pilihan. Walaupun untuk persyaratan yang terakhir ini masing-masing universitas memiliki kriteria sendiri.

Komponen penunjang yang menjadi andalan terakhir tersebut dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk mulai dari penguasaan bahasa asing, keterampilan komputer, prestasi dalam lomba karya ilmiah, olah raga, seni sampai kepedulian pada aspek lingkungan dan sosial. Bergiat dalam pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial, bergiat di dinas pemadam kebakaran dan dinas kebersihan merupakan komponen penunjang berbobot yang mampu menaikan track record calon mahasiswa.

Sehingga untuk menjemput mimpi dan melenggang menuju universitas idaman tidak cukup hanya mengandalkan perasan otak di kelas. Daya juang, kerja keras dan disiplin yang tinggi menjadi syarat mutlak. Jadwal yang terangkai padat merupakan menu sehari-hari para siswa SMU. Meskipun secara resmi waktu belajar di kelas hanya delapan jam, namun di luar waktu tersebut para siswa disibukan dengan pelajaran tambahan terutama pada materi yang akan diujikan dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi dan berbagai kegiatan peningkatan keterampilan bersertifikat serta komponen penunjang lainnya. Waktu yang tersisa, mereka gunakan untuk self study. Kegiatan sehari-hari ini dimulai sejak meninggalkan rumah pukul delapan pagi akan berakhir saat kembali ke rumah lagi pada pukul sebelas atau dua belas malam. Sehingga sekitar 15 – 16 jam sehari curahan waktu dihabiskan di sekolah, sedangkan rumah sekedar sebagai tempat untuk istirahat.

Dari gambaran kerasnya kompetisi memperebutkan universitas terbaik di semenanjung Korea ini, setidaknya terdapat pelajaran menarik. Bahwa selain upaya gigih, motivasi kuat menjadi syarat mutlak. Motivasi dalam menakar target sasaran, ukurannya tidak cukup sekedar lulus SMU dengan mengantongi nilai rapor dan ijazah SMU yang terbaik atau mendapat skor tinggi dalam ujian nasional saringan masuk perguruan tinggi. Namun motivasi untuk selalu berprestasi dalam segala bidang dan menempati posisi terbaik adalah penting. Dengan perkataan lain bukan sekedar rapor, ijazah, skor atau sertfikat yang dikejar tapi prestasi pemecah record! Prestasi terbaik tersebut secara kumulatif tidak hanya tercermin dalam rapor, ijazah, skor, tetapi juga dalam berbagai komponen penunjang. Bahkan untuk komponen yang terakhir disebut menjadi penentu akhir sebelum layak menyandang atribut mahasiswa. Sehingga dengan bekal prestasi berimbang antara kurikuler dan ekstrakurikuler, calon mahasiswa tersebut dapat meletakan “bintang-bintang” tersebut pada cita-cita yang membuka jalan memasuki gerbang pendidikan tinggi di universitas idaman. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari “bintang-bintang” di negeri ginseng ini.

Lembah Gunung Kwanak, Seoul 15 November 2004
_________
* Mahasiswa Pasca Sarjana pada Seoul National University, dan tinggal di Seoul, Korea Selatan.

Gam, KKachi dan Kearifan Lokal

Di akhir musih gugur (ga-eul) ini di bumi negeri kimchi masih menyisakan sajian keunikan alam. Salah satunya adalah booming buah persimon atau kalau di tanahh air kita dikenal sebagai kesemek. Kalau diamati tampak buah ini agak berbeda dari segi ukuran, warna, bentuk maupun rasanya dengan yang biasa kita lihat di tanah air. Sepintas bentuk dan warnanya mirip buah tomat lokal. Di tanah air buah serupa sering kita lihat umumnya berwarna kuningkehijauan sampai kuning, rasanya manis sedikit asam, berdaging buah agak keras dan kulitnya bergetah yang gatal, sehingga sebelum dimakan biasanya perlu di-“bedaki” dahulu dengan ditaburi powder, oleh karena itu sering disebut juga sebagai “buah genit”.

Image hosted by Photobucket.com

Sebenarnya dari segi warna, buah persimon yang di Korea disebut gam (감), pada saat masak tidak terlalu berbeda dengan kesemek kita. Gam mempunyai warna buah masak kuningkehijauan yang mirip dengan kesemek kita, tapi kulit buahnya tidak bergetah serta berdaging buah yang lebih lunak dibandingkan kesemek. Namun kalau kita lihat gam yang dijajakan tampak mempunyai corak warna dan ukuran yang berbeda-beda. Ada gam yang berwarna kuningkehijauan, ada yang merah, juga ukurannya ada yang kecil dan ada yang besar. Gam yang berwarna merah adalah gam yang dipanen sebelum masak dan telah melalui proses pengolahan pasca panen tertentu. Selain warna kulitnya berubah menjadi merah sepintas yang mirip tomat, juga daging buahnya menjadi sangat lunak. Untuk gam yang sudah melalui perlakuan khusus ini disebut hong-si (홍시, hong = merah, si=buah).



Gam disamping sebagai buah yang disukai oleh manusia, juga merupakan pakan dari burung pemakan buah, salah satunya adalah burung yang bernama kkachi (까치) yang dipercaya oleh orang Korea sebagai fortune bird. Burung dapat dikenali dengan warna bulu pada bagian punggung dan kepala berwarna hitam, serta bagian dada dan sebagian ekornya yang panjang berwarna putih. Apabila di pagi hari terdengar kicau burung ini maka diyakini sebagai pertanda akan datang rezeki pada hari itu. Selain kachi ada jenis burung lain yang dipercaya sebagai penyebab ketidakberuntungan, yaitu burung yang berbulu hitam, mirip burung gagak yang namanya kamakwi (까마귀).



Di semenanjung Korea, kedua jenis burung ini dapat dijumpai dimana-mana, di pedesaan maupun di kota. Bahkan jenis kachi dengan kemudahannya beradaptasi, menyebabkan populasinya terus meningkat. Sehingga saat ini populasinya telah berlebih. Di beberapa tempat, seperti di perkebunan buah pear, jenis ini merupakan hama. Juga, sering kali jenis ini menimbulkan masalah di daerah perkotaan karena kerap membangun sarang pada jalur transmisi listrik, yang sangat membahayakan sistem instalasi.

Terlepas dari kepercayaan terhadap kehadiran kedua jenis unggas, serta
statusnya sebagai hama atau penggangu, namum keberadaannya sebagai bagian dari rantai ekosistem tetap mendapat tempat bagi masyarakat Korea. Kepedulian masyarakat dapat dilihat dalam hal menjamin ketersediaan pakan bagi makhuk bersayap ini. Salah satu bukti dapat ditemukan pada kebiasaan orang Korea dalam memanen buah gam. Kalau mereka mempunyai pohon gam yang sedang berbuah, maka mereka menerapkan etika, tidak akan memanen keseluruhan buah tersebut, tapi tetap membiarkan sebagian buah tersebut dipohon untuk disisakan sebagai pakan bagi burung pemakan buah, yang salah satunya jenis kachi tersebut. Sehingga pemandangan musim gugur yang terjadi di perkebunan gam, hanyalah guguran daun saja namun tetap menyisakan buah pada ranting-ranting pohonya.

Kearifan lokal serupa kerap kita jumpai dalam kehidupan di masyarakat tradisional di tanah air kita, seperti kita temukan di salah satu daerah di Jawa Barat. Etika lingkungan yang diterpakan oleh masyarakat tradisional tersebut dalam memetik buah dari suatu pohon atau memanen di hutan adalah hanya memetik buah-buah yang mampu dijangkau oleh galah dengan panjang tertentu saja. Buah yang berada lebih tinggi dari jangkauan panjang galah tersebut tidak boleh dipetik. Karena buah ini diperuntuknan sebagai jatah pakan bagi satwa lain, seperti burung, kalong, kera atau satwa pemakan buah lainnya.

Semoga saja bentuk kearifan lokal ini tetap terjaga di negeri kita, sehingga salah satu kasus raibnya Daerah Tujuan Wisata”-nya kalong (Pteropus vampirus) dari Kebun Raya Bogor yang mencari pakan di daerah penghasil buah Sukaraja, Gunung Geulis, Sentul, Babakan Madang, Ciawi dan sekitarnya tidak selalu berulang. Mereka bukan sekedar memanen habis buah, tetapi memanen habis pohon-pohon tersebut sampai batang-batangpun tak bersisa dan mengokupasi foraging area bagi satu-satunya mamalia bersayap ini serta menyebut daerah tersebut dengan Bogor Lake Side, Gunung Geulis Country Club, Sentul Highland, dan lain-lain sebutan yang indah-indah, namun jauh dari mengindahkan kearifan lokal.

Lembah Gunung Kwanak, 11 Novermber 2004
Copyright(c)qodarian pramukanto

Bong-soo-dae: Cerebong Penyandi Asap dan Api Komunikasi

Bong-soo-dae (bong=api, soo=asap), cerobong asap dan api merupakan alat komunikasi yang digunakan pada zaman Dinasti Chosun dimasa raja Gojong pada usia ke 31st (1894). Penggunaan alat komunikasi dengan cerobong yang terletak di bukit Namsan ini dimulai pada Dinasti Joo di Cina yang kemudian dikembangkan pada Dinasti Han dan Dang. Teknik komunikasi yang tergolong tua ini mengandalkan api dan asap dalam penyampaian pesannya. Api digunakan dalam komunikasi malam hari, sedangkan asap untuk komunikasi di siang hari. Ada lima garis utama dalam komunikasi dengan bong-soo yang disebut jik-bong. Garis-garis jik-bong ini membentang ke empat penjuru, yaitu: arah timur laut (Kyung-heung), arah tenggara (To-rae), barat laut (Kanggue & Euiju) dan barat daya (Soon-cheon). Boong-soo-dae di gunung Namsan adalah titik teakhir yang menjadi titik kelima dari jaringan garis komunikasi tersebut. Seoul membangun kembali satu titik (cerongbong yang ke-empat) pada September 1993. Lokasi bong-soo-dae ini dapat kita lihat disebelah utara jalan menuju tempat parkir dari bangunan Palgakjeong (Pavilion Segi Delapan).

MENGGAMBAR PETA BIOREGIONAL KOTA BOGOR

Qodarian Pramukanto*

Bogor, seperti juga kota-kota lainnya, saat ini sedang bergiat memacu pembangunan kotanya. Aktivitas pembangunan kota ini pada hakekatnya bisa kita ikuti melalui representasi ragam bentuk dan pola garis yang dapat tergambar di peta. Berbagai bentuk pembangunan, baik itu suatu panambahan, pengurangan atau perubahan yang terjadi pada elemen dan ruang-ruang kota apabila dipetakan akan menyajikan gambaran yang kompleksitas yang ada.

Peta kota, sebagaimana peta lainnya, mempunyai arti penting lebih dari sekedar sebagai informasi keruangan (spatial), seperti petunjuk sebaran ruang-ruang kota, orientasi lokasi suatu tempat, posisi relatif suatu tempat terhadap tempat lain, dan jarak dari satu tempat ketempat lain. Namun peta juga menyajikan gambaran atas tatanan lanskap dari suatu kota, tatanan aktivitas yang menyertainya, serta mengandung berbagai makna penting atas suatu tempat (place meaning) bagi masyarakat kota yang bersangkutan. Peta memberi gambaran bagaimana manusia membagi-bagi lahan untuk berbagai peruntukan, menunjukan dimana batas awal dan akhir dari suatu tanah milik, batas dari suatu komunitas masyarakat kota, dimana jalan terdekat untuk mencapai suatu tempat tujuan tertentu, sampai pada menentukan dimana anak-anak kita dapat bersekolah. Selain itu melalui peta terungkap nuansa yang mencerminkan berbagai qualitas dalam bentuk harapan, keinginan, kehendak, kenyamanan, keamanan sampai kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan dan kekecewaan masyarakat kota.

Ungkapan-ungkapan tersebut tersajikan berupa mosaik dan garis peta sebagai simbol berbagai bentuk struktur bangunan, rumah, gedung, jalan, jembatan penyebrangan, terowongan, tempat parkir, taman yang kita bangun. Namun tidak selalu garis yang tergambar di peta terinterpretasikan sebagai sesuatu yang diinginkan, harmonis, aman atau bermanfaat bagi kehidupan dan lingkungan sekitar kita, karena kerap hal sebaliknya yang terjadi. Tidak jarang ragam nuansa garis “merah” lebih mendominasi dari yang “hijau”.

Dalam setiap tarikan garis-garis peta tersebut ada banyak pihak terkait dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Kehendak sebagian dapat saja tidak sejalan dengan hal yang seharusnya. Suatu keinginan bisa menjadi ancamam bagi pihak lain. Dan tidak jarang suatu bentuk pembangunan dapat mengganggu privacy dan juga hak milik pribadi. Bahkan kerap juga kita terpaksa atau dipaksa untuk menarik garis dengan menggunakan pena “merah” yang sengaja didatangkan dari luar wilayah kita. Sehingga gambar peta yang tersaji terlihat tidak saja tampak nuasa yang tidak diinginkan, out of place, tetapi juga terjadi tumpang tindih satu garis dengan garis lain, serta terdapat saling silang garis batas yang sarat dengan muatan konflik kepentingan.

Munculnya beragam batas-batas domain yang membingungkan ini sering tidak dapat dilihat secara visual (invisible) di lapangan, terkadang tumpang tindih dan jarang saling berkaitan serta tidak mengacu pada batas-batas alam atau tatanan geografi kota yang jelas, serta jauh dari pencerminan jati diri dari suatu tempat. Sehingga tidak jarang ditemukan rangkaian mosaik jejaring peta kota yang komplek dan abstrak. Dimana tanpa kita sadari seolah-olah batas-batas jurisdiksi ini sengaja dibuat untuk memisahkan kita dari belahan bumi yang kita pijak. Hal ini jelas memperlihatkan adanya kesenjangan titik pandang, dimana semakin menjauhnya kerangka acuan (frame of reference) yang memandu kita untuk selalu berfikir bahwa kita sendiri (baca: masyarakat kota) adalah bagian dari sistem kehidupan dimana kita tinggal. Padahal paradigma atas adanya keterkaitan antara tempat dimana kita hidup serta nilai-nilai sosial-budaya yang ada tidak perlu disangsikan lagi. Nampaknya kita perlu mendapatkan cara menata garis-garis batas mosaik peta kota kita, baik secara sosio-budaya, biologis dan geografis ke dalam satuan-satuan wilayah yang dapat dikelola (manageable).

Upaya untuk menata fenomena konflik keruangan (spatial) yang muncul di atas dapat dijelaskan berdasarkan konsep bioregion. Menurut Thayer (2003), bioregion berasal dari kata bio (=hidup) dan region (=territory), yaitu tempat hidup (life place), suatu lingkungan khas dimana batas-batasnya lebih ditentukan oleh tatanan alam (dari pada faktor politis) serta mampu mendukung keunikan aktivitas komunitas makhluk hidup di dalamnya. Satuan (unit) bioregion ini merupakan ukuran berskala manusia yang tepat untuk mengorganisir tatanan alam dan komunitas manusia secara simultan dan lestari. Bentuk dan cakupan wilayah aktivitas komunitas dalam bioregion tersebut antar lain dapat meliputi ruang tempat tinggal, ruang tempat mencari nafkah, ruang untuk berekreasi dan sebagainya. Sehingga batas wilayah ini tidak lagi definisikan berdasarkan hal-hal yang berkenaan dengan daerah kepemilikan, pelayanan dan administrasi, seperti batas tanah milik, batas RT/RW, batas kelurahan, batas kecamatan, batas kota, batas kode pos, batas pelayanan kepemerintahan, dan sebagainya.

Oleh karean itu setiap konflik keruangan yang mengindikasi terabaikannya batas-batas satuan (unit) bioregion dari komunitas masyarakat perlu mendapat perhatian serius. Karena setiap unit bioregion bersifat unik dan khas, pembangunan di suatu bagian kota tidak dapat disamaratakan untuk seluruh kawasan, akan tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik bioregion yang bersangkutan. Sebagai contoh kekhasan suatu tempat dalam wujud “jatidiri tempat” (sense of place). Untuk kota Bogor hal ini hadir dalam berbagai bentuk. Ada kawasan yang kuat dengan nuansa “kolonial” bangunan yang bergaya Indische Architecture seperti di sekitar Jalan Pangrango, Jalan Sudirman, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Semboja. Di bagian lain terdapat keunikan rancangan ruang luar pada taman lingkungan yang simetris di kawasan permukiman seperti taman Kencana atau taman ala Inggris di kompleks Istana-Kebun Raya. Disamping aset-aset sejarah kota ini, perlu diperhitungkan juga kehadiran tatanan etnis lainnya seperti kawasan pecinan dengan deretan ruko di penggalan jalan Suryakencana, kawasan kauman di sekitar alun-laun Empang, serta berbagai tatanan fungsi kota lainnya, seperti pusat perkantoran, lembaga penelitian dan pusat-pusat pelayanan.

Nampaknya orientasi pembangunan berdasarkan konsep bioregional di perkotaan relevan untuk diterapkan karena bertumpu pada permasalahan pokok dari unit bioregion yang bersangkutan. Oleh karenanya sajian garis-garis batas yang diharapkan muncul pada peta adalah berupa himpitan garis yang setangkup atau setidaknya sebangun. Hal ini berbeda dengan orientasi pembangunan lainnya yang bersifat sektoral, dimana sering muncul konflik keruangan berwujud tumpang tindih dan saling silang garis-garis batas peta. Penyebabnya adalah orientasi pembangunan sektoral yang kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya dan biasanya kurang memperhatiakan sektor lainnya.

Sejalan dengan dinamikan pembangunan, kebutuhan untuk menggambarkan garis-garis mosaik peta kota kita tidak dapat dihentikann. Sehingga ungkapan yang dikemukakan Beach (1999) patut kita simak, Life like art. You have to draw the line somewhere. Maknanya apabila kita ingin mempunyai peta dengan mosaik dan komposisi warna serta dominasi nuansa garis yang diinginkan, keterlibatan kita tidak dapat dielakan, atau minimal ada pihak-pihak yang mau menggambarkan garis-garis yang sesuai keinginan, relevan dengan kebutuhan, serta untuk kemaslahatan bersama masyarakat Bogor. Sehingga tidak muncul garis dalam nuansa wujud yang tidak dikehendaki, seperti jembatan penyeberangan yang tidak digunakan, kawasan permukiman berubah menjadi hotel, outlet-outlet, perkantoran, bank, ruang terbuka hijau (RTH) menjadi tempat parkir atau areal perkerasan lain, pedestrian jadi areal gelaran PKL, okupasi pemandangan oleh billboard iklan, arus lalu lintas macet karena jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan, terjadi traffic conjunction, termasuk juga berbagai bentuk penjarahan ruang publik, serta munculnya daerah-daerah kupat (kumuh padat) dan kumis (kumuh miskin).

Menyadari akan pentingnya keterlibahtan berbagai steakholder dalam mendelineasi peta kota kita, maka sudah saatnya dibangun mekanisme kelembagaan yang mengorganisasir potensi-potensi penggerak pembangunan kota. Masyarakat harus diberdayakan dan berperanserta dalam pembangunan kota, dimana kebijakan atau rencana yang tertuang benar-benar mencerminkan kehendak atau aspirasi masyarakat itu sendiri. Sehingga kebijakan top-down tidak lagi mewarnai tarikan garis di peta kota. Masyarakat Bogor, para pakar, perguruan tinggi, LSM, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu terlibat dengan peran masing-masing pada setiap tarikan garis dalam menyusun gambar peta masa depan kota kita.

__________________
*) Staf pengajar pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB

MELESTARIKAN POHON KOTA: MENGUBAH MUSIBAH MENJADI MANFAAT

Oleh: Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MSi

Tumbangnya pohon-pohon di kota, baik sebagai peteduh jalan maupun taman kerap berulang terjadi di setiap musim penghujan. Padahal musibah yang sering menimbulkan kerugian materi dan tidak jarang merenggut jiwa tidak perlu berulang kali terjadi dan harus segera dihindari. Cukuplah kiranya memetik pelajaran mahal dari musibah tersebut. Sekedar menyebut beberapa musibah terkini yang terjadi, mulai dari tumbangnya pohon pada koridor kereta api di ruas stasiun Kalibata - Pasar Minggu yang menghambat lalin KRL (Kompas, 2 Februari 2005), laporan sebanyak 201 pohon-pohon tua tepi jalan yang keropos, rawan dan kerap tumbang di kota Bogor (Republika, 17 Januari 2005), tumbangnya 300 pohon yang merusak 50 rumah akibat hujan lebat dan angin kencang di Klaten (Suara Merdeka, 24 Desember 2004) dan Bandung (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004), sampai musibah amukan badai Linda di awal tahun lalu yang memporakporada pohon di sejumlah ruas jalan Ibu Kota Jakarta, Bogor, Surabaya dan Semarang dan beberapa kota lain (Media Indonesia, 30 Januari, 2004).

Sejumlah kejadian berulang dan menjadi langganan beberapa kota tersebut semakin membuktikan belum adanya perhatian serius dalam mengendalikan salah satu aset kota ini. Kehadiran beberapa jenis pohon di kota-kota tersebut, baik jenis-jenis yang telah “berumur“ warisan zaman Belanda, seperti kenari (Canarium commune), asam (Tamarindus indica) dan damar (Agatis damara), maupun jenis “pionir” penghijauan yang cepat tumbuh (quick growing) di belantara hutan beton dan aspal kota di masa Orba, seperti angsana (Pterocarpus indicus) layak diperlakukan sebagai makhluk hidup yang tumbuh, berkembang dan perlu perawatan yang memadai.

Pohon-pohon tersebut dengan batang besar berdiameter melebihi satu meter dan tinggi 15-20 meter sering kali tampak tumbuh kokoh, namun bisa berubah seketika menjadi raksasa tumbang dipukul badai. Konon pohon-pohon “berumur” tersebut di masa pemerintahan kolonial dipelihara sebagaimana layaknya pohon peteduh, sehingga tinggi pohon dan diameter tajuk tetap terjaga. Sepertinya, keberlanjutan pemeliharaan ini terhenti setelah merdeka, sehingga pohon-pohon tersebut ikut tumbuh merdeka tanpa kendali dan pemeliharaan.

Apa manfaat kehadiran pohon di perkotaan ?
Tidak disangsikan lagi kehadiran berbagai jenis pohon di tepi ruas jalur jalan, pedestrian dan di taman kota menciptakan kenyamanan dan jasa lingkungan. Secara fisik, kehadirannya berperan sebagai penyejuk udara, penyerap polusi udara, penjerap debu, serta penyaji nuansa estetika melalui warna, bentuk, aroma dari tajuk, batang, daun, bunga dan buah.

Bahkan secara massal dapat berfungsi mengendalikan aliran udara dengan mereduksi kecepatan angin, “menyaring” dan mengarahkan alirannya. Disamping itu beberapa jenis berkemampuan menguapkan air dari dalam tanah. Melalui mekanisme penguapan air lewat daun dan bagian tanaman, pohon dapat berperan “memompa” air pada daerah yang basah.

Mengapa menjadi Ancaman ?
Namun dibalik manfaat yang disebutkan di atas terdapat ancaman yang perlu difahami. Pemahaman ini sangat penting agar kita tidak hanya terbuai oleh mitos pohon dengan sederet jasa lingkungannya namum kita mengabaikan upaya untuk meraih manfaat tersebut.

Patut disadari kawasan perkotaan bukanlah tempat tinggal asli bagi beberapa jenis pohon. Pada habitat aslinya tumbuhan hidup berdampingan secara berkelompok satu dengan lainnya, baik sejenis maupun lain jenis yang saling memperkuat “pertahanan” atas deraan dari lingkungan. Pohon-pohon tumbuh dan berkembang secara proporsional antara sistem perakaran dan sistem tajuk.

Pohon-pohon tersebut menjalani siklus hidupnya mulai dari fase benih, bibit, dewasa sampai tua dan mati. Rentang siklus hidup ini berbeda-beda ada yang berusia pendek dan ada yang panjang. Secara alami tumbuhan yang mencapai fase penuaan ditandai dengan gugurnya percabangan, dahan dan ranting yang mati, serta tumbangnya batang utama pohon tersebut.

Berbeda dengan habitat aslinya di alam, berbagai bentuk gangguan pohon di kota hampir tidak pernah absen pada setiap fase tumbuhnya. Gangguan tersebut dapat memperpendek siklus hidupnya. Walaupun demikian pada berapa jenis tampak tegar dan ditemukan tumbuh di kota-kota besar dalam usia yang cukup tua.

Di Seoul, Korea misalnya, beberapa jenis pohon seperti ginkgo (Ginkgo biloba) yang berusia di atas 600 tahun masih ditemukan, dan tidak sedikit yang berusia di atas 300 tahun. Pohon tua dengan status highly protected trees ini, selain dicatat dalam database pohon kota, juga diasuransikan dan terdaftar sebagai peninggalan sejarah kota. Juga di Singapura, banyak ditemukan pohon angsana yang berusia sekitar 60 tahun dengan keliling batang mencapai hampir delapan meter. Berdasarkan pendataan di Jakarta dilaporkan (Kompas, 31 Juli 2001) ada sekitar 20 pohon tua dengan ukuran lingkar pohon dari yang terbesar, secara berturutan, adalah beringin di halaman Kantor BRI, Jakarta Timur (17,50 m), karet kebo di Jalur Hijau Jalan Cempaka Putih Tengah (12 m) dan beringin di Istana Negara (11 m).


Ginkgo (Eun-haeng), salah satu pohon yang berusia 600 tahun di Kampus Universitas Sung Kyun Kwan, Seoul

Dalam kondisi tertentu, pohon yang mampu bertahan hidup dalam deraan lingkungan kota tersebut sering kali mengalami pertumbuhan yang tidak wajar. Secara struktural, ketidaknormalan petumbuhan pohon ini terlihat pada arsitektur tajuk yang menyimpang, percabangan jatuh menjuntai, posisi pohon tidak tegak tetapi miring membentuk sudut akibat gangguan pada perakaran, dahan, cabang dan rating mati dan mudah patah, akar lapuk oleh infeksi jamur pada bagian luka atau terserang hama serta akar papan yang muncul ke permukaan merusak perkerasan.

Pada lokasi tertentu ketidaknormalan struktural menjadi penting. Apabila ketidaknormalan terjadi di wilayah dimana terdapat objek bernyawa, barang berharga dan secara potensial mengancam atau dapat segera menjadi sasaran kerusakan bila tertimpa dahan atau batang pohon, maka status pohon tersebut dikategorikan sebagai pohon bahaya (tree-hazard).

Pohon-pohon yang mengalami kelainan struktural ini perlu mendapat perhatian serius karena berpotensi sebagai bom waktu timbulnya musibah. Tidak mustahil munculnya musibah tersebut dipercepat oleh gangguan stabilitas pohon, misalnya berupa angin kencang atau badai. Sehingga pemeliharaan aset kota yang berjasa secara ekologis ini sangat diperlukan, apabila tidak ingin menciptakan bumerang.

Bahaya Pohon
Tingkat bahaya pohon ditentukan oleh dua komponen, yaitu bentuk ketidaknormalan struktural pohon, dan objek yang menjadi sasaran. Berdasarkan dua komponen ini, penilaian bentuk ancaman diklasifikasikan dari yang ringan berupa tertimpa ranting sampai yang berat tertimpa batang pohon, dengan menilai kerugian dari objek sasaran baik itu manusia, kendaraan atau rumah.

Khusus untuk komponen pertama, tingkatan bahaya pohon ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu bagian struktur pohon yang menyimpang, jenis, ukuran dan usia, tempat tumbuh, cuaca dan pemeliharaan. Pertama, kelainan struktural, penyimpangan struktural yang terjadi pada perakaran seperti akar membusuk, terpotong, atau busuk pada batang akan sangat berbahaya dibandingkan ranting yang mati. Bila ditemukan kelainan ini, suatu saat, pohon tersebut dapat tumbang seluruhnya atau sebagian.

Kedua, jenis pohon, pada jenis pohon berdaun lebar, seperti angsana, glodogan (Polyalthea longifolia), kenari dan kere payung (Filicium decipiens), kelemahan struktural umumnya terjadi pada ketidakseimbangan antara beban dahan dan ukuran tajuk dengan kemampuan akar untuk menopang. Kelemahan lain terdapat pada mudahnya terjadi busuk bagian dalam batang yang dapat menjalar ke dahan dan ranting tanpa terlihat penampakannya dari luar. Sehingga bobot dan tekanan mekanis tajuk dan cabang semakin membebani pohon.

Pada tumbuhan berdaun jarum, seperti jenis cemara dan pinus, kelemahan struktural biasanya pada pangkal akar dan daerah perakaran.

Ketiga, ukuran dan usia, dalam situasi tertentu semakin besar dan tua usia pohon semakin beresiko dibandingkan yang lebih muda. Walaupun beberapa pohon ada yang tumbuh menua namun tetap tegar bertahan hidup karena mempunyai toleransi dan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai deraan lingkungan. Ketegarannya tercermin pada akar yang mengunjam jauh ke dalam tanah, batang kokoh, serta tajuk lebat dan rimbun. Sehingga gambaran kesuksesan dalam hidup yang sarat dengan perjuangan menghadapi deraan lingkungan hadir dalam sosok tegarnya.

Pada jenis pohon cepat tumbuh seperti angsana dan akasia, biasanya mempunyai batang kayu yang lemah. Terkadang dalam lingkungan subur, dahan dan percabangan yang lemah tumbuh lebat, sehingga mudah patah atau roboh.

Keempat, tempat tumbuh, toleransi pohon terhadap deraan lingkungan sangat menentukan keberlangsungan hidupnya. Gangguan sistem perakaran seperti terpangkas oleh galian, pelebaran jalan dan penyempitan daerah perakaran serta pemadatan tanah akibat tingginya intensitas aktivitas di atas permukaan tanah melemahkan fungsi penunjang dari akar.

Lingkungan fisik kota menciptakan kondisi ruang tumbuh yang tidak menguntungkan. Karena keterbatasan ruang, penanaman dilakukan dalam pola baris memanjang, ruang perakaran sempit atau dalam wadah pot. Deraan berbagai polutan udara seperti SOx dan NOx, temperatur udara tinggi semakin menambah panjang deretan sumber stress pada pohon.

Cekaman lingkungan yang berat tanpa konpensasi pemulihan stamina menjerumuskan pohon pada kondisi pertumbuhan suboptimal. Celakanya dalam kondisi yang kian menurun ini semakin mudah terjadi infeksi sekunder oleh hama/penyakit, seperti ulat, jamur, bakteri, virus maupun nematoda yang semakin memperburuk kondisi pohon.

Kelima, faktor cuaca, faktor ini memegang peranan penting sebagai pemicu terjadinya bahaya pohon. Angin kencang disertai hujan mempunyai kekuatan merusak yang besar. Untuk skala kota, faktor iklim mikro sangat penting untuk dipertimbangkan. Kegagalan penanaman pohon terjadi di koridor-koridor jalan yang berada di antara deretan gedung bertingkat, dimana mempunyai pola sirkulasi udara akumulatif yang meningkatkan kekuatan angin. Pada daerah-daerah tertentu tumbangnya pohon terjadi karena gagal menerapkan pola penananam masive menghadang dan menghalangi aliran angin. Padahal dengan desain massal dan komposisi beragam jenis serta sistem tajuk yang “berongga”, pohon menjadi lebih tegar dalam menghadapi pukulan angin kencang karena masih dapat meloloskan, menyaring dan mengarahkan aliran udara.

Keenam, faktor pemeliharaan, sejak dari pembibitan sampai penanaman, pemeliharaan mempunyai andil penting. Penanaman dengan teknik pemindahan tanaman besar dari tempat pembibitan dengan menggali kemudian dibungkus pada bagian perakaran, yang disertai pemangkasan tajuk sampai dipindahkan ke lubang tanam mempunyai pengaruh penting. Pada saat penggalian bola akar terjadi pemutusan sistem perakaran yang pengaruhnya tidak dapat segera terlihat, namun baru diketahui pada saat pohon tersebut tumbang.

Pengendalian Bahaya Pohon
Bahaya pohon yang telah di jelaskan di atas telah banyak terbukti kebenarannya di lapangan, tinggal bagaimana tindakan pengendaliannya. Pengendalian bahaya pohon ini secara teknis sangat mungkin dilakukan dengan upaya pencegahan atau mengurangi tingkat bahaya yang ditimbulkan dengan menyiasati beberapa upaya berikut ini.

Pertama, pemilihan bahan tanaman, tumbangnya pohon di perkotaan kerap terjadi akibat penggunaan bibit yang keliru. Bibit yang berasal dari perbanyakan vegetatif, seperti setek dan cangkok, mengandung beberapa kelemahan disamping kelebihan dalam keseragaman dan kemudahan penyediaan bibit dalam jumlah massal.

Pertumbuhan pohon hasil perbanyakan vegetatif mempunyai kelemahan pada keragaan struktur akar. Sebagai contoh pada angsana yang dibiakan secara vegetatif, mempunyai struktur akar serabut yang dangkal dan lemah, sehingga sejalan dengan beban tumbuh tajuk, batang meninggi, serta ketiadaan penyangga akar tunjang berpotensi untuk mudah tumbang bila dihempas angin kencang.

Struktur akar yang demikian juga membatasi kemampuan menjangkau sumber air di musim kemarau, khususnya di daerah dengan muka air tanah yang dalam. Sehingga tumbuhan tersebut semakin meranggas hidupnya. Gejala yang demikian tidak dijumpai pada struktur akar tunjang pada pohon hasil pembiakan generatif melalui benih (seed).

Kedua, perbaikan pada daerah perakaran, pertumbuhan pohon bergantung pada peran akar sebagai penyerap air dan unsur hara, pasak, bahkan sebagai penyimpan makanan. Gangguan perakaran seperti terpangkas, penyempitan ruang akar serta pemadatan tanah melemahkan fungsi penunjang akar, sehingga sangat labil dalam menghadapi angin kencang.

Perbaikan yang penting dilakukan, antara lain pemupukan, perbaikan aerasi tanah untuk pasokan udara, men-drainase-kan kelebihan air, serta pemangkasan berkala pada tajuk untuk mengimbangi pertumbuhan.

Ketiga, mempertahankan keanekaragaman jenis, keragaman jenis pohon di perkotaan amat penting. Kehadiran aneka jenis pohon tidak saja memperkaya nilai visual tumbuhan, tetapi juga penting dalam menghadapi serangan hama/penyakit. Penanaman pohon dengan keragaman jenis yang rendah sangat rapuh dalam menghadapi gangguan hama/penyakit, karena tidak memberikan alternatif pilihan atas target serangan hama/penyakit. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah serangan hama pada angsana, mulai dari penggorok “daging daun” yang membuat bercak “transparan” helai daun sampai serangan ulat bulu penyantap habis daun di Jakarta, Semarang dan beberapa kota (Kompas, 17 Februari 2003) akibat hilangnya sang musuh alami.

Penggunaan material pohon secara massal dari klon pembiakan vegetatif menciptakan keseragaman tinggi, namun mempunyai variasi genetik rendah. Meskipun seragam dalam pertumbuhan, pembungaan, buah atau juga resistensi terhadap hama/penyakit sekalipun, namun dalam jangka panjang, tidak selamanya menjamin terbebas dari serangan bila suatu saat muncul strain hama/penyakit yang baru. Oleh karena itu keseragaman ini perlu dikompensasi dengan meningkatkan keragaman variasi genetisnya, baik dari hasil pembiakan generatif sejenis maupun penganekaragaman dengan jenis lain. Pada akhirnya adanya keragaman genetik jenis pohon ini turut berkontribusi dalam memperkuat stabilitas pohon terhadap deraan lingkungan.

Keempat, pengelolaan bahaya pohon, di beberapa negara maju terdapat instansi khusus yang menangani pengelolaan bahaya pohon. Pengelolaan bahaya pohon dilakukan secara terintegrasi dengan program pengelolaan taman dan ruang terbuka hijau kota. Aktivitas pengelolaan dilakukan dengan menerapkan sistem informasi geografis (SIG) yang menyediakan pangkalan data spasial pohon (koordinat posisi geografi, sebaran pohon) dan atribut karakteristik fisik maupun ekologis (seperti jenis, asal bibit, usia, tinggi, diameter batang dan tajuk).

Dengan aplikasi SIG selain diketahui kelas pohon, nilai asuransi, jadwal pemeliharaan, peta sebaran, juga status tingkat bahaya. Dugaan wilayah atau titik-titik yang rawan bahaya pohon bila terjadi badai dapat disimulasikan. Berdasarkan tingkat bahaya tersebut diusulkan alternatif tindakan pencegahan melalui beberapa cara, mulai dari dipangkas sebagian, dipertahankan dengan beberapa perbaikan, seperti penguatan struktur pohon dengan penyangga, kawat (cabling) dan menutup rongga batang dengan semen (cavity treatment) sampai ditebang dan penanaman pohon yang baru.

Semoga informasi ini berguna dalam upaya mengubah status musibah menjadi manfaat dalam melestarikan pohon-pohon kota yang akarnya menghujam dalam ke tanah serta batang yang tegak dan tegar dalam kerimbunan tajuk yang menebar kenyaman dan keamanan bagi lingkungan kita. Jika kita memelihara pohon dan lingkungannya, semoga pohon dan lingkungannya akan memelihara kita juga.
__________
* Staf pengajar pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Seoul, Korea

STRATEGI DAN REKAYASA TATA RUANG PESISIR PASCA TSUNAMI

Oleh: Qodarian Pramukanto*

Berkenaan dengan musibah tsunami 26 Desember 2004, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sedang menyusun petunjuk teknis penyusunan rencana detail tata ruang kota pesisir di wilayah rawan bencana alam (Suara Pembaruan, 11 Januari 2005). Menyambut rencana tersebut berikut ini diuraikan beberapa strategi tata ruang dan rekayasa lingkungan yang dapat dijadikan panduan.

Indonesia sebagai negara kepulauan bergaris pantai kira-kira 81 000 km memiliki wilayah pesisir yang beragam. Wilayah tersebut tidak saja berupa lingkungan alami, namun banyak juga yang telah rusak atau berubah menjadi lingkungan binaan. Okupasi lingkungan binaan tersebut sebagai kota, desa serta penggunaan lahan lain, seperti industri, transportasi dan utilitas merupakan lingkungan berharga perlu dilindungi dari ancaman bencana alam.

Menurut Purbawinata (Kompas, 08 Januari 2005), di Indonesia terdapat 28 wilayah pesisir rawan tsunami, seperti wilayah pantai-pantai Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung Selatan, Banten barat dan selatan, Jawa Tengah bagian selatan, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Fak-Fak, dan Balikpapan.

Kawasan-kawasan rawan bencana ini perlu dipersiapkan untuk menghadapi ancaman laten tsunami. Dari musibah tsunami yang terjadi di ujung utara Sumatra dapat dipetik pelajaran penting bagi wilayah lainnya dalam upaya mengurangi resiko bahaya (hazard mitigation) dan meningkatkan tingkat keselamatan (survival rate) melalui tata ruang dan rekayasa lingkungan.

Penyusunan Rencana Tata Ruang Strategis
Penyusunan rencana tata ruang dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, pemetaan wilayah bahaya limpasan tsunami (tsunami hazard/ inundation mapping) pada wilayah yang bersangkutan yang dilakukan oleh para ahli bencana alam (natural hazard) gempa/tsunami. Kedua, berdasarkan peta tersebut dilakukan evaluasi dan penyusunan rencana strategis tata ruang. Rencana strategis ini mencakup relokasi dan pembangunan kembali kawasan yang terlanda bencana, termasuk infrastruktur yang diperlukan oleh wilayah yang bersangkutan, seperti jalur-jalur evakuasi, rambu penunjuk lokasi perlindungan, stasiun pemantau, dan instalasi peringatan dini. Ketiga, penyusunan prosedur dan skenario evakuasi bila terjadi bencana. Dalam tulisan ini paparan ditekankan khusus untuk tahap kedua.

Tsunami merupakan fenomena alam yang dapat berubah status menjadi bencana bila terjadi pada wilayah dengan karakteristik tertentu. Wilayah pesisir yang landai, tanpa pelindung dan penyangga alam dimana terdapat suatu komunitas manusia, fasilitas umum, utititas dan penggunaan lahan lainnya merupakan daerah ancaman bahaya tsunami.

Pendekatan tata ruang dalam pengendalian resiko bencana merupakan salah satu upaya strategis dalam mengurangi resiko bencana. Dimana kewaspadaan terhadap bahaya alam dan mitigasi resiko bahaya ini selanjutnya perlu menjadi item penting dan terintegrasi dalam proses-proses penyusunan tata ruang yang biasa dilakukan.

Mengacu pada strategi implementasi rencana mitigasi tsunami yang dikemukakan Dengler (1998), penataan ruang dapat dimulai dengan prioritas pada fasilitas publik, seperti rumah sakit, pembangkit listrik, komunikasi dan sekolah yang menjadi kepentingan bersama dan relatif lebih mudah dikendalikan. Apabila fasilitas publik telah ditempatkan pada lokasi aman di daerah yang relatif tinggi, maka keberadaannya akan memegang peran penting tidak saja mensuport kepentingan umum pada waktu terjadi bencana, tetapi juga dalam situasi normal.

Strategi tata ruang ini juga menempatkan fasilitas publik tidak terpusat disuatu tempat, melainkan dipencar (de-concentration). Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko “kelumpuhan total” bila terjadi bencana.

Prinsip yang sama perlu diterapkan juga dalam mengatur penyebaran populasi penduduk di suatu wilayah. Sebab semakin padat populasi penduduk di suatu tempat semakin tinggi resiko untuk ancaman bahayanya dibandingkan dengan kepadatan yang menyebar.
Secara praktis strategi penyebaran kepadatan penduduk dikendalikan dengan mengatur kepadatan bangunan berdasarkan tingkat keamanan terhadap bahaya masing-masing di daerah yang bersangkutan. Secara tidak langsung pengendalian kepadatan penduduk dilakukan dengan praktek meminimalkan ketersediaan lahan untuk mendirikan bangunan permukiman. Misalnya, dengan memperlebar jalur jalan, memperbanyak taman-taman kota, ruang publik atau fasilitas penampungan yang aman bila terjadi bencana.

Pada skala regional, mendistribusikan pusat-pusat kepadatan penduduk dan kawasan industri dengan pola menyebar lebih mengurangi resiko. Penerapan konsep kota satelit yang menyebar di sekitar kota induk lebih meredam resiko bencana.

Penempatan infrastruktur, utilitas dan fasilitas layanan publik yang aman dari ancaman bahaya diminimalisir dengan menghindari pola pembangunan memanjang (linear). Pembangunan dengan pola jejaring dan saling berhubungan yang dapat diakses dari berbagai arah, serta menghindari terjadinya isolasi akan mengurangi kerawanan terhadap bencana. Pola sirkulasi melingkar lebih menjamin kelancaran apabila terjadi gangguan aksesibilitas dari pada pola radial.

Secara struktural, konstruksi bangunan akan menentukan ketahanan terhadap limpasan ombak tsunami. Struktur bangunan yang kokoh menjadi syarat penting terutama pada fasilitas publik, sedangkan pada fasilitas yang kurang funsional cukup menggunakan struktur bangunan biasa.

Struktur bangunan dari kayu walaupun elastis dan tahan diguncang gempa bumi, namun akan runtuh bila diterjangan oleh ombak. Sedangkan struktur beton relatif lebih memberi harapan bertahan terhadap limpasan ombak. Oleh karena itu pertimbangan ketahanan terhadap limpasan air dan gempa bumi penting untuk dimasukan dalam Standard dan Peraturan Konstruksi Bangunan dalam pembangunan kawasan pesisir ini.

Rekayasa Lingkungan
Dalam strategi tata ruang pesisir, konsep sistem pertahanan pantai (defensive structure) berlapis perlu diterapkan. Mulai dari struktur pertahanan di garis terdepan (front liner) sampai struktur dibagian belakang penting untuk dipertimbangkan dalam penyusunan pedoman rekayasa lingkungan dan konstruksi kawasan pesisir.

Rekayasa lingkungan dalam sistem pertahanan pantai terhadap pukulan ombak dapat berupa struktur buatan maupun struktur alam. Di lingkungan pesisir binaan, dapat dibangun struktur buatan berupa pemecah ombak (offshore breakwater). Di Jepang dinding pemecah ombak di sepanjang wilayah pantai ini menurut Smith (1992) dibangun pada bagian muka dari perairan teluk atau pelabuhan ini. Secara berlapis barisan pertahanan pantai ini diperkuat dengan struktur dinding pelindung pada garis pantai yang dikombinasi dengan jalur-jalur evakuasi di lapis belakang.
Namun demikian penerapan struktur pelindung pantai buatan yang dibangun di perairan pantai atau pada garis pantai perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak minimbulkan efek sampingan seperti terganggunya pola arus.

Model lainnya adalah dengan menanami sepanjang garis pantai kearah belakang setebal 100 meter sebagai hutan pengendali tsunami (tsunamic control forest). Jalur hijau pelindung ini dikombinasi dengan struktur pelindung yang dibangun dilapis belakangnya, serta dilengkapi dengan jalur evakuasi.

Mitigasi tsunami di Hawaii dilakukan dengan menyusun tata ruang berdasarkan zonasi tingkat bahaya tsunami. Peta kerawan tsunami untuk lingkar pesisir pulau Hawaii diklasifikasikan berdasarkan besaran tinggi ombak mulai dari zona 1 (tinggi ombak 1.5 – 4.6 m), 2 (4.9 – 9 m), sampai zona 5 (di atas 15 meter). Sebagai contoh di pesisir kota Hilo yang berada pada zona 4 (9 – 15 m) telah ditransfer peruntukannya dari kawasan komersial menjadi areal penyangga alami berupa waterfront park (Coch, 1995).

Pada lingkungan pesisir alami, sistem pelindung pantai mengandalkan pagar alam berupa jajaran jalur hijau hutan pantai berlapis. Bahkan dalam beberapa kasus jalur hijau ini diperkokoh oleh terumbu karang sebagai garis pertahanan di perairan terdepan yang siap menyongsong ombak besar tsunami. Pemberdayaan sistem pelindung pantai secara alami dengan mengandalkan jalur hijau berlapis relatif aman dari resiko efek sampingan.

Vegetasi berperanan dalam meredam kecepatan dan kekuatan ombak. Dengan komposisi berlapis dan multi strata, vegetasi dapat meredam ombak yang datang pada beberapa ketinggian. Disamping itu vegetasi berperan juga sebagai filter yang menyaring obyek limpasan sebelum terseret balik ke laut, dengan menahan pada massa vegetasi tersebut, sehingga akan mudah dalam evakuasi.

Efektivitas meredam ombak jalur hijau sempadan pantai ini tergantung pada komposisi vegetasi dan ketebalan jalur hijau. Jenis vegetasi sempadan pantai yang diberdayakan sangat tergantung pada karakteristik ekologi setempat. Ada dua tipe formasi vegetasi pesisir, yaitu formasi mangrove dan baringtonia.

Kawasan pesisir formasi mangrove yang berada pada endapan sungai (aluvium) membentuk jalur hijau hutan bakau berlapis berdasarkan kadar salinitas substrat lumpurnya (Walter, 1985). Pemberdayaan kawasan ini mulai dari bibir pantai dengan genangan pasang-surutnya (zona Sonneratia), zona Rhizophora, zona Bruguiera, zona Ceriops sampai wilayah daratan belakang yang sudah berkurang salinitasnya membentuk zonasi sistem pertahanan pantai berlapis.

Dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, Pratikto et al (2002) melaporkan hasil penelitian efektivitas penggunaan vegetasi mangrove sebagai pagar alam menghadapi tsunami di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur. Ekosistem mangrove mampu meredam tinggi dan kekuatan energi gelombang yang diakibatkan tsunami, dengan reduksi tinggi gelombang sebesar 0.7, dan perubahan energi gelombang sekitar 19600 joule.

Di beberapa pesisir yang menjadi muara sungai, dapat dibentuk jalur hijau sempadan pantai dan sempadan sungai sebagai satu kesatuan yang tidak terputus. Sebab jaringan sungai yang bermuara ke pantai dapat menjadi koridor penyusupan ombak jauh ke daerah belakang pantai. Dengan dorongan ombak yang kuat jalur sungai yang menyempit akan semakin meningkat tekanannya, sehingga sempadan sungai dapat menjadi pelindung terhadap luapan ombak yang menyusup ke daerah belakang pantai. Seperti yang terjadi pada “penyusupan” air laut yang didorong ombak tsunami lewat corong air” sungai Krueng Aceh yang luapannya melumatkan kawasan kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.

Pada kawasan pesisir berpasir, jalur hijau pantai dibentuk oleh formasi baringtonia dengan beragam komposisi vegetasi. Mulai dari vegetasi menjalar di permukaan di posisi terdepan sampai strata semak dan pohon tinggi dilapis belakangnya (Walter, 1985). Pemberdayaan formasi ini dengan tipikal vegetasi hutan yang antara lain meliputi keben (Baringtonia asiatica), nyamplung (Callophyllum innophylum), waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa) dan kelapa (Cocos nucifera), serta vegetasi pionir cemara (Casuarina sp) merupakan barigade tangguh yang siap menyongsong gempuran ombak tsunami.

Semoga uraian di atas bermanfaat sebagai panduan dalam strategi penyusunan tata ruang dan rekayasa lingkungan melalui pemberdayaan infrastruktur alam tidak saja dalam merancang tata ruang selaras alam, tetapi juga meminimalisir tingkat kerusakan dan meningkatkan tingkat keselamatan terhadap ancaman bencana tsunami.

Tepian Greenbelt Gunung Kwanak, Kampus SNU, Seoul, 13 Januari 2005
____________
*)Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Department of Landscape Architecture, Graduate School, Seoul National University, Seoul, Korea.

“MENGENCANGKAN” SABUK HIJAU JAKARTA: BELAJAR DARI SEOUL

Sabuk hijau atau greenbelt merupakan salah satu konsep dalam perencanaan wilayah/kota yang memisahkan kota-kota dengan jalur hijau sebagai latar belakang kota tersebut. Kehadiran greenbelt seharusnya dipandang tidak saja dari fungsi fisik sebagai barier pemisah kota semata, tetapi juga fungsi ekologi dan juga fungsi sosial sekaligus, seperti mengakomodir sarana rekreasi alam, produksi pertanian, fungsi lindung dan fungsi hutan.

Di banyak kota besar dunia, kegagalan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau ini diakibatkan oleh peningkatan laju pembangunan yang menyertai pertumbuhan penduduk kota. Ledakan penduduk ditengarai tidak saja sebagai biang keladi munculnya permasalah di perkotaan pada tiga sektor, yaitu perumahan, pelayanan dan transportasi tetapi juga akan bermuara pada terlampauinya batas kota. Sejalan dengan perambahan wilayah luar kota ini secara bersamaan “mengaburkan” fungsi sabuk hijau suatu kota.
Kesulitan dalam mempertahankan fungsi sabuk hijau kota ini dialami oleh kota-kota besar dunia, termasuk ibu kota Jakarta. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Jabodetabek semakin mempersulit untuk “mengencangkan” stabilitas fungsi sabuk hijau. Sebagaimana pernyataan Direktur Penataan Ruang Nasional Depkrimpraswil, Ruchiyat Djaka Permana, bahwa penterapan green belt di perkotaan memang sulit dilakukan. Sehingga untuk membangun kawasan hijau pemerintah daerah harus mulai dengan menerapkan kebijakan yang tegas seperti meniadakan izin baru untuk membuka lahan di kawasan hijau dan menerapkan aturan koefisien dasar bangunan yang ketat (Kompas, 11 Agustus 2004).

Untuk membenahi masalah ini kita patut belajar dari pengalaman keberhasilan beberapa kota besar, khususnya di kawasan Asia, seperti Bangkok, Tokyo dan Seoul. Pengalaman dari kota-kota besar ini setidaknya mengajarkan kita mulai dari bagaimana mereka mendefinisikan, memelihara, dan mengelola sabuk hijau yang melingkari kota tersebut sebagai kawasan penyangga alam dalam penanggulangan bahaya alam, polusi dan berbagai masalah akibat peningkatan konsentrasi penduduk dan industri di kota.

Mengamati angka ledakan penduduk di beberapa kota besar dunia menunjukan fenomena yang menarik. London sebagai kota yang berhasil dalam memfungsikan sabuk hijau kotanya mengakumulasi angka pertumbuhan penduduk pada level di atas delapan juta jiwa dalam rentang waktu yang panjang, hampir dua abad (1800 – 1990). Sementara di Asia, seperti Tokyo, Shanghai, Bangkok, dan Seoul secara cepat dapat menanjakan pertumbuhan penduduknya ke tingkat populasi yang sama, hanya dalam kurun waktu kurang dari setengah abad (1950 – 1990). Jakarta, menurut Dharmapatni dan Firman (1995) dengan populasi 6.4 juta di tahun 1980 mampu menembus posisi di atas pada tahun 1990 dengan populasi 8.2 juta jiwa.

Dalam banyak kasus, dorongan kuat ledakan populasi ini pada akhirnya tidak dapat terkonsentrasikan pada kawasan pusat kota dan segera merambah sampai ke daerah pinggir kota. Tipe desakota (campuran urban dan rural) merupakan pola perubahan penggunaan lahan yang khas pada kebanyakan wilayah pinggiran mega-cities Asia, tidak terkecuali dengan Jakarta. Sehingga berbagai fungsi penting sabuk hijau segera beralih fungsi dan sulit dipertahankan sejalan dengan membesarnya kota induk.

Gejala ini dapat dijelaskan dengan mencermati kecenderungan distribusi kepadatan penduduk pada mega-cities yang semakin menjarang di pusat kota namun memadat dipinggiran kota. Penurunan kepadatan penduduk di pusat kota telah dilaporkan oleh Murakami et al (2004), untuk Jakarta dari 198 orang/ha pada tahun 1970 menjadi 153 orang/ha di tahun 1998. Pola serupa terjadi di Bangkok, dimana pada tahun 1970 berkepadatan 222 orang/ha dan turun menjadi 155 orang/ha (1998). Sebaliknya peningkatan kepadatan penduduk yang terjadi pada wilayah pinggir kota sejauh 15–25 km dari pusat kota untuk kedua kota tersebut memperlihatkan pola peningkatan yang serupa.

Sebagai contoh pertama dalam implementasi rencana sabuk hijau kota ini adalah Tokyo. Tokyo yang memulai pembangunan sabuk hijau sejak 1924, setelah melalui beberapa fase kesuksesan, namun diakhiri dengan kegagalan. Berdasarkan rencana induk 1939, sabuk hijau sebagai bagian dari rencana ruang terbuka hijau kota, berperan sebagai perlindungan dalam peperangan, termasuk pengendali kebakaran yang ditimbulkan dalam perang, perlindungan pengungsi dan menciptakan jalur-jalur perlindungan. Sabuk hijau ini secara sinambung dirangkai dengan sistem green finger lewat jalur hijau radial (koridor sungai dan parkway) kota. Konsep yang akan menciptakan sistem jejaringan hijau kota ini nyaris menjadikan Tokyo sebagai kota yang paling hijau di dunia (Yokohari et al, 2000).

Seoul merupakan contoh keberhasilan dalam implementasi sabuk hijau. Kota dengan luas wilayah (62 700 ha) atau nyaris sama dengan DKI Jakarta, telah memulai pembangunan greenbelt pada tahun 1960. Sejak dikeluarkan undang-undang perencanaan kota tahun 1971, pemerintah kota Seoul secara serius memulai instalasi kawasan green belt dan menetapkan sebagai Wilayah Pembangunan Terbatas. Tujuan pembangunan sabuk hijau Seoul adalah untuk pengendali pertumbuhan pembangunan kota, perlindungan lingkungan kota, fungsi keamanan nasional, dan perlindungan fasilitas pertahanan.
Setelah melalui empat fase pembangunan, secara bertahap mulai tahun 1971 sampai 1976, sabuk hijau Seoul Capital Region pada radius 15 km dari pusat kota berhasil dibangun. Sabuk hijau seluas 153 000 ha atau 29 persen dari total areal (540 000 ha) ini merupakan buah kerjasama Seoul dan 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi. Menyertai sukses dalam mendefinisikan sabuk hijau yang masif, Seoul layak menuai predikat sebagai satu-satunya kota di Asia yang berhasil dalam membangun sabuk hijau kota saat ini.

Belajar dari Seoul, setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi keberhasilan dalam membangun sabuk hijaunya, yaitu: perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif, kerangka hukum yang tegas, faktor keamanan nasional (National Security).



Perencanaan Pembangunan Wilayah Komprehensif. Untuk mendefinisikan batas kawasan sabuk hijau keputusan diambil pada tiga tingkat kekuasaan, yaitu pemerintahan pusat, pemerintah metropolitan Seoul, dan pemerintah daerah sekitarnya. Kesepakatan ini dituangkan dalam dokumen rencana kawasan sabuk hijau pada setiap wilayah administarsi dengan luas kawasan yang berbeda-beda. Terdapat dua kategori peruntukan lahan yang ditetapkan pada sabuk hijau, yaitu kategori penggunaan lahan yang sesuai (seperti untuk pertanian, hutan, dan rekreasi alam) dan penggunaan lahan yang tidak sesuai (seperti perumahan, industri, jalan dan berbagai fasilitas/utilitas kota). Perbedaan luas areal yang ditetapkan untuk kawasan sabuk hijau Seoul CapitalRegion ini dapat dilihat tidak hanya dalam besaran kontribusi suatu wilayah administrasi tertentu terhadap total sabuk hijau, tetapi juga proporsi yang disumbangkan terhadap wilayah administrasi yang bersangkutan. Misalnya untuk wilayah administratif kota Kyonang, tercatat menyumbangkan areal terbesar, yaitu seluas 13 500 ha, namun jumlah tersebut hanya 17 persen dari luas administrasi kota tersebut. Sedangkan Kota Baru Hanam, walaupun hanya menyumbangkan sebesar 8 600 ha, tetapi jumlah tersebut merupakan hampir 99 persen dari luas kota baru tersebut.

Kerangka Hukum yang Tegas. Keberhasilan dalam pembangunan sabuk hijau di Seoul dikarenakan adanya perangkat hukum yang kuat dan mempunyai validitas yang teruji, serta tanpa tawar-menawar. Penegakan hukum dilaksanakan dengan sangat tegas pada lahan-lahan dengan status yang telah ditetapkan. Penerapkan kebijakan dalam pendefinisian perubahan peruntukan atas suatu areal dilakukan melalui proses perizinan yang sangat ketat. Disamping itu dukungan masyarakat sangat tinggi, sebagaimana terungkap dalam hasil survey nasional dimana lebih 80 persen penduduk mendukung kehadiran sabuk hijau.

Faktor Keamanan Nasional. Dengan alasan keamanan nasional, sabuk hijau dianggap sebagai benteng tempat berlindungan yang aman apabila terjadi perang. Bahkan pada wilayah sabuk hijau sebelah utara kota Seoul ditetapkan sebagai daerah pembangunan yang sangat terbatas, mengingat dekatnya ke perbatasan dengan Korea Utara. Kehadiran sabuk hijau secara psikologis sangat mendukung dalam menciptakan suasana yang menjamin keamanan dalam situasi “perang” di semenanjung Korea. Faktor ini secara significant memberikan sumbangan atas keberhasilah program tersebut.

Analogi dengan fungsi keamanan, pertimbangan serupa ini telah diterapkan oleh kota Bangkok dalam konteks keamanan dan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana alam dengan melindungi dua segment sabuk hijau kota di sebelah barat dan satu di timur. Pembangunan sabuk hijau kota dalam bentuk zona perlindungan ini tidak disandarkan pada upaya pengendalian petumbuhan kota, melainkan pada kepentingan memelihara fungsi tata air khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao Phraya.

Untuk kasus Jabodetabek, analogi serupa sangat patut diterapkan mengingat berbagai bentuk ancaman terhadap kenyamanan, keamanan dan keselamatan manusia, tidak saja terkonsentrasi di kota induk Jakarta dan kota satelit seperti, Bekasi, Depok, Serpong, namun telah membesar merambah wilayah pinggiran kotanya. Dengan me-reorientasi pembangunan kawasan Jabodetabek yang menyandarkan kembali pada pengembangan konsep sabuk hijau ini dimungkinkan “melebur”-nya demarkasi wilayah administrasi ke dalam kerangka common green dimana tiap-tiap wilayah kota ikut berkontribusi secara proporsional. Besarnya kontribusi ini tentu dilakukan dengan mempertimbangan optimasi peran ekologis, fisik dan sosial- ekonomi dari tiap wilayah dalam lingkar sabuk hijau tersebut.

Sebut saja, untuk sebagian wilayah Jakarta Selatan dan selatan Jakarta (seperti Depok dan sebagian kabupaten Bogor) peran ekologis sebagai daerah resapan (rechargement area), yang mengendalikan fungsi tata air perlu dijadikan dasar dalam mendifinisikan batas dan luasan wilayah yang difungsikan sebagai sabuk hijau. Dimana pada musim kemarau menjamin pasokan air tanah yang sinambung dan pengendali banjir di musim hujan.

Di bagian wilayah Jakarta Timur dan timur Jakarta (seperti Bekasi) yang merupakan lahan kelas satu difungsikan kembali sebagai sabuk hijau lumbung padi dan produksi pertanian.

Sedangkan sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan barat Jakarta (Tangerang dan Serpong) sebagai sabuk hijau dengan fungsi lindung, yang menjaga kesetimbangan tata air, daerah parkir air, pencegah merambahnya intrusi air laut yang sudah mencapai sepertiga daratan ibu kota, pencegah terjadinya subsidence (amblas) lebih dalam, serta berbagai fungsi lindung lain, seperti hutan lindung (hutan mangrove), cagar alam, sempadan sungai dan sempadan pantai.

Semoga uraian dari pengalaman beberapa negara di atas dapat ditarik pelajaran, setidaknya bagi pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota di wilayah Jabodetabek dalam rangka “mengencangkan” sabuk hijau lingkar kotanya.

Lembah Gunung Kwanak, 03 September 2004
copyright(c)qodarian pramukanto

HAN-PYEONG KONG-WON (한 평 공원): GERAKAN PARTISIPATIF MEMBANGUN TAMAN SUDUT

Taman berukuran sempit yang lazim disebut sebagai taman sudut atau pocket park umumnya dibuat sekedar "pengisi" ruang-ruang sisa, pojok atau sudut yang masih kosong. Sehingga fungsi taman ini umumnya tidak jauh dari sekedar kosmetik yang mempercantik Iingkungan di perkotaan. Namun tidak demikian halnya dengan Taman Satu Pyeong (Han-Pyeong-Kong-Won) ini. Pyeong adalah ukuran satuan luas areal terkecil yang umumnya digunakan di kawasan Asia, termasuk di Korea. Satu pyeong setara dengan kira-kira 3.3 meter kwadrat.




Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah mungkin untuk membuat taman yang fungsional dengan ukuran satu pyeong ? Inti dari program pembuatan Taman Satu Pyeong ini adalah tidak semata-mata diartikan secara untuk kuantatif untuk membuat taman seukuran tersebut, mamun secara simbolis menyiratkan makna akan adanya semangat untuk membuat taman sebagai wadah bersosial walaupun hanya berukuran satu pyeong sekalipun.




Di kota Seoul, program taman satu pyeong yang membawa misi mulia digerakan oleh LSM. Dalam proses pembangunan taman tersebut mulai dari tahap perancangan sampai pembangunan taman tersebut melibatkan bebagai pihak, tidak saja kelompok profesional arsitek, perencana kota dan arsitek lanskap, tetapi juga peran utama masyarakat setempat. Hal yang khas dalam program ini adalah gerakan membangun taman lewat pendekatan partisipatif. Masyarakatlah yang berperan penting dalam merumuskan dan menentukan keperluannya sendiri serta memutuskan hal-hal yang menjadi kebutuhan yang perlu direalisir pada taman tersebut. Peran perancang, biasanya hanya sebagai fasilitator dan berbagi ide dan pendapat, namun keputusan sepenuhnya berada di tangan masyarakat yang bersangkutan.



Dari empat tapak yang diprogramkan, yaitu masing-masing di distrik Wonseo-dong, Oksu-dong, Geumho-dong and Jeonnong-dong, program yang dikembangkan pada tapak di distrik Wongseo-dong telah terealisasi secara sempurna. Wujud dari gerakan membangun Taman Satu Pyeong ini dapat kita saksikan di Wongseo-dong. Mulai dari sekedar meletakan beberapa pot di depan rumah di bawah teritisan air, sampai "menghijaukan" sudut-sudut gang, ujung jalan buntu dan simpangan-simpangan jalan. Nuansa hijau yang terbentuk tidak terbatas pada jenis-jenis tanaman hias, tetapi juga disemarakan dengan aneka tanaman sayuran, tanaman buah--seperti gerakan "tabulapot" (tanaman buah dalam pot) di tanah air-- serta tanaman herbal, mirip "toga" (taman obat keluarga) yang kita kenal. Dari ruang-ruang sempit yang ada seakan-akan tidak sejengkalpun dibiarkan tersisa. Efisiensi ruang terlihat pada pemanfaatan semua dimensi ruang. Tidak cukup mengokupasi dimensi alas dari ruang horizoltal, penanaman merambah ke dimensi vertikal, dengan teknik penanaman vertikultur. Demikian juga pot-pot bunga yang digantung pada teritisan air semakin memperkuat konsep ruang dari Taman Satu Pyeong ini. Pendek kata dari ketiga komponen pembentuk ruang, alas, dinding dan atap tidak ada yang dibiarkan sia-sia tanpa manfaat.

Aspek multi fungsional pada ruang-ruang yang tercipta dari gerakan membangun Taman Satu Pyeong ini merupakan jasa lingkungan yang hadir pada kawasan padat penduduk di pusat kota Seoul. Mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik yang dapat diperoleh langsung dari produksi, sayuran, tanaman obat atau buah-buah yang siap dikonsumsi, sampai nilai-nilai tak-teraga (intangible) yang hadir melalui nuasa estetika lingkungan dengan aneka warna, bentuk, aroma, dan "rasa" terwujud dalam suasana asri, sejuk dan nyaman. Lebih dari itu ruang-ruang tersebut menjadi wadah dalam "proses" bersosial antar warga yang penuh makna kebersamaan. Mulai dari proses persiapan awal, merancang sampai membangun yang dilanjutkan dengan memelihara sangat pekat dengan nuansa tolong-menolong, bantu-membantu dan jalinan semangat kekeluargaan.

Pelajaran yang sangat berharga atas keberhasilah program ini tidak bisa hanya ditinjau dari indikator hasil implementasi lapang yang dapat dilihat mata. Namun jauh lebih bermakna kalau dilihat dari prosedur untuk merealisasikan program tersebut melalui hubungan kemitraan berasama antara LSM, masyarakat, pemda, perancang dan pelaksana.

Tampaknya ide pengembangan taman ini di kawasan perkotaan padat penduduk dengan keterbatasan lahan merupakan model yang patut dikembangkan di kawasan serupa di tanah air. Kawasan-kawan yang tergolong "kupat" (kumuh-padat) dan "kumis" (kumuh-miskin) merupakan target yang perlu menjadi prioritas. Pengembangan model taman ini sangat penting untuk kawasan tersebut, justru dengan segala keterbatasan yang ada namun hakekatnya mereka sangat memerlukan ruang-ruang bersosial yang layak dan memadai. Dengan membangun taman dengan fungsi sosial ini kiranya sekaligus menepis anggapan bahwa yang namanya taman itu identik dengan kemewahan dan hanya layak sebagai konsumsi masyarakat menengah ke atas. Semoga model pemberdayaan masyarakat pada kawasan-kawasan ini merupakan pendekatan yang dapat dikembangkan pada kawasan-kawasan serupa di tanah air, tentunya dengan semangat:"dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat".



Kawasan Jalur Hijau Metropolitan Seoul, Lembah Gunung Kwanak, Kampus SNU, Seoul, Akhir Oktober 2004.
Copyright©qodarian pramukanto

BOOKS LIST

* PERENCANAAN LANSKAP. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 1998 (Co-Author, limted published)

Image hosted by Photobucket.com

* ANALISIS DAN PERENCANAAN TAPAK. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 1998 (Co-Author, limted published)

Image hosted by Photobucket.com

* PENERAPAN KOMPUTER DALAM ARSITEKTUR LANSKAP: PANDUAN KULIAH. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 1999(limted published)
Image hosted by Photobucket.com

* PENERAPAN KOMPUTER DALAM ARSITEKTUR LANSKAP: PANDUAN PRAKTIKUM. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 1999 (limted published)
Image hosted by Photobucket.com

* MAKET: MODEL 3D REPRESENTASI LANSKAP. 2000 (limted published)

Image hosted by Photobucket.com

* TEKNIK LANSKAP: MODUL KULIAH. Studio Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 2000 (limted published).

Image hosted by Photobucket.com

* DATA DAN INFORMASI SPASIAL DALAM ARSITEKTUR LANSKAP: PETA DAN MAKET. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. 2001 (limted published)

Image hosted by Photobucket.com

* DAEJISEOLGYE: GUBAHAN LANSKAP SEMENANJUNG KOREA (under preparation)

Image hosted by Photobucket.com

* LANSKAP TERKEMBANG MENJADI GURU: BUNGA RAMPAI ARSITEKTUR LANSKAP KOREA (under preparation)
























* KESETANGKUPAN WILAYAH BIOFISIK &DOMAIN KOMUNITAS:PENDEKATAN BIOREGIONAL DALAM PENGELOLAAN & PERENCANAAN LANSKAP (under preparation)
























* KITA MEMELIHARA ALAM, ALAM MEMELIHARA KITA (under preparation)
























* BIOREGIONAL DAS CILIWUNG (under preparation)
























* DARI TAMAN SYURGA DALAM AL QUR'AN KE TAMAN ISLAM DI MUKA BUMI (under preparation)
























* TATA AIR TAMAN ISLAM (under preparation)
























* RE-INHABITASI: PARADIGMA PENGELOLAAN & PERENCANAAN LANSKAP BERBASIS BIOREGION (under preparation)
























* MAKING THE BOGOR BIOREGION (under preparation)

Image hosted by Photobucket.com

* FENGSHU: HARMONI GEOMANSIF DENGAN ALAM DALAM PERENCANAAN LANSKAP (under preparation)


Image hosted by Photobucket.com